Wednesday, February 20, 2008

Dasar-dasar Memahami Bid'ah (1)

Dasar-Dasar Memahami Bid’ah

---------------------------------------------------------------
Artikel berikut ini berupa catatan dari penjelasan
Ustadz Hakim bin Amir Abdat
dalam pembahasan yang diringkas
dari transkrip rekaman kajian
“Kesempurnaan Islam”
File 2 (dari 3 file) berdurasi 1:27:46
---------------------------------------------------------------


I. Makna Bid’ah Menurut Bahasa

Arti bid’ah menurut lughah (bahasa) adalah sesuatu yang diadakan/dibuat yang tidak ada contoh sebelumnya. Jadi sesuatu yang diadakan, dibuat, yang belum pernah ada contohnya.

Misalnya, pengeras suara, ketika pertama kali dibuat, merupakan bid’ah secara lughah (bahasa), sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya.

Allah disifatkan dengan Badi’, sebagaimana Allah tabaraka wata’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 117:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi,”

Allah menciptakan langit dan bumi yang tidak ada contoh sebelumnya.

Kemudian Allah berfirman dalam surat Al-Ahqaaf ayat 9 tentang nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam:

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.”

Maksud kata “bid’an” disini aku bukanlah orang yang pertama kali menjadi rasul, yang sebelumku telah ada beberapa rasul. Disini dikatakan Rasulullah bukan bid’an, bukan yang baru atau yang pertama kali menjadi rasul, namun telah ada sebelumnya sekian banyak rasul dari Adam sampai Isa alaihimus salaatu wassalam.

Inilah arti bid’ah secara bahasa. Setelah kita pahami bahwa bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang diadakan yang tidak ada contoh atau misal sebelumnya. Jika dikatakan, "Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah)." Maka berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya. Dikatakan ‘wa haadza amrun badi’” – dan ini adalah suatu urusan yang badi’ (baru), yang belum pernah ada sebelumnya. Inilah yang dinamakan bid’ah. Mengeluarkannya menjadi suatu cara itu disebut al-ibtida’, bentuknya dinamakan bid’ah, dan amal yang diamalkan dinamakan bid’ah. Maka setiap perbuatan yang tidak mempunyai dalil dari syara’ dinamakan bid’ah, dan orang yang membuatnya dan mengerjakannya dinamakan mubtadi.


II.. Makna Bid’ah menurut Syara’

Arti bid’ah menurut istilah adalah suatu tarikah –suatu jalan- di dalam agama, yang dibuat - yang tidak ada contoh sebelumnya – yang sifatnya menyerupai syariat dengan maksud untuk beribadah kepada Allah.

Dari pengertian ini maka keluarlah: bahwa bid’ah hanya terbatas dalam permasalahan-permasalahan agama, di luar permasalahan dunia. Jadi bid’ah menurut istulah adalah suatu cara didalam agama yang dibuat (tidak ada contoh sebelumnya) yang menyerupai syariat – yang pada hakekatnya menentang syariat itu sendiri, karena syariat telah sempurna, sedangkan pembuat bid’ah memasukkan sesuatu yang bukan dari agama. Menyerupai syariat karena dia membuat cara-cara tertentu. Seperti mereka yang dalam dunia tasawuf, sufi, dan tarekat yang banyak di negeri ini, ada cara-cara tertentu yang mereka buat untuk beribadah, untuk berdzikir dan lain sebagainya. Ini cara-cara yang dibuat-buat.

