Hadzihi Da’watuna
This is Our Call
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Sumber: http://www.al-ibaanah.com
This is Our Call
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Sumber: http://www.al-ibaanah.com
Saya akan memberikan contoh untuk menjelaskan perkara ini –perkara penting ini, yakni mengikuti manhaj Salafush Shaleh. Ada pernyataan yang dikeluarkan oleh Al-Faruq Umar bin Khaththab radhiallahu anhu, dimana dia berkata: “Jika ahlul bid’ah mendebatmu dengan Al-Qur’an, maka debatlah dia dengan As-Sunnah…”
Apa yang menyebabkan Umar radhiallahu anhu membuat pernyataan seperti itu? Hal tersebut karena firman Allah, dimana Dia berfirman kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu (wahai Muhammad) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (QS An-Nahl : 44)
Apakah seorang Muslim, yang dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, mengetahui kaidah dan tata bahasanya, apakah orang ini mampu memahami Al-Qur’an tanpa menggunakan jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Jawabannya adalah tidak. Dan jika tidak demikian, maka firman Allah: “agar kamu (wahai Muhammad) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dan firman Allah tidak ada satupun yang tidak mempunyai arti di dalamnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berusaha memahami Al-Qur’an melalui jalan selain jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka dia telah tersesat jauh.
Lebih jauh, apakah orang yang sama (yang disebutkan di atas) dapat memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalan selain jalan para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Jawabannya pun tidak. Hal ini karena merekalah (para Sahabat) yang menyampaikan kepada kita, pertama-tama, lafazh Al-Qur’an, yang Allah wahyukan ke dalam dada (hati) Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dan kedua, mereka menyampaikan kepada kita penjelasan Nabi shallallahu alaihi wasallam (tentang Al-Qur’an), yang telah disebutkan dalam ayat terdahulu, sebagaimana penerapan beliau shallallahu alaihi wasallam atas Al-Qur’an yang mulia.
Penjelasan Nabi shallallahu alaihi wasallam (mengenai Al-Qur’an) dapat dibagi ke dalam tiga kategori: 1) Perkataan, 2) Perbuatan, dan 3) Persetujuan (dengan diam). Siapakah yang menyampaikan perkataan beliau shallallahu alaihi wasallam? Para sahabatnya. Siapakah yang menyampaikan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam? Para sahabatnya. Siapakah yang menyampaikan persetujuan (diamnya) Nabi shallallahu alaihi wasallam? Para sahabatnya. Maka oleh sebab itu, tidak mungkin bagi kita untuk bergantung hanya kepada kemampuan berbahasa dalam memahami Al-Qur’an. Bahkan kita harus mencari pertolongan dalam memahami Al-Qur’an. Namun ini bukan berarti kita tidak membutuhkan bahasa Arab dalam perkara ini, tidak demikian.
Bahkan, untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, seseorang harus menguasai Bahasa Arab. Maka kami katakan bahwa penjelasan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang disebutkan dalam ayat terdahulu, dibagi ke dalam tiga kategori, perkataan, perbuatan dan diam tanda setuju. Kami akan memberikan contoh, untuk memahami bahwa pembagian ini adalah fakta yang telah tegak dan tidak dapat diperselisihkan, Allah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…” (QS Al-Ma’idah : 38)
Perhatikan sekarang bagaimana hal ini tidak mungkin bagi kita menerangkan Al-Qur’an berdasarkan bahasa Arab saja. Pencuri menurut bahasa adalah seseorang yang mencuri benda dari tempat yang terlarang, tidak perduli apakah benda tersebut merupakan barang berharga atau tidak. Misalnya seseorang mencuri sebutir telur atau sepotong roti – ini menurut bahasa (Arab) adalah pencuri. Allah berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” Apakah setiap orang yang mencuri harus dipotong tangannya? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Karena orang yang menerangkannya, yang bertanggungjawab menjelaskan apa yang harus dijelaskan telah mengabarkan kepada kita (mengenai) mereka diantara para pencuri yang tangannya harus dipotong. Yang menjelaskan adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan yang dijelaskan adalah Al-Qur’an. Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, “Tidak memotong tangan kecuali untuk (mereka yang mencuri) seperempat dinar dan yang lebih dari itu.” (Mutafaq alaihi).
