Sunday, May 17, 2015

Bermudah-mudah dalam urusan agama?


“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”
[Al-Baqarah: 185]

Hari masih pagi dan matahari terlihat mengintip malu-malu. Angin msuim gugur di bulan November yang semalam memporak-porandakan sepeda yang terparkir sepanjang jalan, hari ini menjadi sedikit bersahabat, meski dinginnya terasa menusuk pori-pori wajah. Hari ini terasa lebih spesial karena sejak menginjakkan kaki di negeri tulip bulan September lalu, ini pertama kalinya saya berkunjung ke Utrecht, sdekitar 1 jam jika ditempuh dengan kereta dari Arnhem, kota di mana saya tinggal.

Berkeliling di sekitar centrum Utrecht bersama dua orang teman dari asrama sangat menyenangkan. Saya tidak pernah berhenti dibuat kagum oleh arsitektur bangunan yang telah berumur ratusan tahun, atau sekedar melihat model rumah khas negeri kincir angin. Menikmati perjalanan menyusuri kanal, atau sekedar duduk menikmati secangkir coklat panas di antara dinginnya terpaan angin, membuat diri terlena sehingga lupa akan waktu.. Lalu..... Astaghfirullah, saya belum lagi shalat Dzuhur! .

Saya menjadi panik, tidak menyangka akan berkeliling terlalu lama. Perasaan gelisah yang membayangi membuat kedua teman asing itu bertanya, “Ada apa?” Setelah disergap keraguan beberapa saat, akhirnya saya mengatakan kepada mereka saya harus segera shalat. Sebenarnya saya berharap kembali sebelum waktu shalat usai sehingga tidak membawa persiapan selayaknya. Jika saat itu istilah galau telah populer, maka saya benar-benar dalam keadaan galau tingkat tinggi. Saya hampir menangis jika memikirkan apa yang harus dikorbankan untuk menikmati kesenagan sesaat. Saat itu saya bahkan berpikir, jika tidak menemukan tempat, taman kota pun jadilah. Bukankah shalat bisa di mana saja? Tapi dengan keadaan seperti ini? Syukurlah, setelah berkeliling cukup lama, akhirnya seorang penjaga sekolah membolehkan untuk shalat di salah satu ruangan sekolahnya.

Saya menuliskan pengalaman ini, dan beberapa pengalaman lain terkait kejadian serupa, karena terdorong apa yang dikatakan oleh seorang teman sesama peserta pelatihan sebelum berangkat ke negeri asing kali berikutnya.

Belajar ke negeri asing merupakan impian banyak orang. Bagi seorang muslim, tantangan terbesar tentu saja adalah bagaimana tetap menjalankan ibadah di negeri yang mayoritas non muslim. Dan shalat adalah yang paling utama. Pertama kali tiba di universitas yang saya tanyakan adalah tempat shalat. Saya bukanlah orang yang sangat taat, kondisi saya sangat jauh dari itu. Saat itu saya hanya berharap, jika saya bisa menjalankan shalat dengan baik, Allah akan melindungi saya, karena saya yang selama ini tidak pernah terpisah jauh dan selalu bergantung Bapak, kini benar-benar sendiri di tempat asing yang tidak mungkin dikunjungi oleh keluarga. Dan shalat menjadi penghibur. Apalagi itu adalah wasiat Bapak yang untuk pertama kali melepas anak perempuannya pergi jauh tanpa dirinya. Ketika bertanya kepada sang office manager, dia terlihat berpikir sejenak dan kemudian berkata:

“Anda bisa shalat di kantin, ruangan itu sangat luas, dan setelah jam makan siang biasanya akan sepi.”

Saya terbelalak. Kantin? Saya tidak bisa membayangkan shalat di kantin dan menjadi pemandangan aneh bagi orang lain.

“Apa tidak ada ruangan lain yang lebih tertutup? Ruang tertentu yang tidak terpakai atau apalah?”
“Tidak ada.”

Hati saya benar-benar menciut. Apa saya harus menunggu waktu pulang dan menjama’ shalat setiap hari? Saya tidak terlalu paham mengenai fiqih shalat. Sedikit yang saya tahu jama’ shalat bisa dilakukan sesekali dalam keadaan mendesak. Tapi setiap hari? Akhirnya saya memutuskan untuk menghadap salah seorang dosen senior dan menceritakan keadaan saya, berharap dia bisa mencarikan jalan keluar. Lagipula  di kelas kami masih ada teman-teman muslim lainnya. Setelah mendengar apa yang saya katakan, beliau pun mengizinkan saya untuk shalat di ruangannya untuk hari itu, sambil berjanji akan mencarikan jalan keluar. Alhamdulillah, besok paginya di pigeon hole saya menemukan sebuah memo yang menunjukkann peta ruangan untuk shalat beserta sebuah anak kunci. Itu benar-benar anugerah! Kami bahkan bisa berjama’ah dengan beberapa muslim lain dari timur tengah. Ada banyak hal yang membuat saya merasa benar-benar diberi anugerah. Dalam keadaan banyak melakukan dosa dan kesalahan pun, Allah masih memberikan kemudahan. Termasuk diberi izin untuk melakukhan shalat meskipun tutorial sedang berlangsung. Tentu saja untuk hal ini kami berdiskusi terlebih dahulu sejak awal dengan Course Director.

Ada banyak pertanyaan terkait hal ini oleh calon mahasiswa yang akan belajar ke luar negeri. Dan ketika saya bercerita tentang pengalaman di atas, seorang teman berkata:


“Kenapa meminta perlakuan khusus? Shalat toh bisa dilakukan di mana saja. Di mobil, di kelas, di tempat umum? Allah Maha Tahu, dan Dia memudahkan hamba-Nya, kenapa kita mempersulit diri?” Tegasnya. Dari nada perkataannya saya menangkap seolah-olah mengandung makna, “Kita berada di negeri mayoritas non muslim, ya harus harus mengerti dan menerima resikonya, jangan manja!”

Saya berusaha menjelaskan alasan kami waktu itu. “Bukan meminta perlakuan khusus, akan tetapi ibadah adalah hak privasi. Shalat di sembarang tempat akan memancing perhatian orang lain dan boleh jadi menyebabkan sebagian orang merasa tidak nyaman dengan hal itu. Sesekali dalam keadaan tertentu mungkin bisa dilakukan di mana saja, tetapi setiap hari selama dua tahun?”

Apa yang ingin saya katakan dari pengalaman di atas, untuk kepentingan ibadah, bertanyalah, memintalah, berdiskusilah, atau bernegosiasilah. Sebagian orang mungkin tidak berani melakukannya karena khawatir akan ditolak atau dicemooh karena dianggap manja dan berlebihan, atau prasangka buruk lainnya. Hal ini menyebabkan sebagian orang terpaksa mentelantarkan shalatnya. Tapi tidakkah untuk urusan agama kita berusaha terlebih dahulu? Bahkan para non muslim di negeri asing pun bisa memahami kondisi seorang muslim dan bersedia memberikan kemudahan jika diminta. Bukankah mereka banyak berpromosi dan menerima mahasiswa dari negeri-negeri kaum muslimin? Tentunya mereka juga menyadari konsekuensinya.

Dan setelah usaha itu, saya yakin, Allah pun akan memudahkan urusan kita, insya Allah.

No comments:

Post a Comment