Sebagai contoh perayaan maulid. Ini adalah cara yang dibuat-buat di dalam agama yang menyerupai syariat, yang mengatasnamakan syariat. Dan orang yang mengerjakan bid’ah itu, pertama mempunyai i’tiqad’ (keyakinan), kedua mempunyai harapan di hatinya. I’tiqad bahwa perbuatan ini adalah dalam rangka ta’abbud – beribadah kepada Allah. Apakah orang yamg merayakan maulid tidak mempunyai i’tiqad bahwa ini adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah? Tentunya mereka mempunyai i’tiqad seperti itu. Bahkan orang yang bertawasul melalui perantaraan orang mati pun mempunyai i’tiqad bahwa ini adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua mempunyai harapan yakni pahala. Ini menyerupai syariat. Karena yang menerangkan keyakinan-keyakinan yang harus diyakini oleh manusia itu adalah syara’, pembuat syariat ini, Allah tabaraka wata’ala, dengan perantaraan lisan nabi-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang menerangkan sesuatu itu berpahala atau tidak, halal atau haram adalah yang membuat syariat ini, bukan manusia. Alangkah tepatnya apa yang telah dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i belasan abad yang lalu, beliau mengatakan ‘Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu perbuatan maka sesungguhnya dia telah membuat syariat’. Jadi Bid’ah itu adalah perkara baru di dalam agama ini yang diadakan orang yang tidak ada contohnya, yang tidak ada keterangannya dari dalil-dalil syar’i Al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam Asy-Syatibi mengatakan tentang bid’ah ini: ‘Bid’ah suatu ibarat tentang tariqah atau jalan di dalam agama yang dibuat oleh manusia yang menyerupai syariat, yang dimaksud dengan cara tersebut adalah berlebihan dalam beribadah kepada Allah tabaraka wata’ala.’ Mengapa dikatakan berlebihan? Karena syariat telah memberikan batasan. Kemudian cara-cara yang dibuat ini dimasukkan ke dalam agama yang telah diberi batasan oleh syara’. Syara’ telah mengatakan kesempurnaan agama ini. Syara telah menetapkan dalam beberapa ibadah ada tempat, jumlah bilangan, waktu. Ada yang tidak ditentukan oleh syara’. Pada hakekatnya orang melakukan bid’ah ini berlebihan dan melampaui batas, memasukkan apa yang telah dibatasi oleh syara’.

Kedua: Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini merupakan kaidah yang sangat besar sekali yang menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah, dari Al-Kitab dan Sunnah. Maka tertolak. Sehingga Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala pernah mengatakan: Hadits ini dimasukkan/dihitung dalam dasar-dasar Islam dan merupakan salah satu kaidah dalam kaidah Islam. Karena maknanya barangsiapa yang mengadakan sesuatu di dalam agama yang tidak mempunyai dasar dari dasar-dasar agama maka tidak boleh berpaling kepadanya.’ Jadi tidak boleh diikuti, tidak boleh diamalkan.

Jadi hadits ini merupakan kaidah yang sangat tinggi sekali, bahwa orang yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada keterangannya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam maka tertolak. Mahfumrnya, bahwa seseorang yang mengamalkan sesuatu yang ada keterangannya dari Nabi shallallahu alaihi wassalam maqbul, diterima. Hadits ini merupakan salah satu syarat diterimanya amal shalih, selain syarat yang pertama yaitu ikhlas.

Hadits ini memiliki ketegasan, yakni ‘man amila amalan’ – dalam amal apa saja. – ‘laisa alaihi amruna’ – yang tidak ada keterangan dari kami – ‘fahuwa raddun’ – maka dia tertolak. Tegas sekali hadits ini dan tidak dapat ditakwil lagi.

Al-Imam An-Nawawi berkata ‘hadits ini patut dihafalkan dan diamalkan untuk membatalkan segala macam kemungkaran’. Ulama yang lain mengatakan bahwa hadits ini adalah setengah dalil syara’, karena mempunyai mafhum siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada darinya –baik itu merupakan perbuatan, atau perkataan atau i’tikad- tidak ada keterangan dari Nabi, maka tertolaklah ia. Sifatnya umum, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan ‘barangsiapa yang mengamalkan ini dan itu’, itu akan membatasi. Tapi dikatakan ‘Barangsiapa yang mengerjakan amal’ – (yakni) amal apa saja. Berarti amal itu harus melihat kepada Al-Kitab dan Sunnah.

