Cara Terbaik Memohon Ampunan (2)
Oleh Syaikh Abdur Razak Ibnu Abdul Muhisn Al-Abbad
Oleh Syaikh Abdur Razak Ibnu Abdul Muhisn Al-Abbad
Wahai saudara-saudaraku. Saya telah menyebutkan di awal kuliah ini bahwa termasuk di dalamnya adalah penjelasan cara terbaik dalam memohon ampunan. Ini adalah sebuah cara memohon ampun yang telah disebutkan para ulama yang merupakan cara terbaik dan paling sempurna. Oleh karena itu kita harus menempatkan betapa pentingnya untuk menghafalkan lafazhnya, memahami maknanya, dan berbuat atasnya.
Dari Saddad Ibnu Aus radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Tuan istigfar adalah seseorang mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Engkau, Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku senantiasa menepati janji-Mu selama aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatanku yang jelek[1], aku mengakui kepada-Mu nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkannya pada siang hari dengan penuh keyakinan, dan dia meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang mengucapkannya pada malam hari dengan penuh keyakinan, dan dia meninggal sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni Surga.”
Para ulama menghitung hadits ini sebagai satu riwayat untuk keduanya malam dan pagi hari – salah satu dzikir yang harus diucapkan pada waktu pagi hari (subuh), antara permulaan fajar dan terbitnya matahari, dan di waktu petang. Barangsiapa yang mengucapkannya dan meninggal pada hari itu sebelum petang hari, akan masuk Surga. Demikian juga, barangsiapa yang membacanya pada malam hari dan kemudian meninggal sebelum pagi hari, akan masuk Surga. Surga adalah jaminan baginya.
Hadits yang sangat bernilai dari Saddad bin Aus radhiallahu anhu ini, diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahih-nya dalam kitab Doa, dengan judul Bab: ‘Afdhalul Istigfar’. Beliau juga menyebutkannya ditempat kedua pada kitab yang sama dengan judul Bab: ‘Apa yang diucapkan ketika tiba pada waktu pagi’. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Al-Bukhari rahimahullah, berpendapat bahwa dalam perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Tuan istigfar adalah…” sampai pada akhir hadits, merupakan dalil bahwa sesungguhnya ini adalah lafazh terbaik dalam memohon ampun dan lafazh yang paling lengkap (sempurna).
Ketika kita mempelajari dan memikirkan lafazh ini, apa yang terkadung di dalamnya menyangkut segala aspek doa: ketundukan, kerendahan, kemiskinan yang hina dan kebutuhan seseorang dihadapan Allah, pengakuan akan karunia dan nikmat Allah, dan kenyataan bahwa tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Dia, - ketika kita mempertimbangkan hal ini, maka menjadi jelas bagi kita bahwa lafazh hadits ini sangat besar maknanya dan tentu saja sangat pantas mendapatkan penjelasan Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai: Sayyidul Istigfar (Tuan Istigfar).
Lebih lanjut, ini adalah satu-satunya hadits dari sahabat yang mulia Saddad bin Aus radhilallahu anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahih-nya dan adalah kenyataan yang patut diperhatikan bahwa beliau meriwayatkannya dua kali. Ini adalah buah manfaat bagi ilmu hadits, dan meskipun Muslim tidak memasukkannya, hadits ini juga diriwayatkan oleh beberapa Ashabus-Sunan, seperti An-Nasa’i dan At-Tirmidzi dengan lafazh yang juga menunjukkan betapa pentingnya mempelajari tuan istigfar ini.
Dalam riwayat At-Tirmidzi, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Maukah kutunjukkan sayyidul istigfar kepadamu?” Dan dalam riwayat An-Nasa’i beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pelajarilah sayyidul istigfar”. Ini menunjukkan bahwa mempelajari lafazh terbaik dalam memohon ampun kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala (sayyidul istigfar) dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Hadits ini diriwayatkan dengan lafazh lain yang hampir serupa, hadits dari Abu Hurairah, juga Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Buraidah radhiallahu anhum. Namun demikian, lafazh dari Saddan bin Aus lah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahih-nya, maka ini lebih tepat, wahai saudara-saudaraku, yang patut ditiru untuk menghafalkan doa yang oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam digambarkan sebagai tuan istigfar.
