Thursday, February 14, 2008

Kesempurnaan Islam

Kesempurnaan Islam


---------------------------------------------------------------
Artikel berikut ini berupa catatan dari penjelasan
Ustadz Hakim bin Amir Abdat
dalam pembahasan yang diringkas
dari transkrip rekaman kajian
“Kesempurnaan Islam”
File 1 (dari 3 file) berdurasi 69:46
---------------------------------------------------------------



Keseluruhannya, kajian ini membahas dua masalah penting membahas dua masalah yang sangat mendasar sekali dalam Islam. Yang mana kebanyakan kaum muslimin dewasa ini khususnya yang ada di negeri ini tidak mengetahui dua masalah yang demikian pentingya di dalam Islam Karena kedua masalah ini jarang atau hampir tidak pernah dibahas dan diajarkan kepada kaum Muslimin.

Kedua masalah penting dan mendasar dalam Islam adalah tentang kaidah kesempurnaan agama Islam. Masalah yang kedua adalah tentang kaidah dasar-dasar bid’ah. Kedua masalah ini berkaitan sekali. Kalau kita bicara mengenai kesempurnaan Islam maka terkait yang kedua. Tidak sempurna pembicaraan kita tentang kesempurnaan Islam kalau tidak berbicara tentang Bid’ah. Ketika kita berbicara mengenai bid’ah maka terkait dengan kesempurnaan agama ini. Karena jika berbicara mengenai kaidah kesempurnaan agama Islam maka tertutuplah pintu-pintu bid’ah.[1]

Sebelum membahas lebih jauh tentang kesempurnaan Islam, ada beberapa ketentuan yang perlu kita ketahui terlebih dahulu, yaitu:

1) Bahwa agama seluruh Nabi dan Rasul tidak lain adalah agama Islam, dari Adam sampai Muhammad alaihis shalatu wassalam.

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya [21] : 92)

Sebelum ayat ini Allah tabaraka wa ta’ala telah menerangkan sebagian kisah perjalanan para nabi dan rasul.

Ibnu Abbas radhiallahu anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat diatas adalah ‘diinukum’ (agama kamu). Sehingga yang dimaksud dalam ayat di atas adalah agama para nabi adalah satu karena tuhannya satu, Allah. Sehingga Islam secara umum dibawa oleh para Nabi dan Rasul adalah agama yang satu yakni Islam.

Dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Agama para nabi adalah satu.” Karena agama Islam adalah agama fitrah yang Allah ciptakan kepada setiap manusia yang lahir ke permukaan bumi.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS Ar-Ruum [30] : 30)

Allah telah menciptakan manusia dengan agama Allah, yakni Al-Islam, oleh karena itu agama yang dibawa oleh para nabi pun adalah Islam, bukan yang lain.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
َ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak dilahirkan berdasarkan atas fitrah, dan orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau Majusi. [2]

Setiap anak lahir itu atas dasar fitrah. Fitrah yang dimaksud disini bukanlah ‘suci’ sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, namun firah yang dimaksud adalah agama Islam.

Dalam riwayat lain oleh Imam Muslim dengan tambahan:

فَإِنْ كَانَا مُسْلِمَيْنِ فَمُسْلِمٌ
“maka jika orang tuanya muslim maka anaknya pun muslim.”[3]

Hadits di atas menafsirkan ayat 30 Surat Ar-Ruum di atas.

2. Para nabi dan rasul sebelumnya tertentu diutus terbatas untuk suatu kaum, tidak untuk seluruh manusia.

3. Beberapa nabi mempunyai syariat, dan nabi yang datang sesudahnya tanpa syariat mengikuti syariat sebelumnya. Dan syariat para nabi ini belum sempurna.

4. Bahwa ajaran satu nabi dengan nabi yang lainnya atau sebagaiannya saling menghapus. Ketika zaman Musa alaihis salam bani Israel mengikuti Musa, namun ketika Isa alaihis salam diutus maka mereka wajib mengikuti Isa.