Kembali kepada contoh Maulid. Hal ini tidak pernah ada ketaerangan dalam Al-Kitab dan Sunnah. Orang-orang yang membuat takwil yang sangat jauh sekali. Seperti ketika Rasulullah ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, maka dijawab itu adalah hari kelahiran saya”[1]. Berkatalah mereka, ini menunjukkan bolehnya memperingati hari kelahiran. Kenyataannya beliau tidak memperingatinya tetapi berpuasa pada hari senin, yang kita ikuti adalah sunnah beliau yakni berpuasa pada hari senin bukannya memperingati hari kelahiran, karena para sahabat pun tidak demikian. Apakah kita bermaksud mengatakan bahwa kita lebih paham dari para sahabat, sehingga kita lebih mampu mensyarahkan hadits Nabi dari para sahabat? Yang diikuti para sahabat adalah berpuasa pada hari senin seperti yang dikenal saat ini, puasa senin kamis.

Untuk menilai apakah amal yang dikerjakan sesuai syara’ atau tidak, amal yang dikerjakan umat ini semsuai syara’ atau tidak, harus ditanyakan kepada ahlul ilmi.

III. Sebab-sebab timbulnya Bid’ah.

Ada tiga sebab yang sangat mendasar tentang sebab-sebab timbulnya bid’ah:

1. Bodoh (jahil) tentang dasar-dasar hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah, dan yang terkait dengan keduanya, yakni Ijna dab Qiyas.

Karena kebodohan inilah timbulnya berbagai macam bid’ah. Sebagai contoh kejahilan tentang Al-Qur’an, tidak mengikuti perjalanan ahlul ilmu dalam berbicara tentang Al-Qur’anul Karim, tidak mengikuti tentang tafsir. Di negeri ini begitu banyak orang yang melakukan tafsir padahal mereka bukan ahli tafsir dan tidak memiliki persyaratan.

Untuk menafsirkan Al-Qur’an seseorang harus mempunyai dua hal yakni: ilmu, baik dari segi lughah, tafsir, asbabun nuzul dan ulumul qur’an secara umum; dan manhaj para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’anul Karim. Jika tidak dia akan terjadi penyimpangan sebagaimana yang terjadi di negeri kita ini.

Jahil terhadap hadits lebih banyak lagi. Ada yang membawakan hadits-hadits palsu dan ada yang sebaliknya menolak hadits-hadits shahih, bahkan bukan hanya menolak hadits tetapi menolak perawinya seperti Bukhari-Muslim sampai kepada para Sahabat ridwanallahu ajma’in.

Penolakan terhadap hadits ini bermacam-macam. Penolakan dengan alasan bertentangan dengan Al-Qur’an, padahal merkalah yang tidak memahami Al-Qur’an. Penolakan karena tidak masuk di akal, penolakan karena bertentangan dengan kenyataan, penolakan karena tidak relevan pada zaman sekarang, penolakan karena bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Semua ini menunjukkan kejahilan mereka, ketidakpahaman mereka terhadap dasar hukum Islam yang kedua, yakni hadits.

Kemudian terhadap dasar hukum ketiga, yakni ijma, pun banyak yang tidak dimengerti, mana yang telah di-ijma’-kan dan mana yang tidak di-ijma’-kan. Yang paling aneh justru sesuatu yang telah di-ijma’-kan oleh seluruh ulama, ketika sampai ke negeri ini justru diabaikan. Sebagai contoh selamatan kematian. Seluruh ulama ijma’, imam yang empat dan murid-murid mereka serta pengikut mazhab mereka dan para ulama lainnya telah sepakat, bahkan ijma’ terjadi sejak zaman para sahabat tidak ada yang menyelisihinhya. Bahwa selamatan kematian yang dilakukan sekarang ini sejak hari pertama dan seterusnya itu termasuk bid’ah mungkara’. Sampai di negeri kita ini hal tersebut dirubah dan dikatakan ada perselisihan. Bahkan justru mengadakan selamatan kematian itu hukumnya bisa wajib atau sunnah. Banyak kerancuan di negeri kita ini. Yang telah diharamkan oleh agama, masuk ke negeri kita ini menjadi halal. Yang wajib menjadi tidak wajib.

Contoh lain, para ulama tidak pernah mengatakan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah. Sampai ke negeri kita ini dikatakan sebagai masalah khilafiyah, bahwa jilbab adalah kebudayaan Arab. Inilah bukti bahwa peningkatan ilmiah kita sangat kurang sekali.