Mengenai pengertian hadits ini, sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa, karena hadits ini secara menyeluruh, memuat semua makna taubat, maka sepatutnya ditimbang sebagai cara yang paling mulia dan utama dalam memohon ampunan. Inilah sebabnya mengapa Al-Bukhari memberikan judul dalam Shahih-nya “Afdhalil Istigfar”. Lebih lanjut lafazh dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Sayyidul Istigfar” (secara lafazh berarti tuan istigfar) menegaskannya sebagai bentuk perkataan (istigfar) terbaik. Kemudian yang berikutnya, bahwa lafazh ini ‘cara terbaik dalam memohon ampunan (afdhalul istigfar)’ adalah sesuatu yang akan membawa manfaat yang sangat besar.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pada permulaan doa, “Bahwa seorang hamba mengucapkan…” perkataan. ‘Allahumma…’ artinya dengan persetujuan, ‘(Allah! Ya Allah)’, dan ini adalah kata yang artinya sering muncul (banyak terdapat –pent) di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ada keraguan bahwa kata ‘Allahumma’ berarti ‘Ya Allah!’ Oleh karena itu tidak digunakan kecuali ketika memohon. Seseorang tidak berkata: ‘Allahumma ghafurun rahim’ – ‘Ya Allah! Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.’ Namun seseorang harus mengatakan: ‘Ya Allah, ampunilah aku dan kasihilah aku.’
Para ulama telah menjelaskan bahwa Tauhid yang kita diperintahkan untuk dipahami dan sempurna, dilaksanakan dan lengkap, masuk pada dua kategori:
(i) Tauhid yang berhubungan dengan yang harus diketahui dan dinyatakan (dinisbatkan).
(ii) Tauhid yang berhubungan dengan niat dan ibadah seseorang (Tauhid Iraadat wat-Thalab).
Perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Engkau, Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu…,” memadukan kedua aspek ini.
Yang pertama, Tauhid Ma’firah wal-Itsbat (Tauhid yang berhubungan dengan sesuatu yang seseorang harus mengetahui dan menisbatkannya), mengandung Tauhid Rububiyah dan Asma was-Sifat. Tauhid Rububiyah menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Memberi Karunia, Yang Menguasai dan Mengatur segala urusan mahluk-Nya. Tauhid Asma was-Sifat menegaskan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an) dan dalam Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Kedua aspek tauhid ini berhubungan pada hal-hal yang membutuhkan pengetahuan dan penisbatan. Seseorang harus mengetahui bahwa Allah adalah Maha Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Yang Memberikan Karunia, Yang Mengatur segala urusan. Seseorang harus mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya r dan seseorang harus mengakui dan menisbatkan semuanya. Hal ini digambarkan di dalam perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam: “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, ….Egkau menciptakanku…” menegaskan Rububiyah Allah dan bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta.
Aspek kedua, Tauhid Iradah wat-Thalab, adalah Tauhid ibadah dan hal ini menuntut bahwa semua ibadah dilaksanakan murni dan ikhlas karena Allah semata. Perkataan: “Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu” adalah dalil Tauhid ibadah sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. Jika pengakuan bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah, maka mengharuskannya beribadah hanya kepada Allah saja. Pengertian ini seringkali muncul dalam Al-Qur’an dimana Rububiyah Allah, Dia menciptakan, Dia memberikan izin, Dia menghidupkan dan mematikan, merupakan dalil bagi peribadahan yang dilakukan hanya kepada-Nya saja:
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya [21] : 92)
Maka sebagaimana tidak ada tuhan bagimu selain Aku, maka tidak ada yang berhak diibadahi olehmu melainkan Aku. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah , padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2] : 21-22)
“…padahal kamu mengetahui” ditujukan kepada orang-orang yang mempersekutukan Allah. Inilah sebabnya mengapa Allah berbicara kepada mereka dengan cara demikian. Adapun apa yang orang-orang ini ‘ketahui’, Ibnu ‘Abbas t dan lain-lainnya berkata: ‘Maka janganlah menyekutukan Allah dalam peribadatanmu manakala engkau mengetahui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah,’ dan ini menegaskan pengertian perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu…”
Tidak ada Pencipta selain Allah, oleh karena itu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Kita tidak tunduk dan merendahkan diri kita; kita tidak memohon dan berdoa; kita tidak meminta untuk dipenuhi kecuali kepada Allah saja, Satu-satunya Yang Menghidupkan kita dari tidak ada menjadi ada.
