Cara Terbaik Memohon .Ampunan (3)
Oleh: Syaikh Abdur Razak Ibnu Abdul Muhisn Al-Abbad
Oleh: Syaikh Abdur Razak Ibnu Abdul Muhisn Al-Abbad
Adapun perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam “Aku senantiasa menepati janji-Mu selama aku mampu….,” para ahlul ilmi menyebutkan beberapa makna terhadap perkataan ini. Sebagian ulama berkata bahwa maknanya adalah ‘Aku menepati janji yang telah Engkau berikan dan janji yang aku buat kepada-Mu, bahwa aku beriman kepada-Mu dan bahwa aku akan memurnikan dan mengikhlaskan ketaatan kepada-Mu, semam;uku.’
Dengan demikian seorang hamba setuju dan berjanji bahwa dia akan benar-benar beriman. Seorang hamba yang berkata: “Aku adalah hamba-Mu…” bermakna bahwa ‘Saya akan berpegang teguh terhadap peribadatan kepada-Mu.’ Dia telah membuat perjanjian dengan Allah dan dia telah berjanji untuk tetap tegak diatas ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu sang hamba – dalam setiap shalat – bahkan dalam setiap raka’at – membuat janji kepada Allah bahwa dia akan beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada yang lain bersama-Nya; bahwa dia akan menyeru terhadap pertolongan-Nya dan tidak menyeru kepada yang lain bersama-Nya, murni dan ikhlas hanya kepada Allah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS Al-Fatihah [1] : 5)
Dengan demikian, di dalam hadits ini, ketika sang hamba berkata: “Aku senantiasa menepati janji-Mu selama aku mampu….,” dia bermakaud:, “Aku telah menyetujui perjanjian itu dan berjanji bahwa aku akan tetap teguh dalam keimanan, beribadah dan memenuhi perintah-Mu, dan aku berpegang setia kepadanya…’ (dengan mengetahui bahwa) Allah tidak akan memberikan beban kepada jiwaku lebih besar dari yang mampu dipikulnya. Ulama lainnya berkata adalah mungkin bahwa artinya adalah: ‘Aku setia terhadap perjanjian yang mengikatku yang telah Kau tetapkan. Kepada perintah apapun yang Engkau berikan kepadaku dan aku akan berpegang kepadanya sekuat kemampuanku. Jadi Allah membuat perjanjian yang mengikat (‘ahida) atas diri kita bahwa kita harus tetap berada di dalam keimanan. Dia memerintahkan kita dengannya dan Dia menyeru kita kepadanya. Maka seorang hamba mengucapkan di dalam doanya: “Ya Allah, Aku senantiasa menepati janji yang Engkau buat atasku dalam hal keimanan. Dan aku akan setia berpegang kepadanya dan mengikutinya selama aku mampu.’
Perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam. ‘Sebagaimana yang saya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mampu…’ adalah kualifikasi dari semua ini, menjadikannya tergantung kepada kemampuan dan ini adalah dari rahmat Allah terhadap ummat. Sebagian ahli ilmu berkata bahwa perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam menempatkan persyaratan kemampuan dan bahwa ini adalah pengakuan akan kelemahan dan kekurangan seseorang yang berarti: ‘Saya tidak mampu untuk melengkapi keimanan secara keseluruhan juga tidak memperoleh tingkat yang paling tinggi dan bentuk yang paling sempurna. Aku mengakui kelemahan dan kekuranganku. Aku tidak mampu maka janganlah menjadikan aku bertanggungjawab atas kelemahanku, kekurangan, kelemahan dan ketidakberdayaanku. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’anul Karim:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah [2] : 286)
Dan terdapat di dalam sebuah hadits bahwa Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku telah mengabulkannya’1) Juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits shahih bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila aku memerintahkan kalian dengan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian, dan apapun yang aku larang dari kalian maka tinggakanlah.”2) Maka disini, dijelaskan oleh para ulama bahwa ketika beliau menyebutkan sebuah perintah (al-amr) beliau menjadikannya tergantung pada kemampuan, karena bisa saja ada sebagian perintah yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang, atau dia tidak dapat mengerjakannya sepenuhnya. Maka pelaksanaan perintah dibuat berdasarkan kemampuan.
Dengan demikian, perkataan beliau: “…semampuku…” mengandung pesan bagi umat bahwa tidak ada yang mampu melaksanakan setiap kewajibannya kepada Allah, tidak juga secara menyeluruh memenuhi ketaatan dan syukur atas nikmat-nikmat yang dilimpahkan kepadanya karena (kelemahan) dari dirinya. Allah melimpahkan belas kasih kepada umat ini dan tidak menuntut mereka dalam hal ini kecuali apa yang mampu mereka lakukan; berusaha keras dan melaksanakan perbuatan ketaatan kepada Allah; bersyukur atas nikmat-Nya dan melaksanakan keimanan sekuat kemampuan seseorang. Allah mengetahui setiap pandangan mata dan yang tersembunyi di dalam hati.