Demikian juga jahil terhadap qiyas (menyamakan /menganalogikan suatu hukum dengan hukum yang lain –ed). Ada hukum-hukum qiyas, kapan boleh dipergunakan dan kapan tidak boleh dipergunakan. Imam Ahmad pernah bertanya kepada gurunya Imam Syafi’i, kapan qiyas digunakan, beliau (Imam Asy-Syafi’i) menjawab: “Dalam keadaan darurat.”

2. Mengikuti hawa nafsu dalam berbicara tentang hukum.

Dalam hal ini yang berbicara bukan ilmu namun hawa nafsu. Ibnu Taimiyah berkata dalam sebagian kitabnya, diantaranya Minhajus Sunnah, bahwa dasar ahlul bid’ah adalah dengan kejahilan dan hawa, sedangkan Ahlus Sunnah dengan ilmu dan keadilan. Jadi ahlul bid’ah itu menegakkan bid’ah atas dasar kebodohan dan hawa. Bagaimana kita mengetahuinya? Pertama: tidak ada keterangan dari syara’. Karena tidak ada keterangan dari syara’ maka akan datang yang kedua, hawa yang bermain.

3. Berbaik sangka terhadap akal di dalam syariat.

Dengan demikian yang memutuskan dalam syariat itu adalah akal. Seolah-olah akal bagi mereka tidak mempunyai batasan. Padahal Allah tabaraka wata’ala telah menjadikan bagi akal itu suatu batasan dimana akal tidak bisa melampuainya. Ketika seseorang menjadikan akalnya yang menghukumi di dalam syariat, maka timbul berbagai macam bid’ah.

Dari tiga sebab ini bercabang kepada sebab-sebab lainnya.

IV. Berlaku Sedang di dalam Sunnah lebih baik daripada Bersungguh-sungguh di dalam Bid’ah.

Perkataan yang maknanya sangat dalam sekali, dan diucapkan beberapa sahabat. Berlaku sederhana dalam Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.

Sebagai contoh, orang yang berdzikir dengan kalimat laa ilaaha illallah satu kali saja, mengamalkan perintah Allah dan sunnah Nabi yang menganjurkan kita untuk mengucapkan tahlil tanpa ditentukan tempatnya, waktunya, bilangannya, dengan orang yang bersungguh-sungguh bersemangat dalam bid’ah – seperti orang yang mengucapkan sepuluh ribu kali laa ilaaha illallah, dengan i’tiqad barangsiapa yang mengamalkan yang demikian sepuluh ribu kali dia akan memperoleh ini, ini dan ini. Hal seperti ini banyak terdapat pada kitab-kitab dzikir yang beredar di negeri kita ini. Maka jauh lebih baik dengan satu kali ucapan laa ilaaha illallah. Yang membedakan keduanya adalah, yang satu kali itu meng-i’tiqad-kan mengikuti sunnah, meskipun hanya satu kali mengucapkan laa ilaaha illallah, tanpa menentukan waktunya, tempatnya jumlahnya dan sifatnya. Berbeda dengan yang melakukan dzikir-dzikir dengan menentukan bilangannya yang tidak ada ketentuannya dari syara’, misalnya dengan menentukan ribuan kali, pada waktu tertentu, apalagi jika di-i’tiqad-kan untuk ini dan itu.

Jadi sederhana di dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bdi’ah.

Setelah shalat kita berdzikir dengan dzikir-dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah, walaupun jumlahnya tidak lebih dari seratus, lebih baik daripada bersungguh-sungguh membaca dzikir yang demikian panjangnya, tetapi tidak ada sunnahnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

V. Bid’ah dan niat baik.

Sering kita dapati bahwa seseorang apabila dilarang mengerjakan bid’ah dia mengatakan bahwa niat dia itu baik, dia mempunyai niat yang hasanah. Tetapi apakah cukup niat baik itu saja seseorang mengerjakan amal, taqarrub kepada Allah? Jawabannya tidak cukup. Harus memenuhi dua syarat utama:
1. Ikhlas kepada Allah dalam beribadah.
2. Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dua syarat ini harus dipenuhi. Apabila hilang salah satu syarat, apalagi kedua-duanya, maka amalnya tertolak.