Jadi setiap orang yang mencuri kurang dari seperempat dinar, meskipun dalam bahasa dia disebut pencuri, dia tidak dianggap sebagai pencuri menurut definisi agama. Maka disini, kita tiba pada kenyataan berdasarkan keilmuan, yang tidak disadari oleh banyak penuntut ilmu. Di satu sisi, kita memiliki bahasa Arab, yang telah didapatkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dan pada sisi lain, kita memiliki bahasa agama, yang Allah sendiri yang menentukan batasan dan definisinya, yang orang-orang Arab – yang berbicara dengan bahasa Al-Qur’an (yakni bahasa Arab), yang Al-Qur’an diturunkan dengannya – tidak menyadari sebelumnya. Maka jika pencuri diterapkan menurut bahasa (Arab), itu mencakup semua pencuri. Namun bila pencuri disebutkan menurut batasan agama, maka tidak semua pencuri termasuk di dalamnya, namun hanya mereka yang mencuri apa yang setara dengan seperempat dinar dan yang lebih dari itu.
Inilah contoh yang nyata – tidak mungkin bagi kita untuk bergantung semata-mata pada kemampuan berbahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini kesalahan yang mana banyak penulis kontemporer sekarang ini jatuh ke dalamnya. Mereka menempatkan pengetahuan bahasa Arab mereka atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabawiyah. Maka mereka menakwilkan nash-nash agama dan memunculkan penakwilan-penakwilan bid’ah, yang kaum Muslimin tidak pernah mendengarnya di masa lalu.
Oleh karena itu, kami katakan, adalah kewajiban untuk memahami bahwa dakwah yang benar kepada Islam berdasarkan tiga prinsip pokok, yakni 1) Al-Qur’an, 2) As-Sunnah, dan 3) pemahaman Salafus Shaleh. Oleh karena itu, ayat “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” tidak dapat ditafsirkan menurut pengertian bahasa, namun menurut pengertian yang diwajibkan dalam bahasa agama, yang menyatakan “Tidak memotong tangan kecuali untuk (mereka yang mencuri) seperempat dinar dan yang lebih dari itu.”
Bagian akhir ayat tadi menyatakan “potonglah tangan keduanya.” Apa arti tangan menurut bahasa? Semua ini dianggap sebagai tangan – dari ujung jari sampai dengan ketiak – semua ini adalah tangan. Lalu apakah tangan yang dipotong dari sini sampai ke sini atau dari sini sampai ke sini? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita dengan perbuatannya (yakni memotong hingga pergelangan tangan). Kita tidak memiliki hadits shahih – seperti hadits yang menegaskan yang mana diantara para pencuri yang tangannya harus dipotong – kita tidak mempunyai hadits yang secara jelas mendefinisikan tempat dari mana seharusnya kita memotong, dari penjelasan Rasulullah melalui perkataannya. Sebaliknya, telah disampaikan penjelasan beliau melalui perbuatan – penerapan secara fisik. Bagaimana kita mengetahui penerapan beliau tersebut? Dari para Salafush Shaleh – para Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Inilah kategori kedua, yakni penjelasan dengan perbuatan.
Kategori ketiga adalah persetujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap sesuatu, yang tidak ditolak atau diingkarinya. Persetujuan ini bukan perkataan dan bukan perbuatan dari beliau, namun ini adalah perbuatan yang datang dari orang lain, yang beliau shallallahu alaihi wasallam lihat dan menyetujuinya. Maka apabila Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat sesuatu dan mendiamkannya, menyetujuinya, maka hal itu disetujui dan dibolehkan. Namun jika dia melihat sesuatu dan menolaknya, meskipun hal tersebut dilakukan oleh para Sahabat, namun telah jelas dalam hadits shahih bahwa beliau melarangnya, maka larangan ini lebih didahulukan daripada persetujuannya. Saya akan memberikan contoh untuk kedua hal ini, berdasarkan hadits, Abdullah bin Umar Al-Khaththab radhiallahu anhu berkata: “Kami biasa minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan selama masa kehidupan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Di dalam hadits ini, Abdullah telah mengabarkan kepada kita dua hal: 1) Minum sambil berdiri, dan 2) Makan sambil berjalan. Dan dia mengatakan bahwa kedua hal ini dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu bagaimana kaidah agama mengenai kedua hal ini: minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan?