Demikian pula ketika Nabi Muhammad diutus, maka wajib mengikuti beliau.

لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ

“Jika Musa turun ditengah-tengah kamu dan kamu mengikutinya dan menyelisihi aku, niscaya sesatlah kamu.”[4]

Meskipun begitu wajib mengimani para Nabi dan Rasul tersebut. Namun syariat yang digunakan adalah syariat yang diturunkan bagi kaum tersebut.

Semua Nabi dan Rasul mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi taghut. Bahkan nabi Nuh selama 950 tahun mendakwahkan tauhid. Syariatnya belum selengkap seperti sekarang ini ataupun nabi setelahnya. Namun agamanya satu, Islam, asas dan seruannya satu, yakni tauhid.

Syariat para nabi dan rasul pun berbeda-beda, demikian pula mukjizat yang dimilikinya, sebagaimana yang berkembang di zamannya. Sebagai contoh di zaman Nabi Musa berkembang ilmu sihir yang luar biasa, maka pada Nabi Musa Allah berikan mukjizat berupa tongkat yang bisa mengalahkan semua jenis sihir itu. Demikian pula di zaman Nabi Isa as berkembang pengobatan yang luar biasa. Maka pada Nabi Isa Allah anugerahi mukjizat, dimana beliau as dapat menghidupkan orang mati dengan seizin Allah. Merupakan pengobatan yang tidak ada duanya, menghidupkan orang yang telah mati.

Allah tabaraka wata’ala telah menerangkan di dalam Taurat dan Injil tentang akan diutusnya seorang nabi yang sifat-sifatnya telah diterangkan bahkan sifat-sifat sahabatnya.

Tidak ada yang dapat memastikan berapa banyak nabi yang diutus. Adapun riwayat yang menyebutkan jumlahnya tidak satu pun yang shahih.

Kenabian dan kerasulan berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Perbedaan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dengan nabi dan rasul lainnya dalah :
1. Rasulullah صلى الله عليه وسلم diutus untuk seluruh umat manusia, sedangkan nabi dan rasul lainnya terbatas untuk kaumnya.
2. Kitab yang diturunkan kepadanya adalah mukjizat ilmiah yang dapat disaksikan oleh orang hidup di zaman diturunkannya dan manusia sesudahnya di zaman sekarang ini. Mukjizat para nabi terdahulu hanya dapat disaksikan oleh orang-orang di zamannya.
3. Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur’an, sedangkan kitab-kitab terdahulu tidak ada jaminan terhadapnya, sehingga banyak terjadi perubahan di dalamnya.
4. Pada hajjatul wada’ 10 H turunlah ayat ke 3 Surah Al-Ma’idah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Ma’idah [5] : 3)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata: Ini adalah sebesar-besar nikmat Allah ta’ala kepada ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, maka mereka tidak berhajat lagi kepada agama lain selain agama ini, dan mereka tidak berhajat lagi kepada nabi selain nabi mereka, oleh karena itu Allah telah menjadikan beliau penutup sekalian nabi, Allah utus untuk sekalian manusia dan jin, tidak ada yang halal kecuali apa yang dia halalkan dan tidak ada yang haram kecuali apa yang dia haramkan. Dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan.

Oleh karena itu, apabila syariat ini telah lengkap, maka lawannya adalah kurang. Jika demikian maka tambahan yang sedikit sekalipun tidak lagi dibutuhkan. Demikian juga tidak memerlukan pengurangan, karena telah lengkap untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Segala sesuatu telah dijelaskan dalam agama ini, baik berupa ibadah maupun muamalah.

Oleh karena itu para ulama selalu memperingatkan kita dengan sangat keras mengenai tambahan-tambahan dalam agama, agar manusia tidak lagi mengadakan tambahan-tambahan dalam agama ini karena agama ini telah sempurna.

