Cukuplah Kematian Sebagai Peringatan
(Sebuah Refleksi)
Sejauh mana kita mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa? Mungkin pada saat itu kita merenung, lalu hari-hari berlalu, dan kita melupakannya. Mungkin saat itu kita tergerak untuk menghitung diri kita, namun ketika rutinitas kehidupan mengayun, pengaruh itu menjadi seolah tidak pernah ada.
Tidak untuk menggurui, namun kisah berikut ini mudah-mudahan bisa menyentil sedikit dari kesadaran kita, saya dan anda, bahwa benarlah adanya hidup ini fana, dan kita tidak pernah tahu kapan giliran kita tiba. Mungkin esok, lusa, tahun depan, atau bahkan sesaat setelah membaca kisah ini. Hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui. Dan kisah ini tidak bermaksud untuk mengisahkan keburukan orang lain, melainkan untuk diambil pelajaran darinya, bagi orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran.
Sabtu sore, keramaian teras samping membuatku keluar sejenak untuk melihat apa yang membuat teman-teman begitu asyik berdebat yang diselingi tawa. Sabtu sebenarnya bukan jam kantor, tetapi kebiasaan berkumpul di kantor yang jarang ditemui setiap hari karena setiap orang bertugas di wilayah masing-masing menyebabkan jarang bertemu. Adalah X, yang saat itu menjadi pusat perhatian. Dia sedang diserang oleh teman-teman lainnya karena melalaikan shalat lima waktu. “Jangankan shalat lima waktu Bu, shalat Jum’at pun susah kadang-kadang.” Rekan sekerja dia mengadu kepadaku. Setiap orang yang hadir disitu mengingatkan kepadanya, hingga dia berkomentar, “Iya nantilah saya akan shalat.” Saking kesal seorang rekan kerja perempuan (kita-kira) berkata, “Kapan? Memang kamu tahu akan hidup sampai besok? Apa mau tunggu sekarat dulu baru shalat?” Komentar terakhir dari rekan kerja tersebut yang tidak dapat saya lupakan. Ya, kita tidak pernah tahu kapan hidup kita berakhir, apakah kita mati dalam kebaikan dengan husnul khatimah, ataukah dalam keburukan. Amal apa yang telah kita persiapkan kesana?
Senin pagi, kantor mulai sepi lagi, semua rekan kerja kembali ke lapangan. Kejenuhan mewarnai sore hari tiba-tiba dikejutkan oleh telepon seorang rekan kerja di lapangan tempat si X bekerja. “Bu, X ditikam orang di bagian perutnya, sekarang kami dalam perjalanan ke rumah sakit.” Perasaan lemas yang serta merta terasa di sekujur tubuh, hingga seorang teman mengingatkan saya akan tanggung jawab terhadap seorang rekan kerja yang mengalami musibah.
Sore hari itu terasa sore yang paling mencekam, penantian dokter cantik yang membiarkan pasien gawat darurat terlalu lama menunggu dengan luka menganga di perutnya, sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat yang lebih tertutup. Segala omelan dan kritikan atas buruknya pelayanan saat itu hanya dapat ditelan, tidak ada perdebatan di depan orang yang sedang sekarat. Keluarga korban di ruang tunggu duduk dengan pasrah, memanti, seperti juga rekan-rekan kerja yang lain, menanti!
Waktu yang terasa begitu lama hingga ketika magrib berlalu, saya kembali ke ruang dokter, memohon dokter untuk melakukan apa saja dalam batas kemampuan dia untuk menyelamatkan teman tersebut, namun dokter hanya menggelengkan kepala. “Maaf Bu, tidak ada apapun yang dapat dilakukan, dia sudah meninggal!” Entah apa yang selanjutnya dikatakan dokter itu, tidak ada lagi yang dapat saya dengarkan, kepala hanya berputar pada bagaimana cara menghibur keluarganya, dan menghibur seorang rekan kerja yang lain yang mengalami stress berat karena kejadian itu. Ingatan yang ada hanya kilasan kejadian pagi itu, ketika dia pamit untuk bekerja masih dengan senyum dan canda khasnya, meminta sebuah jaket hadiah dari kendaraan kantor yang baru dibeli. Menatap tubuh kaku yang terbujur diiringi isak tangis saudaranya, terngiang kata-kata dia Sabtu sore kemarin, “Iya nantilah saya pasti akan melaksanakan kewajiban shalat.” Lalu komentar teman yang lain, “Kapan? Memang kamu tahu akan hidup sampai besok…” Seorang saudaranya berkata bahwa dia adalah tulang punggung keluarga, yang selama ini menghidupi adik-adiknya, setelah kedua orang tua mereka tiada. Seorang kakak penyayang yang dikenal baik di lingkungan pergaulannya. Dan dia telah mati, mudah-mudahan Sabtu malam kemarin itu dan hari berikutnya dia sempat bertaubat kepada Allah.
Ya, kita tidak pernah tahu kapan giliran kita. Mungkin esok, lusa, tahun depan, atau sesaat setelah membaca kisah ini. Betapa sering kejadian berlalu di hadapan kita, namun hanya sedikit yang bisa mengambil pelajaran darinya. Sebagian diantara kita, saya dan anda, hanya berputar pada hal-hal yang mubah (dibolehkan) hingga melalaikan hal-hal yang lebih wajib untuk dilaksanakan.
Sungguh benar perkataan bahwa sebagian manusia binasa karena harapan akan panjang umur. Kata-kata “akan” yang dihembuskan syaithan telah memperdaya manusia sehingga berleha-leha, menganggap bahwa esok dia akan bangun dalam keadaan segar-bugar, melanjutkan hari-harinya. Betapa sering kita mendengar perkataan saudari Muslimah, “Saya akan menutup aurat setelah berhaji.” Atau, “Saya menunggu hingga hati mantap,” seolah bahwa ajal pun akan menunggu. Seharusnyalah kisah di atas dan hadits yang akan dinukilkan dibawah ini cukup untuk menjadi peringatan bagi kita.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ketika ditanya oleh para sahabat haruskah bersandar pada kitab (takdir) dan meninggalkan amal, bersabda, "Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka diberikan kemudahan untuk mengerjakan amal orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan baginya menuju pada amal orang-orang yang sengsara."
Sesungguhnya ketika kita tidak bersegera untuk mengerjakan kewajiban, atau menunda amal kebajikan, sepatutnya bersikap waspada apakah hal itu sebuah bentuk kemudahan untuk menuju pada amal orang-orang sengsara? Padahal Allah telah mengingatkan kepada kita, betapa banyak orang-orang di akhirat kelak yang merugi dan berharap untuk dikembalikan ke dunia, agar dapat bersegera kepada ketaatan.
Sekali lagi, kita tidak pernah tahu kapan akhir kehidupan kita. Dan waktu akan terus berputar sampai kita tidak menyadari, betapa banyak waktu tersia-sia ketika tenggelam dalam rutinitas kehidupan dunia, hingga melalaikan banyak hal yang terus ditunda, esok, dan nanti. Hingga niat untuk melaksanakan kewajiban dan ketaatan kepada Allah itu hanya terngiang di ruang hampa, tanpa sempat terlaksana karena maut mendahului.
Semoga Allah menolong kita, untuk tetap dalam ketaatan kepada-Nya.
Astaghfirullah..
ReplyDeletesyukran..
tulisannya sdh mngingatkan..
barakallahufik..
wafika barakalllah.. syukran atas kunjungan antum
ReplyDelete