Fudhail bin Iyadh pernah menafsirkan لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا - “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS Al-Mulk : 2) mengatakan bahwa yang dimaksud adalah amal yang paling ikhlas dan yang paling benar. Sesungguhnya amal itu bila dia ikhlas dan tidak benar maka tidak diterma. Dan jika amal itu benar akan tetapi tidak ikhlas maka juga tidak diterima. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah apabila dikerjakan karena Allah ta’ala. Sedangkan yang dimaksud dengan benar adalah berada di atas Sunnah, berjalan di atas dasar Sunnah.

Jadi syarat diterimanya amal itu ada dua. Ikhlas, untuk siapa kita mengerjakan ibadah itu, karena apa kita mengerjakan ibadah itu. Yang kedua, ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena apabila satu dari kedua syarat ini hilang, maka tidak diterima amal shalih itu. Jadi bukan semata-mata niat baik.

Tidak bisa ber-istidlal dengan hadits ‘innamal a’malu bin niyaati’, karena niat baik saja itu tidak membolehkan kita mengerjakan amal-amal yang tidak disyariatkan. Pernah terjadi di zaman Rasulullah, kisah Abu Bakrah radiallahu anhu ketika dia masuk masjid dengan terburu-buru – dengan niat baik – ingin cepat-cepat mendapatkan takbiratul ihram, semangatnya untuk mengikuti jama’ah. Namun ketika selesai ia ditegur oleh Nabi: “Semoga Allah menambah semangatmu, tapi jangan ulangi lagi perbuatan itu (datang ke masjid dengan tergesa-gesa)”. [2]

Contoh lain, seorang sahabat Nabi berkata di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki”. Sahabat yang mengucapkan yang demikian kepada Nabi tentu mempunyai niat yang baik sekali, untuk meninggikan Nabi, memuliakan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun Nabi menjawab: “Patutkah engkau jadikan aku tandingan bagi Allah?” Niat baik ingin menyanjung Rasulullah namun dilarang. [3]

Hadits yang lain, Bara bin Azib pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam doa sebelum tidur, didalamnya terdapat kalimat ‘wa bi nabiyyika’, kemudian oleh Bara – dengan niat baik untuk lebih meninggikan Rasulullah – diganti dengan ‘wa bi rasulika’. Sedangkan menurut istilah, Rasul lebih tinggi daripada Nabi, seorang Rasul pasti Nabi dan tidak sebaliknya, Namun Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang: “Tidak.” Tetap yang diajarkan oleh Nabi dan tidak mengganti lafazh wa bi nabiyyika dengan wa bi rasulika, walaupun lafazh rasul lebih tinggi daripada nabi. [4]

Sebagian sahabat memanggil Nabi dengan ‘Sayyidina’ – Wahai sayid kami. Untuk apa para sahabat mengatakan itu kalau bukan dengan niat baik memuliakan Nabi, menyanjung Nabi, menghormati Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kata Nabi: “As-Sayid itu Allah”. Bagaimana sekiranya Nabi hidup tengah-tengah kita menyaksikan umatnya ini yang mengadakan Maulid terhadap beliau? Sedangkan para sahabat hanya mengucapkan Sayyidina saja dilarang.[5]


Seringkali kita mendengar orang mengatakan bahwa yang dilakukannya semata-mata dengan niat baik, dalam rangka untuk mengajak umat agar kembali kepada agamanya, namun ini tidak cukup melainkan harus disertai dengan Sunnah. Karena bukan hanya kita yang mempunyai niat baik, bahkan para sahabat dulu begitu banyak. Sebagian sahabat bahkan melakukan perbuatan kemudian ditegur oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti hadits-hadits di atas, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Demikian pula semangat tidak berdiri sendiri. Lihat contoh Abu Bakrah, betapa semangatnya sehingga Nabi mendoakan “Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu”. Namun modal semangat saja tidak cukup melainkan harus disetujui oleh agama.


....bersambung, insya Allah


*Transkrip setengah bagian dari file ke 2.