Jika kita menerapkan point yang telah kita sebutkan, kita dapat mengambil kaidah – tentu saja – dengan tambahan yang dibutuhkan untuk hal tersebut, dimana seseorang mengetahui tentang hal-hal yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarangnya, dengan perkataan, perbuatan dan (diam) persetujuan. Maka jika kita kembali kepada sunnah yang shahih, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkara pertama (minum sambil berdiri), yang banyak – jika tidak sebagian besar – dilakukan oleh orang-orang Muslim sekarang ini. Dan hal tersebut bertentangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan minum sambil berdiri. Mereka minum ketika berdiri, mereka (yakni para pria) mengenakan emas dan sutra. Ini adalah kenyataan yang tidak seorangpun dapat membantahnya. Lalu apakah Nabi shallallahu alaihi wasallam menyetujui semua ini? Jawabannya adalah beliau melarang sebagian dan menyetujui sebagian lainnya. Maka apapun yang dilarangnya maka ia jatuh kedalam keburukan (mungkar), dan apapun yang disetujuinya maka ia masuk dalam kebaikan (ma’ruf). Dia melarang minum sambil berdiri di dalam banyak hadits. Dan saya tidak ingin menyebutkan semuanya secara rinci – sehingga kita pertama-tama tidak mengalihkan waktu dan kita telah membatasi waktu kita untuk membahas permasalahan ini agar kita dapat menjawab pertanyaan di akhir, dan kedua, perkara ini membutuhkan waktu khusus. Namun cukup kita menghadirkan sebuah hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri.”
Dan di dalam riwayat lain (dari hadits itu) dia berkata: “Rasulullah mencela (yang lain) dari minum sambil berdiri.”
Oleh karena itu, hal ini yang sering dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti yang telah dipersaksikan dalam riwayat Ibnu Umar, telah ditinggalkan dan dibatasi. Sehingga sesuatu yang biasa mereka kerjakan menjadi terlarang, berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadapnya. Namun bagian kedua dari hadits (ibnu Umar), yang menytakan bahwa mereka biasa makan ketika berjalan, kita tidak mendapatkan riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarangnya. Maka kita mengambil dari (diam) persetujuannya, sebuah kaidah agama. Maka sampai disini, kita menyadari bahwa adanya kebutuhan kuat untuk menyandarkan pada jalan Salafush Shaleh dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, Dan bahwa tidak seorang pun dapat menyandarkan pada pengetahuannya, jika tidak dikatakan kebodohannya, untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Setelah memperjelas persyaratan penting ini untuk berada di atas manhaj Salafus Shaleh, saya harus memberikan anda beberapa contoh. Di masa lalu, kaum Muslimin terpecah menjadi beberapa sekte. Anda mendengar tentang Mu’tazilah, anda mendengar tentang Murji’ah, anda mendengar tengan Khawarij, anda mendengar tentang Zaidiyyah, belum lagi Syi’ah dan Rafidhah dan lain-lain. Tidak satupun di antara kelompok ini, seberapa sesaatnya pun mereka, yang tidak menggunakan perkataan yang sama sebagaimana Muslim lainnya, yaitu: “Kami juga berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak satupun di antara mereka berkata, “Kami tidak mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.” Dan jika salah seorang dari mereka berkata demikian (maksudnya tidak mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah –pent.), dia telah benar-benar meninggalkan Islam secara total. Lalu mengapa mereka berpecah-belah padahal mereka semua berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah – dan saya bersaksi bahwa mereka benar-benar berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah untuk pegangan. Namun bagaimana berpegang (pada Al-Qur’an dan Sunnah – pent.) ini dilakukan? Ini dilakukan tanpa menyandarkan kepada landasan ketiga, yaitu apa yang para Salafush Shaleh berada di atasnya.