Sehingga karena tidak ada Pencipta selain Allah maka kita tidak mengarahkan ibadah kepada yang lain kecuali Dia. Pengejawantahan Tauhid Rububiyah adalah dalil dari Tauhid Uluhiyah (ibadah). Oleh karena itu, seseorang yang berdoa kepada selain Allah dan memohon kepada selain dari Allah harus diberikan peringatan. Dia tidak saja diperingati karena memohon kepada yang tidak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepadanya, tetapi juga karena dia mengabaikan Pencipta dan Pemberi rizki, Satu-satunya yang mendatangkan manfaat dan mudharat, Satu-satunya yang memberikan karunia. Dia Yang Mengatur segala urusan mahluk-Nya.
Maka ketika seseorang memikirkan – dan ini adalah keadaan yang menyedihkan – sebagian dari mereka yang pada saat ini menisbatkan dirinya pada Islam, jelas bahwa meskipun mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta melainkan Allah, meskipun mereka mengatakan ‘laa ilaaha illallah’ mereka masih dapat ditemukan di tempat-tempat keramat, di makam-makam; makam al-Badawi, kuburan Zainab dan Nafisah dan lain-lain. Mereka bersumpah dan berkorban kepada orang-orang tersebut (maksudnya yang disebutkan di atas dan semisalnya –pent.). Orang-orang itu berdoa kepada mereka dan mengharapkan dikabulkan. Mereka meminta beberapa hal. Mereka merendahkan dan menghinakan dirinya. Mereka mengarahkan semua perbuatan ibadah ini kepada makam-makam yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau mendatangkan bahaya bagi seorang pun:
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya." (QS Al-Isra [17] : 56)
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِن شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُم مِّن ظَهِيرٍ وَلَا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Katakanlah: " Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu,” (QS Saba [34] : 22-23)
Oleh karena itu, Satu-satunya yang kepada-Nya doa ditujukan; Satu-satunya yang kepada-Nya permohonan agar dikabulkan; Satu-satunya tempat bergantung dan diibadahi adalah Allah saja, Sang Maha Pencipta.
Ini adalah poin yang sempurna, sesuatu yang luar biasa dan mulia yang digambarkan di dalam hadits ini. Seperti juga sabda beliau shallallahu alaihi wasallam: “Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan engkau…” adalah pengakuan dan penegasan akan Rububiyah Allah dan hak-Nya untuk diibadahi. Ini adalah pernyataan syahadat ‘Laa ilaaha illallah’ – tidak ada yang berhak disembah (dengan benar) melainkan Allah.
Dengan demikian, pernyataan yang besar ini, yang datang pada permulaan hadits, menyatakan tujuan dari semua penciptaan, yang karenanya langit tegakkan dan bumi dihamparkan dan yang karenanya Surga dan Neraka diciptakan; alasan mengapa manusia dibagi menjadi dua kelompok, orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi – penghuni Surga dan penghuni Neraka. Orang-orang yang menegaskan perkataan ini adalah penduduk Surga, dan orang-orang yang menolaknya adalah penduduk Neraka.
Kemudian para ulama telah menjelaskan bahwa perkataan ini tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya kecuali dia memenuhi persyaratannya, dan ini (persyaratan-persyaratan) disebutkan di dalam Kitabullah dan di dalam Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Persyaratan-persyaratan ini telah dirangkai dalam syair berikut:
“Dan ini disyaratkan dengan tujuh persyaratan yang terdapat di dalam nash-nash wahyu. Maka seseorang yang mengucapkannya tidak akan mendapatkan manfaat dengan mengucapkannya kecuali dia memenuhi persyaratan tersebut. Ilmu, yakin, menerima, tunduk dan patuh, jujur, ikhlas dan mencintainya. Semoga Allah menunjukimu kepada apa yang Dia cintai.”