________________________
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan dari Imam Hadits dari Abu Qatadah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya perihal puasa pada hari Senin, lalu beliau menjawab: “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula diturunkan wahyu kepadaku.” Dalam lafazh riwayat yang lain berbunyi: “Itulah hari dimana aku dilahirkan dan aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.” (Shahih Muslim 1/368, Ahmad V/297, 299, Al-Baihaqi IV/286, 300, Al-Hakim II/602). Sumber: Ar-Rahiq Al-Makhtum (Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) oleh Syaikh Safiyyurrahman Al-Mubarakfury, Edisi Revisi, Catatan kaki hal. 83, Penerbit: Darul Haq, 2007.

[2] HR Abu Dawud dan lain-lain dalam Ash-Shahihah no, 230:
Dari hadits Abu Bakrah. bahwa Abu Bakrah datang, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah ruku'. Lalu Abu Bakrah pun ruku’ sebelum mencapai shaf dan berjalan menuju shaf. Ketika beliau Rasul telah menyelesaikan shalatnya. beliau bertanya: "Siapa di antara kalian yang ruku' sebelum mencapai shaf lalu berjalan menuju shaf?" Abu Bakrah menjawab: "Saya wahai Rasul.”, Beliau pun bersabda:

٢٣٠ - زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدَّ
"Semoga Allah menamhahkan semangat tinggi padamu. Dan jangan kamu ulangi."

[3] HR An-Nasa’i dari Ibnu Abbas menuturkan bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka ketika itu bersabdalah beliau:

أَجَعَلْتَنِي اللهِ نِدًّا، بَلْ مَاشَاء اللهُ وَحْدَةُ

“Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu dari Allah. Akan tetapi katakanlah ‘Atas kehendak Allah saja’ ".

Dalam riwayat lain Nabi bersabda: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.” (HR An-Nasa’i dan dinyatakan shahih dari Qutailah radhiallahu anhu)

Sumber: Fathul Majid (terjemahan) oleh Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Bab: Ucapan Atas Kehendak Allah dan Kehendakmu, hal. 791-802, Penerbit: Pustaka Azzam, 2002.

[4] Dari al-Bara' bin 'Azib radhiallahu 'anhuma, katanya: 'Rasulullah s.a.w. bersabda kepada saya: "Jikalau engkau mendatangi tempat pembaringanmu - yakni akan tidur, maka berwudhu'lah dahulu sebagaimana wudhu'mu untuk bersembahyang, kemudian berbaringlah pada belahan tubuhmu sebelah kanan dan ucapkanlah –

اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

“Ya Allah, saya menyerahkan jiwaku kepada-Mu, saya aturkan urusanku kepada-Mu, saya tempatkan punggungku kepada-Mu. Demikian itu adalah karena cinta dan takut kepada-Mu. Tiada tempat bersandar dan tiada tempat berlindung daripada-Mu selain kepada-Mu. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada Nabi yang Engkau utus”.

Jikalau engkau mati, maka matimu di atas fithrah

فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لَا وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

Aku mengucapkan dzikir: “dan Rasul-Mu yang Engaku utus,” Beliau bersabda: “Tidak, dan dengan Nabi-Mu yang Engkau Utus.”

HR Bukhari (Maktabah Syamilah v1.0 19/372 no. 5836

[5] HR Abu Dawud dengan sanad jayyid dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir menuturkan: “Tatkala ikut pergi bersama delegasi Bani Amir menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kami berkata:

أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا فَقَالَ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ


“Engkau adalah sayyid (tuan) kami.”Maka beliau bersabda: “Sayyid yang sebenarnya adalah Allah Tabaraaka wa Ta’ala.” Lalu kami berkata: “Engkau adalah yang paling mulia dan paling agung kebaikannya di antara kami.” Beliau pun bersabda: “Ucapkanlah semua atau sebagian lata-kata yang wajar bagi kamu sekalian dan janganlah terseret oleh Syaithan.”

Sumber: Fathul Majid (terjemahan) oleh Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Bab: Upaya Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam menjaga kemurnian Tauhid, hal. 977-983, Penerbit: Pustaka Azzam, 2002.
َ

No comments:

Post a Comment