Dan ada point tambahan lainnya yang harus dicatat disini – dan ini adalah bahwa As-Sunnah benar-benar berbeda dengan Al-Qur’an dalam artian bahwa Al-Qur’anul Karim disimpan diantara dua sampul dari mushaf, sebagaimana yang diketahui semua orang. Namun As-Sunnah, maka sebagian besar, tersebar dalam ratusan, jika tidak ribuan buku, yang diantaranya ada banyak bagian yang tetap tersimpan di dunia yang tersembunyi – dunia manuscript yang tidak tercetak.
Lebih jauh, bahkan buku-buku diantaranya yang telah dicetak sekarang ini, ada hadits yang shahih dan ada yang lemah. Sehingga mereka yang berpegang pada Sunnah sebagai sandaran, apakah itu dari mereka yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan manhaj Salafush Shaleh atau mereka dari kelompok lainnya – banyak diantara mereka yang tidak dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha’if. Sehingga mereka terjerumus kepada perselisihan dan menentang Al-Qur’an dan Sunnah disebabkan mereka berpegang kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
Intinya adalah bahwa sebagian dari kelompok-kelompok yang telah kita sebutkan di atas menolak pengertian harafiah dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah, di masa lalu dan juga di masa sekarang ini. (Sebagai contoh) Al-Qur’an yang mulia menegaskan dan memberikan kabar yang baik bagi orang-orang beriman akan anugerah terbesar yang akan mereka dapatkan di surga, dimana Rabbul Alamin akan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka, dan mereka akan melihat-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama salaf:
“Orang-orang beriman akan melihat-Nya, (kami percaya ini) tanpa berkata bagaimana itu dilakukan atau membuat perbadingan dengannya, atau memberi contoh tentangnya.”
Dalil tertulis dari Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan hal ini. Lalu bagaimana beberapa kelompok yang ada di masa lalu dan sekarang ini mengingkari anugerah besar ini? Kelompok di masa lalu yang menolak perkara melihat (Allah), adalah Mu’tazilah. Sekarang ini, menurut apa yang saya ketahui, tidak akan dapat ditemui kelompok di muka bumi ini yang mengaku: “Kami adalah Mu’tazilah. Kami mengikuti keyakinan Mu’tazilah.” Namun demikian, saya benar-benar telah melihat seorang laki-laki yang bodoh yang mengumumkan bahwa dia adalah Mu’tazilah. Dan dia menolak banyak fakta yang telah tegak dari agama, bertindak dari ketergesa-gesaan. Mu’tazilah menolak karunia besar ini, dan mereka berkata dengan akal mereka yang lemah, “Tidak mungkin Allah dapat dilihat!” Lalu apa yang mereka lakukan? Apakah mereka menolak Al-Qur’an? Allah berkata di dalam Al-Qur’an:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka memandang.” (QS Al-Qiyamah : 22-23)
Apakah mereka menolak ayat ini? Tidak, mereka tidak menolak, juga bukan tidak percaya atau ingkar. Sampai sekarang ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa Mu’tazilah berada dalam kesesatan tetapi mereka tidak mengeluarkannya dari Islam. Hal ini karena mereka tidak menolak ayat ini, tetapi mereka menolak arti yang sebenarnya, yang penjelasannya telah ditetapkan di dalam Sunnah, jika kita mengingatnya. Allah berfirman tentang orang-orang beriman yang akan memasuki surga: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka memandang.” Lalu mereka merubah artinya –mereka meyakini lafazh ayat tersebut namun tidak meyakini arti yang sebenarnya. Dan lafazh tersebut, sebagaimana para ulama berkata, adalah arti yang sebenarnya. Maka apabila kita meyakini lafazhnya namun mengingkari maknanya, maka keyakinan itu (iman) itu tidak mencukupi dan tidak berfaedah untuk memenuhi rasa lapar (yakni tidak bermanfaat).