Namun demikian, ketika Nabi r menyebutkan larangan beliau berkata; “…dan apa yang aku larang dari kalian, maka jauhilah…” Beliau tidak berkata; “…semampumu…” dan sebagaimana para ulama berkata, larangan berarti bahwa seseorang harus menahan diri dari melakukan sesuatu. Ini berada dalam kekuasaan setiap orang.
Setiap orang mampu menahan diri dari perzinahan, mencuri, membunuh, dan segala hal yang Allah larang. Tidak seorang pun boleh mengatakan; “Saya tidak dapat meninggalkan semua perkara ini.” Tidak seorang pun akan mengatakannya kecuali seorang pelaku maksiat yang keinginannya adalah berbuat dosa dan kepada Allah lah kita berlindung. Oleh karena itu, meninggalkan hal-hal yang dilarang tidak memprasyaratkan kemampuan.
Selanjutnya perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam; ‘…Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku…’ keduanya adalah pernyataan dan pengakuan; ‘Aku mengakui…” berarti ‘Aku mengakui dan menyatakan,’ perkataan ini dalam riwayat lain dari hadits ini. Ini adalah penegasan atas nikmat-nikmat Allah, ‘Aku mengaskan nikmat-nikmat-Mu kepadaku.’
Jika kita memeriksa dan mempertimbangkan hadits tersebut bahwa pernyataan itu tidak terbatas pada suatu nikmat tertentu. Bahkan Nabi r membiarkannya tak terbatas. Maka ‘Aku mengakui nikmat-Mu atasku’ berarti aku mengaku dan menegaskan setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepadaku.
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya),” (QS An-Nahl [16] : 53)
Di dalam doa tersebut, hamba berkata: ‘Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku,’ adalah pengakuan terhadap semua nikmat-nikmat Allah; nikmat iman, nikmat kesehatan dan anak-anak, nikmat tanaman, nikmat rumah – setiap nikmat datangnya dari Allah. Allah subhanahu wata’ala adalah Satu-satunya yang memberikan dan melimpahkan nikmat.
Setelah mengakui nikmat-nikmat ini, maka wajib bagi seorang hamba untuk bersyukur kepada Allah I atas segala nikmat itu. Sebagaimana Alllah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim [14] : 7)
Maka seorang hamba wajib bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya. Dia memuji dan bersyukur atas nikmat-nikmat itu dan dia menunjukkan rasa syukurnya dengan ketaatan kepada Allah.
Mengenai perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam; “Aku mengaku dosaku..”, para ahli ilmu menyebutkan dua makna. Yang pertama adalah, ‘Aku mengakui dosaku tidak sungguh-sungguh bersyukur atas nikmat-nikmat-Mu’ dan karena ‘Aku mengakui dosaku…’ mengikut kalimat ‘Aku mengakui kepada-Mu nikmatmu-Mu kepadaku’ ini bermakna ‘Dosaku dalam kekurangan…’ – ‘Aku mengakui syukurku atas nikmat-nikmat-Mu tidak mencukupi’
Penjelasan lain adalah perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam, ‘Aku mengakui dosaku…’ dapat berarti, ‘Aku mengakui semua dosaku,’ tidak terbatas, yakni seluruh perbuatanku dalam kemaksiatan dan setiap dosa yang telah aku lakukan.
Dengan pengakuan ini bahwa dia berdosa, seorang hamba mengakui bahwa dia tidak mencukupi dalam hal hak-hak Allah atasnya, bahwa dia tidak menunaikan hak-hak Allah sebagaimana seharusnya dia lakukan. Pengakuan inilah yang menjadi permulaan jalan menuju taubat. Namun demikian, jika dia melakukan kemaksiatan dan jatuh kedalam dosa-dosa yang membinasakan, namun dia tidak merasa telah berbuat dosa, maka taubat adalah sesuatu yang jauh daripadanya kecuali dia diberi petunjuk kepada sebab-sebabnya (taubat) dan mendapatkan nikmat diletakkan di atas jalan taubat itu.
Maka ada dua makna dari perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam ‘Aku mengakui dosaku…’ dan yang paling benar diantara keduanya, wallahu a’lam, adalah yang kedua. Pengakuan hamba akan dosa-dosa dan kegagalannya, telah melakukan kesalahan dan kekurangan seharusnya mendorongnya memohon ampunan dan inilah makna inti dari hadits tersebut.
Kemudian, perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam ‘Aku mengakui kepada-Mu nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku…’ mengandung sebuah petunjuk akan sebuah perkara yang telah disebutkan oleh para ahli ilmu. Yakni bahwa seorang hamba, dalam kehidupan ini, secara terus-menerus mengalami maju mundur sepanjang hari dan malam diantara dua perkara. Yaitu apakah ia dianugerahi nikmat yang baru oleh Allah, dan semua nikmat datangnya dari Allah, dan hal ini mengharuskan dia untuk bersyukur. Atau, dia jatuh ke dalam dosa dan ini mengharuskan dia untuk bertaubat dan memohon ampun. Oleh karena itu sebagian para Salaf berkata: “Aku memasuki pagi diantara nikmat-nikmat dan dosa-dosa, maka aku ingin menyegerakan syukur atas nikmat-nikmat dan memohon ampun atas dosa-dosa.”