Syair ini telah menyatakan tujuh syarat ‘Laa ilaaha illallah’, dan ini didukung oleh banyak dalil yang terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Berikutnya, adalah perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam dalam hadits ‘Dan aku adalah hamba-Mu (abduka)’ adalah penegasan hak Allah untuk diibadahi dan bahwa mahluk adalah hamba Allah (‘ibaad). Penghambaan (Ubudiyah) seorang hamba terdiri dari dua jenis, penghambaan terhadap Ketuhanan-Nya, dan penghambaan dalam beribadah kepada-Nya.
Penghambaan terhadap Ketuhanan Allah berarti bahwa semua mahluk diciptakan menjadi wujud (ada) oleh Allah saja, bahwa Dia menciptakan mereka, Dia memberikan rizki, Dia memberikan mereka kehidupan dan Dia yang mematikan mereka. Tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam perkara ini. Karena alasan-alasan inilah, tidak ada mahluk yang dapat lepas dari penghambaan terhadap Ketuhanan Allah.
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS Maryam [19] : 93)
Mnakala penghambaan dalam peribadatan terhadap Allah adalah sesuatu yang telah Dia anugerahkan kepada sebagian mahluk-Nya khususnya orang-orang yang Dia tunjuki dan kepada orang-orang yang telah diberikan keimanan; orang-orang yang telah ditunjuki-Nya kepada ketaatan kepada Ar-Rahman. Inilah hamba yang beribadah kepada-Nya. Mereka berserah diri kepada-Nya, taat kepada-Nya, mengikuti apa yang disyariatkan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan mentaati Rasul-rasul-Nya – para Nabi dan mengikuti mereka. Oleh karena itu Allah Ta’ala menggambarkan mereka terhadap diri-Nya seperti di dalam firman-Nya:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang…” (QS Al-Furqan [25] : 63)
Jadi ini adalah bagian dari ciptaan Allah; orang-orang yang mendapat petunjuk yang benar – ditunjuki oleh Allah; orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam peribadatan kepada Allah, dalam ketaatan kepada-Nya, dan menyerahkan diri terhadap apa yang Allah subhanahu wata'ala syariatkan.[2]
Sejauh pemahaman saya, apa yang dimaksud dengan hadits ini dalam perkataan Nabi r, “Aku adalah hamba-Mu” adalah penghambaan yang berupa peribadatan kepada Allah, karena penghambaan terhadap Ketuhanan-Nya telah ditunjukkan dalam perkataan beliau; “Engkau menciptakanku…” dan dalam perkataan beliau; “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku.” Maka perkataan beliau “…dan aku adalah hamba-Mu…” bermakna, ‘Aku adalah abdi-Mu (yang senantiasa beribadah kepada-Mu –pent), taat kepada-Mu, yang menjalankan perintah-Mu, mematuhi apa yang telah Engkau syariatkan.’
Dengan demikian, hadits ini dimulai dengan perkara yang besar dan menyeluruh. yang mana seperti yang telah disebutkan sebelumnya, berkaitan dengan Tauhid. Untuk membahas hal ini secara penuh akan memakan waktu, karenanya apa yang telah disebutkan sebelumnya mengenai perkara ini kita cukupkan.
______________________________
Catatan kaki:
- Lafazh ini terdapat di dalam salah satu riwayat yang dibawakan oleh Al-Bukhari
- Kedua jenis penghambaan ini oleh Syaikh Utsaimin dibedakan sebagai dua macam ibadah, yakni 1) Ibadah kauniayh, yaitu tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauniyah (universal) dan ini menyangkut semua mahluk, tak seorang pun dapat menghindarinya, termasuk di dalamnya orang Mu’min dan orang kafir, orang shaleh dan tukang maksiat; 2) Ibadah syar’iyyah, yaitu tunduk kepada Allah dengan menjalankan perintah syar’i dan ini khusus kepada orang yang taat kepada Allah dan mengikuti apa yang dibawa oleh para rasul. Untuk jenis yang pertama manusia tidak dipuji karenanya sebab hal itu tidak karena perbuatan (kemauan)nya namun terkadang terpuji manakala dia bersyukur ketika lapang dan bersabar ketika mendapat musibah. Berbeda dengan jenis kedua semua bentuknya adalah terpuji. Lihat Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok (Penjelasan Tiga Landasan Utama) oleh Syaikht Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit: Darul Haq hal 48, tahun 1999; pent)
No comments:
Post a Comment