Beberapa dalil tentang kesempurnaan agama Islam adalah sebagai berikut:

1. Berkata Abu Dzar radhiallahu anhu:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، قَالَ : تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم meninggalkan kita dan tidak terbang burung dengan membalik-balikkan kedua sayapnya melainkan beliau telah menerangkan kepada kita ilmunya.”

Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu telah dijelaskan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sampai seolah-olah burung yang terbang dan membolak-balikkan kedua sayapnya pun telah diterangkan oleh beliau.

Selanjutnya Abu Dzar berkata Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

“Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR Thabrani) [5]

2. Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salam Al-Farisi radhiallahu anhu, ia berkata: “orang-orang musyrik pernah berkata kepada kami (para sahabat):

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ


“Sungguh nabi kamu telah menangajarkan kepadamu segala sesuatu sampai buang air” Salman menjawab, “Ya.” (HR Muslim) [6]

Lihatlah bahkan orang musyrikin pun menjadi saksi pada masa itu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah mengajarkan kepada umatnya كُلَّ شَيْءٍ (segala sesuatu), bahkan sampai cara buang hajat pun diajarkan حَتَّى الْخِرَاءَةَ - secara lengkap adab-adabnya. Justru pada masa sekarang ini banyak diantara kita yang tidak menyadarinya.

3. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ

“Hanya saja aku ini terhadap kamu seperti kedudukan bapak terhadap anak yang mengajarkan kepadamu.” (HR Abu Dawud) [7]

Sifat bapak adalah mengajarkan kepada anak untuk kebaikan kehidupannya dunia dan akhirat, mengajarkannya kebaikan dan menjauhkannya dari keburukan.

4. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu anhu, dia berkata:

قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَامًا مَا تَرَكَ شَيْئًا يَكُونُ فِي مَقَامِهِ ذَلِكَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ إِلا حَدَّثَ بِهِ حَفِظَهُ مَنْ حَفِظَهُ وَنَسِيَهُ مَنْ نَسِيَهُ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم berdiri tegak (ditengah kami), tidak beliau tinggalkan sedikit pun apa yang akan terjadi sampai hari kiamat melainkan beliau ceritakan kepada kami, akan hafal bagi orang yang hafal, dan akan lupa bagi orang yang lupa” (HR Muslim)[8]


5. Berkata Abu Zaid Amr bin Akhthab radhiallahu anhu:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ وَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَنَا حَتَّى حَضَرَتْ الظُّهْرُ فَنَزَلَ فَصَلَّى ثُمَّ صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَنَا حَتَّى حَضَرَتْ الْعَصْرُ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى ثُمَّ صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَنَا حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَأَخْبَرَنَا بِمَا كَانَ وَبِمَا هُوَ كَائِنٌ فَأَعْلَمُنَا أَحْفَظُنَا

Rasulullah صلى الله عليه وسلم shalat fajar dengan kami kemudian selesai shalat beliau naik mimbar berkhotbah kepada kami sampai datang waktu Dzuhur lalu beliau shalat mengimani kami, kemudian beliau naik ke mimbar dan berkhotbah kepada kami sampai tiba waktu Ashar kemudian beliau turun dan shalat mengimami kami, kemudian beliau naik mimbar lagi berkhotbah kepada kami sampai terbenam matahari. Beliau telah mengabarkan kepada kami apa-apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dan orang yang paling mengetahui adalah orang yang paling hafal di antara kami.” (HR Muslim)[9]

6. Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu:

قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَامًا فَأَخْبَرَنَا بِمَا يَكُونُ فِي أُمَّتِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَعَاهُ مَنْ وَعَاهُ وَنَسِيَهُ مَنْ نَسِيَهُ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah berdiri di antara kami lalu beliau mengabarkan apa yang terjadi pada umatnya sampai hari kiamat, akan hafal orang hafal dan lupa orang lupa.” (HR Ahmad)[10]