Manfaat besar lebih lanjut yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah dosa apapun yang dilakukan seorang hamba, apabila dia mengakui kenyataan bahwa dia berdosa dan sungguh-sungguh bertaubat – Allah akan menerima taubatnya, apapun dosanya, dan memaafkannya. Pengertian ini dinyatakan dengan jelas dalam hadits lain, hadits panjang mengenai keraguan (al ifk), dan dalilnya adalah perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam; “Apabila seorang hamba mengakui dosanya dan bertaubat, maka Allah menerima taubatnya.”3)
Kemudian perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam di akhir hadits Saddad bin Aus radhiallahu anhu ; ‘Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau,’ adalah sebuah pengakuan bahwa hanya Allah sajalah yang mengampuni dosa, dan bahwa Dia lah yang menerima taubat dari hamba-Nya. Oleh karena itu, sang hamba kembali – dalam taubat, ketaatan, memohon ampunan dan maaf – hanya kepada Allah saja, karena tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Dia.
Diantara manfaat yang dapat diambil dari uraian dan penjelasan dari hadits ini adalah menjadikan jelas bagi kita kenyataan bahwa hadits ini mengandung dua perkara: Tauhid dan Istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang terbesar dan paling penting dan keduanya hampir serupa digabungkan dalam banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Diantara nash tersebut adalah firman Allah Ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS Muhammad [47] : 19)
Demikian pula, Allah menyebutkan perkataan Dzun-Nun, berdoa dari kegelapan yang dalam:
أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“"Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Anbiya [21] : 87)
Demikian juga firman Allah Ta’ala:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“…maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS Fushilat [41] : 6)
Di dalam ayat-ayat ini, Tauhid kepada Allah dan memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa disebutkan secara bersamaan dan ada banyak nash seperti ini yang menggabungkan kedua hal tersebut, sebagaimana keduanya digabungkan di dalam hadits yang mulia ini – hadits cara terbaik dalam memohon ampunan (afdhalul istighfar).
Secara ringkas, hadits yang mulia ini mencakup:
(i) Pengakuan akan Ketuhanan Allah dan hak tunggal untuk diibadahi.
(ii) Pengakuan bahwa Dia lah Sang Pencipta
(iii) Pengakuan akan perjanjian yang Allah ambil dari hamba-Nya
(iv) Harapan atas apa-apa yang telah dijanjikan-Nya bagi mereka
(v) Berlindung dari pelanggaran (kejahatan) atas diri seseorang
(vi) Penisbatan atas segala nikmat kepada yang memberikan dan menganugerahkannya, yaitu hanya Allah semata
(vii) Penisbatan dosa-dosa dan kesalahan kepada diri sendiri
(viii) Dan didalamnya terkandung keinginan hamba akan ampunan dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni kecuali Allah, Yang Maha Suci dari segala kekurangan.
Sebagai kesimpulannya, wahai saudara-saudaraku – semoga Allah menunjuki diriku dan kalian semua kepada setiap kebaikan dan menganugerahkan kebeeruntungan dalam meraihnya – kita berkata mengenai hadits yang mulia ini, (hadits) yang mengandung semua perkara-perkara yang besari dan semua makna yang sempurna, menyeluruh dan bermanfaat, yang sungguh patut menyandang nama, ‘Cara Terbaik dalam Memohon Ampunan.’
Oleh karenanya selaras dengan pentingnya dan perhatian yang patut diberikan terhadap hadits tersebut – bahwa kita menghafalkan lafazhnya dan menjadikannya salah satu dzikir kita di pagi hari, setelah shalat fajar dan di malam hari sebelum atau sesudah matahari terbenam (senja –pent).
Saya mengulang kembali lafazhnya untuk penghafalannya, dan dengan pengulangannya saya mengakhiri kajian ini dan saya memohon kepada Allah agar Dia menjadikannya bermanfaat….
Cara terbaik dalam memohon ampun adalah seorang hamba mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Engkau, Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku senantiasa menepati janji-Mu selama aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatanku yang jelek, aku mengakui kepada-Mu nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
Aku memohon kepada Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Pemurah, Pemilik Arsy yang agung, dengan nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya mulia dan agung, bahwa Dia memberikan kepada kita pertolongan-Nya dalam menegakkan dzikir ini dan setiap dizikir dan setiap perbuatan ketaatan kepada-Nya.
Wallahu A’lam, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sebagai penutup adalah Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
_________________________________
Catatan kaki:
1) HR Muslim (versi Inggris vol. 1 no. 299)
2) HR Bukhari dari Abu Hurairah:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku melarang kamu melaksanakan sesuatu, hendaklah kamu jauhi dan apa apabila aku perintahkan kepadamu dengan sesuatu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu.” (Matan dinukil dari Shahih Bukhari pada Maktabah Syamilah v1.0 22/255 no. 6744)3) HR Muslim (edisi Inggris vol. 4 no. 6673)
Sumber terjemahan: The Most Excellent Manner in Seeking Forgiveness (http://www.islambasics.com)
E-Book selengkapnya dapat didownload di Maktabah Raudhah Al-Muhibbin
No comments:
Post a Comment