Lalu mengapa orang-orang tersebut menolak tentang melihat Allah? Akal mereka ditarik dari penggambaran dan pembetukan konsep bahwa hamba, yang diciptakan dengan keterbatasan dapat melihat Allah secara terbuka, serupa dengan kasus ketika Yahudi meminta kepada Musa alaihis salam (untuk melihat Allah), lalu Allah menghalangi mereka, sebagaimana dapat ditemukan dalam kisah yang terkenal [lihat surah Al Baqarah: 55-59 firman Allah kepada Musa]:
انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
“Lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". (QS Al-A’raf : 143)
Akal mereka sempit lalu mereka merasa wajib bermain dengan nash Al-Qur’an dan merubah artinya. Mengapa? –karena keimanan mereka lemah terhadap hal-hal ghaib dan keyakinan mereka terhadap akal mereka lebih kuat daripada keimanan mereka terhadap hal-hal ghaib, yang mereka diperintahkan beriman kepadanya, di dalam awal surah Al-Baqarah:
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,” (QS Al-Baqarah : 1-3)
Allah ghaib, sehingga kapanpun Tuhan berbicara mengenai diri-Nya, kita harus menegaskan bahwa hal tersebut adalah benar dan kita beriman kepadanya karena akal kita sangat terbatas. Mu’tazilah tidak mengakui hal ini, itulah sebabnya mereka menyangkal dan menolak banyak hujjah yang ditegakkan di dalam agama, seperti firman Allah “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka memandang.”
Hal yang sama juga terjadi pada ayat lain, yang lebih kabur bagi mereka daripada ayat yang pertama, dan ini adalah firman Allah :
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS Yunus : 26)
Al-Husna (kebaikan) disini merujuk kepada Surga, dan Ziyaadah (tambahan) disini berarti, melihat Allah pada hari kiamat. Ini apa yang dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim, dengan sanad yang shahih dari jalur Sa’ad bin Abi Waqas radhiallahu anhu, yang berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, mereka akan mendapatkan Al-Husnaa (berarti), Surga, dan Ziyaadah (berarti) melihat Allah.”
Mu’tazilah dan juga Syi’ah, yang merupakan Mu’tazilah dalam aqidah, menolak bahwa Allah dapat dilihat, yang ditegaskan di dalam ayat pertama tadi dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada ayat yang kedua. Dan ada banyak hadits (yang mencapai derajat mutawatir) dari Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenai hal ini. Maka takwil (menyimpangkan dari arti yang sebenarnya) mereka terhadap Al-Qur’an mengakibatkan mereka menolak hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sehingga mereka meninggalkan keadaan yang dipandang sebagai Golongan yang Selamat: “Yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam percaya dan mempunyai keimanan yang kuat bahwa orang-orang beriman akan melihat Tuhannya, karena hal tersebut diriwayatkan dalam dua kitab shahih dari periwayatan begitu banyak sahabat, seperti Abu Sa’id Al-Khudry, Anas bin Malik, dan selain dari kitab shahih –dari Abubakar As-Siddiq dan lain-lain – bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh engkau akan melihat Tuhanmu pada yaumul hisab, seperti engkau melihat bulan purnama di malam hari – engkau tidak akan kesulitan untuk melihatnya.”
Apa yang dimaksudkan adalah bahwa engkau tidak akan kesulitan melihat Allah sama seperti engkau tidak kesulitan melihat bulan purnama pada malam yang jernih tanpa awan. Mereka menolak hadits ini berdasarkan akal mereka, sehingga mereka memiliki iman yang lemah. Ini adalah contoh dari beberapa hal yang beberapa kelompok terjerumus ke dalamnya, dan juga sebagian kelompok di zaman sekarang, seperti Khawarij, juga mempercayainya. Dalam urutan mereka adalah Ibaadiyah yang sekarang ini aktif mendakwahi orang-orang kepada kesesatannya. Mereka memiliki artikel dan risalah yang mereka sebarkan dan distribusikan, yang dengannya mereka menghidupkan kembali banyak penyimpangan, yang oleh Khawarij telah dikenal (melakukannya) di masa lalu, seperti menolak bahwa Allah akan dilihat di surga.