7. Umar bin Khaththab berkata radhiallahu anhu:

قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَامًا فَأَخْبَرَنَا عَنْ بَدْءِ الْخَلْقِ حَتَّى دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ مَنَازِلَهُمْ وَأَهْلُ النَّارِ مَنَازِلَهُمْ حَفِظَ ذَلِكَ مَنْ حَفِظَهُ وَنَسِيَهُ مَنْ نَسِيَهُ

“Nabi صلى الله عليه وسلم pernah berdiri di hadapan kami mengabarkan dari permulaan mahluk sampai penghuni surga masuk ke tempat-tempat mereka dan penghuni neraka masuk ke tempat-tempat mereka. Akan hafal yang demikian itu yang menghalnya dan akan lupa orang yang lupa.” (HR Bukhari)[11]

Yang dimaksud dengan kesempurnaan disini adalah memiliki tiga makna:

1. Agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan sedikitpun juga apapun bentuk atau alasannya, meskipun disangka baik oleh sebagian manusia, dan dari siapapun datangnya.

Contoh: perayaan maulid nabi yang dianggap sebagai suatu kebaikan padahal tidak ada asal usulnya dalam Islam. Termasuk Isra’ Mirja, perayaan tahun baru hijriyah, dan lain-lain, merupakan tambahan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم.

Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah di dalam Islam yang ia anggap sebagai perbuatan bid’ah yang baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad صلى الله عليه وسلم berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah berfirman الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ‘pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu’ maka apa-apa yang tidak jadi agama pada hari itu – pada waktu turunnya ayat yang mulia ini - niscaya tidak akan menjadi agama pada hari ini.”

Jadi untuk melihat apakah sesuatu itu masuk ke dalam agama, harus melihat apakah hal tersebut ada dalam agama pada hari itu (pada hari sampai dengan diturunkannya ayat di atas –ed). Tentu saja yang dimaksud di sini adalah dalam masalah ibadah. Sedangkan penggunaan pengeras suara, mobil dll. Bukan merupakan tambahan dalam agama, namun itu adalah untuk kemaslahatan manusia dan berkembang sesuai dengan perkembangan tingkat berpikir manusia.

Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah dengan perantaraan Jibril, dan Rasulullah menyampaikan kepada manusia. Sehingga jika ada yang mengadakan sesuatu yang baru dalam agama setelah beliau wafat, dan dimasukkan ke dalam agama ini, seolah-olah Rasulullah berkhianat kepada Allah, hal ini berarti bahwa dia telah menuduh seolah-olah Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak lengkap dalam menyampaikan risalah ini.

Sebagai contoh jika seseorang melakukan perayaan maulid Nabi, hal ini seolah menuduh Nabi berkhianat di dalam agama ini, karena beliau sendiri tidak pernah mengajarkannya semasa hidup beliau. Sebuah tuduhan yang sangat keji. Padahal tidak ada satu pun lafazh yang beliau sembunyikan. Semuanya telah dijelaskan satu persatu, dari awal sampai akhir.

Pada bagian kedua Imam Malik mengatakan: “karena Allah Ta’ala telah berfirman “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu’, maka apa-apa yang tidak jadi agama pada hari itu niscaya tidak akan menjadi agama pada hari ini.

Jadi seseorang yang ingin menilai suatu bentuk ibadah atau amalan harus melihat kembali, apakah hal tersebut pernah dilakukan pada waktu itu - yakni hari diturunkannya ayat tersebut di atas - atau tidak. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan di atas tadi mengenai maulid nabi. Maka jika contoh tersebut tidak ditemukan, berarti hal tersebut bukanlah bagian dari agama Islam.

Kembali pada contoh di atas, perayaan maulid nabi, perayaan tahun baru hijriah, perayaan isra mi’raj, apakah pernah dilaksanakan sampai dengan turunnya ayat tersebut di atas? Jawabannya adalah tidak! Maka hal-hal tersebut bukanlah bagian dari agama.

