Aku Ingin Bertaubat, Tetapi...(1)…
Oleh: Syaikh Muhammad Saleh al-Munajjid
Mukadimah
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut diibadahi dengan benar kecuali Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Allah telah memerintahkan semua kaum Mu’minin untuk bertaubat, Dia berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur [24] : 31)
Manusia terbagi ke dalam dua jenis, orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah, dan orang-orang yang berbuat kesalahan, tidak ada jenis ketiga. Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“…dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujarat [49] : 11)
Kita hidup di sebuah zaman dimana banyak orang telah menyimpang jauh dari agama Allah, dan dosa dan pelanggaran sangat menyebar sehingga tidak ada satu orang pun yang tetap terbebas dari noda keburukan kecuali bagi orang yang dilindungi oleh Allah.
Namun demikian, Allah tidak mengizinkan kecuali bahwa menyempurnakan cahaya-Nya, sehingga banyak orang terbangun dari tidur panjang kelalaian. Mereka menjadi sadar akan kegagalan memenuhi kewajiban mereka kepada Allah, menyesali kecerobohan dan dosa-dosa mereka, dan karenanya mulai bergerak menuju cahaya taubat. Yang lainnya telah merasa letih dengan kehidupan celaka yang penuh sengsara, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Namun orang-orang ini menemui berbagai rintangan yang mereka pikir menghalangi antara mereka dan taubat, sebagian diantaranya terdapat di dalam diri mereka, dan orang-orang lain di dunia ini di sekeliling mereka.
Untuk alasan inilah saya menulis risalah singkat ini, dengan harapan untuk menjernihkan kebingungan ini, mengusir keraguan, menjelaskan hikmah dan mengusir syaithan.
Melanjutkan pendahuluan yang dibahas dalam ‘bahaya meremehkan dosa-dosa’, saya kemudian menjelaskan syarat-syarat taubat, pengobatan psikologis, dan fatwa berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, yang ditujukan kepada mereka yang bertaubat. Diikuti dengan nukilan perkataan dari sebagian ulama dan komentar saya sebagai kesimpulan.
Saya memohon kepada Allah agar hal ini dapat bermanfaat bagi diriku dan saudara-saudaraku kaum Muslimin. Saya tidak meminta kepada saudara-saudaraku kecuali mereka mendoakanku dan memberikan nasihat yang tulus kepadaku. Semoga Allah menerima taubat kita semua.
Bahaya Meremehkan Dosa-Dosa
Engkau harus mengetahui, semoga Allah merahmatiku dan dirimu, bahwa Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertaubat dengan ikhlas dan telah menetapkan bahwa melakukannya (taubat) adalah kewajiban. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS At-Tahrim [66] : 8)
Allah telah memberikan kita waktu untuk bertaubat sebelum kiraaman kaatibin (malaikat yang mulia yang mencatat amalan) mencatat amal-amal kita. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat di sebelah kiri mengangkat penanya (yakni menunda untuk menulis) selama enam jam (ini mungkin berkenaan dengan waktu enam jam dari 60 menit perjam sebagaimana yang dihitung para atronom, atau dapat merujuk pada periode singkat di siang atau malam hari –Lisaan al-Arab) sebelum dia mencatat perbuatan dosa seorang Muslim. Jika dia menyesalinya dan memohon ampunan Allah, amal (buruk) itu tidak dicatat, selain itu maka akan dicatat sebagai satu amal (buruk).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam Shu’ab al-Iman – Cabang-cabang Iman); dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, 1209). Tenggang waktu lebih lanjut diberikan setelah amal tersebut tercatat, sampai saat sebelum ajal mendekatinya.
Persoalannya adalah banyak orang sekarang ini tidak menempatkan harapan dan takut kepada Allah. Mereka menghianati-Nya dengan melakukan berbagai macam dosa, siang dan malam. Ada diantara orang-orang yang dicoba dengan pemikiran menganggap dosa-dosa sebagai sesuatu yang tidak signifikan, sehingga engkau dapat melihat salah seorang diantara mereka menganggap ‘dosa-dosa kecil tertentu’ (saghaa’ir) tidak penting, sehingga dia mungkin berkata, “Apa bahayanya jika saya melihat atau berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram?” Mereka menganggap tidak apa-apa memandang wanita dalam majalah atau pertunjukan TV. Sebagian diantara mereka, ketika dikatakan kepada mereka bahwa ini haram akan bertanya dengan berkelakar, “Lalu seberapa buruk hal itu? Apakah itu termasuk dosa besar atau dosa kecil?” Bandingkanlah sikap ini dengan apa yang digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah.
Anas radhiallahu anhu berkata: “Engkau melakukan hal-hal yang dimatamu terlihat lebih ringan dari sehelai rambut, namun di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat menghancurkan seseorang.”
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata, “Seorang Mu’min menganggap dosa-dosanya seolah-olah dia duduk dibawa sebuah gunung yang dia takut gunung tersebut akan jatuh menimpanya, sedangkan orang yang berdosa menganggap dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya dan dia menepiskannya.”
Apakah orang-orang ini akan memahami keseriusan masalah ini jika mereka membaca hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut ini: “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil yang seringkali diremehkan, karena hal itu seperti sekelompok orang yang singgah di dasar lembah. Salah seorang diantara mereka membawa sebuah ranting, dan yang lainnya membawa sebuah ranting sampai mereka semua mengumpulkan ranting-ranting yang cukup untuk memasak makanan mereka. Dosa-dosa kecil ini akan membinasakan mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad; Shahih al-jami’, 2686-2687)
Para ulama berkata bahwa ketika dosa-dosa kecil diikuti oleh kurangnya rasa malu atau penyesalan, dan tanpa rasa takut kepada Allah, dan dianggap remeh, maka memungkinkan bahwa dosa-dosa itu akan dihitung sebagai dosa besar. Oleh karena itu dikatakan kepadamu bahwa tidak ada dosa-dosa kecil yang kecil bagimu dan tidak ada dosa besar yang besar bagimu jika engkau terus-menerus memohon ampun.
Maka kita katakan kepada orang-orang yang berada dalam kondisi seperti ini: Jangan berpikir apakah ini dosa kecil atau dosa besar; Pikirkanlah Dia yang engkau khianati.
Insya Allah perkataan ini akan memberikan manfaat kepada orang-orang yang ikhlas, dan yang menyadari dosa-dosa dan kekurangannya, dan tidak terus-menerus melakukan kesalahan dan berpegang teguh kepada keimanan.
Kata-kata ini adalah untuk mereka yang beriman terhadap firman Allah:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,’ (QS Al-Hijr [15] : 49)
Dan firman-Nya:
وَ أَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الأَلِيمَ
“dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS Al-Hijr [15] : 49)
Sangat penting untuk memegang pemahaman yang seimbang ini di dalam pikiran kita.
....bersambung, insya Allah
Artikel ini diterjemahkan secara bebas dari artikel berbahasa Inggris ‘I Want to Repent, But…’ karya Syaikh Muhammad Saleh al-Munajjid yang dapat anda temukan di situs Islam House. Jika ada tanggapan atau koreksi terhadap artikel ini dipersilahkan untuk menghubungi kami. |
No comments:
Post a Comment