Sekarang kami akan paparkan kepada anda contoh di zaman sekarang, yakni Qadiyani. Mungkin anda pernah mendengarnya. Orang-orang ini berkata sebagaimana yang kita katakan: “Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Mereka shalat lima kali sehari, mereka mendirikan shalat Jum’at, mereka melaksanakan Haji dan Umrah ke Baitullah. Tidak ada perbedaan antara kita dengan mereka – mereka seperti layaknya Muslim. Namun demikian, mereka berbeda dengan kita dalam banyak hal aqidah, seperti keyakinan mereka bahwa kenabian tidak berakhir. Mereka meyakini bahwa nabi-nabi akan datang setelah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan mereka mengklaim bahwa salah satunya telah datang ke Qadiyan, sebuah wilayah di India. Maka (mereka berkata bahwa) siapapun yang tidak percaya kepada nabi ini yang datang kepada mereka, maka dia bukanlah orang beriman. Bagaimana mereka bisa mengatakan hal ini sedangkan telah jelas di dalam ayat:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS Al-Ahzab : 40)
Bagaimana bisa mereka mengatakan hal itu, ketika hadits yang telah sampai pada derajat mutawatir “Tidak ada nabi setelahku”. Jadi mereka telah merubah makna Al-Qur’an dan Sunnah dan mereka tidak menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana Salafush Shaleh menafsirkannya. Dan kaum Muslimin pun mengikuti mereka tanpa ada pertentangan di antara mereka, sampai kemudian datang seorang yang sesat dan tersesat, bernama Mirza Gulam Ahmad Al-Qadiyani yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi. Dan dia mempunyai kisah yang panjang, yang bukan merupakan fokus pembahasan kita saat ini.
Jadi dia telah menipu banyak orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kenyataan ini, (pengetahuan) yang melindungi kaum Muslimin dari penyimpangan, sebagaimana para Qadiyani menyimpang dengan Dajjal ini yang mengklaim kenabian terhadap dirinya. Apa yang mereka lakukan terhadap firman Allah “Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi?” Mereka berkata hal itu tidak berarti bahwa tidak ada nabi setelahnya, tetapi kata khataam merujuk pada perhiasan Nabi. Seperti khataam (segel atau cincin) adalah perhiasan jari, maka demikian pula Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah perhiasan para Nabi. Jadi mereka bukannya tidak meyakini ayat tersebut. Mereka tidak berkata bahwa Allah tidak mewahyukan ayat ini ke dalam dada Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Namun mereka tidak meyakini arti yang sebenarnya.
Lalu apa kebaikannya memiliki keyakinan terhadap lafazh jika tidak memiliki keyakinan terhadap arti yang sebenarnya. Jika engkau tidak mempunyai keraguan terhadap fakta ini, lalu dengan jalan apa mengetahui makna Al-Qur’an dan Sunnah? Anda telah mengetahui jalannya. Bukanlah bagi kita untuk menyandarkan kepada pengetahuan bahasa Arab, juga tidak menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan nafsu atau tradisi, atau taqlid buta terhadap madzhab atau perintah (sufi) kita, tetapi, satu-satunya jalan adalah – sebagaimana yang seringkali disebutkan, dan saya akan menutup perkataan saya dengannya:
“Dan segala kebaikan adalah mengikuti mereka yang datang terlebih dahulu (Salaf)
Manakala segala keburukan adalah kebid’ahan mereka yang datang kemudian (khalaf)”
Manakala segala keburukan adalah kebid’ahan mereka yang datang kemudian (khalaf)”
Kami berharap bahwa ini (muhadharah ini –pent) merupakan “peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS Qaaf : 37)
eBook lengkap dapat anda peroleh di Maktabah Raudhah al-Muhibbin
assalamualaikum ukhti
ReplyDeletetetaplah tegar dan tetaplah istiqomah di jalan Allah walaupun di zaman sekarang kita tidak di perhitungkan dalam berdakwah kepada Allah. ana sarankan agar ukhti tetap istiqomah dalam bnerdakwa.
wassalamualiakum