Perkara shalat Id, adakah dilaksanakan pada masa Rasulullah? Jawabannya adalah ya. Maka hal tersebut adalah bagian dari agama. Shalat itstighosah, pernahkah hal ini dilaksanakan pada masa Rasulullah? Jawabannya adalah tidak! Maka hal itu bukanlah bagian dari agama. Dan seterusnya.

Hal-hal di atas tidak masuk kepada hal-hal keduniaan seperti kendaraan dan lain sebagainya, karena itu dibutuhkan untuk kemashlahatan manusia dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.

Perkataan Imam Malik ini adalah kaidah dasar yang sangat besar, yang menutup semua pintu bid’ah. Tafsir dari ayat Al-Qur’an yang singkat namun maknanya sangat dalam sekali. Jadi ukuran kita adalah الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ. Untuk melihat agama, ada atau tidak di zaman Nabi dan akhir hidup beliau صلى الله عليه وسلم, apakah dikerjakan oleh para sahabat? Kaum Muslimin jika memahami makna kaidah yang agung ini, niscaya dia akan hati-hati dalam beragama. Adapun permasalahan dunia, berkembang sesuai dengan umur, tingkat berpikir dan keilmuan manusia, dan hal itu tidak termasuk bid’ah yang tercela namun hanya merupakan bid’ah secara lughawi (bahasa) saja dan tidak mengurangi kesempurnaan ‘Diin’ ini. Sedangkan menyangkut urusan agama, tentang peribadatan kepada Allah, menyangkut surga dan neraka, pahala dan dosa, halal dan haram, merujuk kepada syariat yang mulia ini, dan syariat ini telah sempurna, agama ini telah sempurna! Lalu bagaimana hendak diberikan ziyadah (tambahan) atau pengerungan? Inilah makna yang pertama dari ayat tadi.

Kaidah ini harus dijelaskan dan diterangkan kepada kaum Muslim.

Dan jika dibuka pintu tambahan dengan alasan tambahan yang baik untuk kebaikan manusia, seperti contohnya maulid nabi yang diadakan dengan niat untuk meningkatkan ketaatan manusia kepada Allah dan Rasul-Nya, meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Namun niat baik saja tidak cukup melainkan harus disetujui oleh syara’. Menambahi syariat berarti kita menempatkan diri kita sebagai nabi dan rasul yang menerima wahyu.

2. Makna yang kedua dari ayat di atas adalah bahwa agama ini telah sempurna dengan ketinggiannya, dengan kemuliaannya dan kebenarannya secara mutlak.

Yakni Islam lah satu-satunya agama yang haq, agama para nabi dan rasul, dari nabi Adam alaihis salam sampai Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam, agama yang diridhai Allah subhanahu wata’ala. Allah berfirman:
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Aku ridha Islam sebagai agama bagimu.”

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Al-Imran [3] : 19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Al-Imran [3] : 85)

3. Makna yang ketiga bahwa agama ini telah sempurna karena keumuman risalahnya untuk seluruh manusia dan sepanjang zaman, dan tidak dimansukh tidak dihapus lagi kecuali yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-nya.

Maksudnya tidak terikat pada suatu kaum atau bangsa atau zaman atau tertentu. Sehingga apa yang diamalkan pada zaman Rasulullah juga diamalkan pada zaman sekarang. Menkhususkan pada bangsa atau masa tertentu merupakan pembatasan syariat, yang merupakan penyelewengan terhadap agama ini.

Dan tidak ada suatu ajaran pun yang tidak sesuai dengan fitrah manusia, yang tidak sanggup dilaksaakan oleh manusia, karena dalam agama ini terdapat keringanan-keringanan dan tidak membebani. Sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

إِنَّ فِي دِيْنِكُمْ يُسْرًا

“Sesungguhnya di dalam agama kamu ini ada kemudahan” (HR Ibnu Khuzaimah)[12]

Syariat ini mudah, dapat diamalkan dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia. Apa yang wajib dilaksanakan pada zaman Rasulullah berarti juga wajib dilaksanakan sekarang ini. Tidak terikat pada suatu kaum atau zaman. Sebagaimana Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS Saba’ [34] : 28)

Berarti risalah ini dapat diamalkan oleh mansia. Dalam waktu dan keadaan tertentu tidak dapat dilaksanakan secara lengkap. Misalnya shalat wajib dilaksanakan dengan berdiri, namun ketika dia tidak sanggup dia boleh duduk, dan ketika tidak dapat duduk dia boleh shalat dengan berbaring. Shalat tetap wajib hukumnya namun ada kemudahan-kumudahan bagi yang tidak dapat melaksanakannya. Agama tidak membebani seseorang diluar kesanggupannya.

Oleh karena itu orang-orang yang mengatakan bahwa ajaran abama ini atau sebagiannya tidak relevan lagi justru tidak mempunyai hujjah sama sekali. Sebagaimana orang-orang musyrikin menuduh dengan mulutnya Rasulullah sebagai pembohong, penyair, penyihir, orang yang terkena sihir dan lain sebagainya. Allah menjawab:

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Katakan (kepada mereka hai Muhammad) Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (Qs Al-Baqarah [2] : 111)

Berikanlah, datangkanlah kepada kami dalil, karena agama Islam ini adalah agama dalil, agama hujjah.

Dan Allah berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata,” (QS Yusuf [12] : 108)

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya menyebutkan bahwa عَلَى بَصِيرَةٍ berarti burhanun, syar’iyyun wa aqliyyun, yaitu keterangan, dalil, hujjah atau bukti-bukti. Karena Islam ini dibangun di atas hujjah yang kuat sekali, yang kesemuanya bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia.


Sumber:
1. MP3 “Kesempurnaan Islam” oleh Ustadz Hakim bin Amir Abdat, berisi 3 file dengan total durasi 2:09:34
2. Ayat-ayat Al-Qur’an di copy dari Hadtis web v3.0 http://opi.110mb.com
3. Matan hadits diperoleh dari Maktabah Syamilah v1.0

____________
Catatan Kaki:
[1] Pembahasan mengenai Bid’ah akan dilanjutkan pada catatan dari transkrip file berikutnya, insya Allah.
[2] HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah (matan dari Shahih Bukhari Maktabah Syamilah v1.0 5/182 no. 1296)
[3] HR Muslim dalam Shahih-nya (Maktabah Syamilah v1.0 13/131 no. 48107)
[4] HR Ahmad dalam Sunan-nya (Maktabah Syamilah v1.0 32/18 no. 15303)
[5] HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (Maktabah Syamilah v1.0 2/211 dari Abu Tufail, dari Abu Dzar)
[6] HR Musllim, Abu Dawud, Thabrani, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Majah. (lafazh Imam Muslim dalam Maktabah Syamilah v1.0 2/76/ no. 385)
[7] HR Abu Dawud dari Abu Hurairah (Maktabah Syamilah v1.0 1/12 no. 7)
[8] HR Muslim, Abu Dawud, Tirmdizi, Ahmad, dan lain-lain. (lafazh Muslim dalam Maktabah Syamilah v1.0 14/72 no. 5147)
[9] HR Muslim dari Maktabah Syamilah v1.0 14/74 no. 5149
[10] HR Ahmad dalam Musnadnya (Maktabah Syamilah v1.0 37/170 no. 17514)
[12] HR Bukhari dalam Shahih-nya (Maktabah Syamilah v1.0 10/464 no. 2953)
[11] Shahih Ibnu Khuzaimah dalam Maktabah Syamilah 2/45 no. 300)
ْ

No comments:

Post a Comment