Tuesday, April 22, 2008

Inilah Seruan Kami (1)

Hadzihi Da’watuna
(This is Our Call)
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Sumber: http://www.al-ibaanah.com


Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampun kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami dan kejahatan perbuatan kami. Barangsiapa yang ditunjuki oleh Allah, tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan-Nya, tidak ada yang dapat menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang patut diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba dan Rasul-Nya. Amma Ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang diada-adakan, setiap perkara baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Saya berterima kasih kepada saudara saya, Ustadz Ibrahim, untuk sambutan dan pujiannya. Dan tidak ada yang dapat saya katakan untuk menjawabnya kecuali mengikuti contoh dari Khalifah pertama Abu Bakar As-Siddiq radhiallahu anhu, yang benar-benar merupakan khalifah pertama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan haq. Namun meskipun demikian, ketika dia mendengar seseorang memujinya dengan sesuatu kebaikan dan dia percaya bahwa pujian ini, tanpa melihat darimana asalnya, telah dilakukan secara berlebih-lebihan –dan ini pada saat dia menjadi Khalifah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berhak atasnya –meskipun begitu- (tangisan beliau terdengar sesaat)- meskipun begitu, ia akan berkata: “Ya Allah, jangan bebankan tanggung jawab terhadapku atas apa yang mereka katakan (tentang diriku). Dan jadikanlah aku lebih baik dari anggapan mereka (tentang seperti apa diriku). Dan maafkanlah aku atas apa-apa yang tidak mereka ketahui (tentang diriku).” Ini apa yang dikatakan oleh seorang besar As-Siddiq. Lalu apa yang akan dikatakan orang-orang setelahnya? Saya berkata, mengikuti apa yang dilakukannya, “Ya Allah, jangan bebankan tanggung jawab kepaaku atas apa yang mereka katakan (tentang diriku). Dan jadikanlah aku lebih baik dari anggapan mereka (tentang diriku). Dan maafkanlah aku atas apa yang tidak mereka ketahui (tentang diriku).”


Saya akan menambahkan dengan mengatakan bahwa saya bukanlah seseorang yang digambarkan seperti yang baru saja anda dengarkan dari saudara kita yang mulia, Ibrahim. Saya hanyalah seorang penuntut ilmu, bukan yang lainnya. Dan adalah kewajiban setiap penuntut ilmu untuk mentaati hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat. Dan beritakan dari (kisah) Bani israel tidak mengapa. Dan barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”1)

Maka berdasarkan hadits ini dan menaati nash nabawiyyah, sebagaimana nash lain dari Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kami melaksanakan tugas menyampaikan kepada manusia apa yang mereka tidak mengetahuinya. Namun hal ini tidak berarti bahwa kami telah berubah menjadi sesuatu seperti apa yang terdapat dalam prasangka baik saudara-saudara kami terhadap diri kami. Persoalannya tidak demikian. Inilah kenyataannya yang saya rasakan dalam lubuk hati. Kapanpun saya mendengarkan perkataan ini, Saya diingatkan pada sebuah peribahasa lama, yang terkenal di kalangan para ulama:

“Sesungguhnya seekor bughath (burung kecil) di tanah kita telah berubah menjadi elang.”

Sebagian orang tidak menyadari apa yang dimaksudkan dalam kalimat peribahasa ini. Bughath adalah seekor burung kecil yang tidak berharga –tetapi burung kecil ini menjadi seperti seekor elang dalam pandangan orang-orang- karena ketidaktahuan mereka…

Peribahasa ini benar mengenai banyak orang yang menyeru (berdakwah) kepada Islam, apakah di atas kebenaran, atau di atas kekeliruan dan kebohongan. Tetapi Allah mengetahui bahwa seluruh negeri Muslim hampa –kecuali untuk sangat-sangat sedikit orang- dimana adalah benar jika dikatakan mengenai mereka “Dia dan dia adalah ulama.” Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya, dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash t yang berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada para ulama, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Sampai tidak tersisa seorang ulama –inilah intinya- sampai tidak tersisa ulama, orang-orang akan mengambil pemimpin yang bodoh yang akan ditanya dan memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.”2)

Ketika Allah hendak mengambil ilmu, Dia tidak akan mencabutnya dari dada para ulama, seolah para ulama menjadi seperti seseorang yang tidak pernah belajar sesuatu sejak awal. Ini bukanlah dari Sunnah (cara) Allah ketika Dia berurusan dengan hamba-Nya, khususnya hamba-Nya yang shaleh –mengambil ilmu yang telah mereka tuntut karena Allah ‘azza wa jall… Allah benar dan adil dalam kekuasaan-Nya –Dia tidak mencabut ilmu dari dada para ulama. Adalah dari Sunnah Allah terhadap mahluk-Nya bahwa Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama (yakni mematikan mereka), seperti yang Dia lakukan terhadap penghulu para ulama dan para Nabi dan para Rasul, Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

“…Sampai tidak tersisa ulama, orang-orang akan mengangkat pemimpin yang bodoh, yang akan ditanya dan memberikan fatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”

Hal ini tidak berarti bahwa Allah akan membiarkan bumi kosong dari ulama, yang melaluinya hujjah Allah dapat ditegakkan atas hamba-hamba-Nya, namun itu berarti semakin berlalunya waktu, semakin berkurang pula ilmu. Dan kita akan terus berada dalam keadaan seperti ini dengan ilmu yang semakin berkurang dan sedikit, sampai tidak terdapat lagi di muka bumi ini seseorang yang berkata: “Allah Allah”. Anda sering kali mendengarkan hadits ini, dan ini adalah hadits shahih.

“Hari kiamat tidak akan terjadi ketika masih ada orang di muka bumi ini yang mengucapkan ‘Allah Allah’.”3)

Seperti orang-orang yang disebutkan di bagian akhir hadits tersebut “sampai tidak tersisa ulama, orang-orang akan mengangkat pemimpin yang bodoh” dan para pemimpin itu yang menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan penafsiran yang bertentangan dengan apa yang para ulama – saya tidak akan berkata mereka yang berada di masa lalu saja – berada di atasnya. Karena sesungguhnya mereka telah menggunakan hadits ini “Allah Allah” sebagai dalil dibolehkannya, bahkan mereka menganjurkan berdzikir kepada Allah dengan satu kata – Allah, Allah, Allah dan seterusnya (sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Sufi).

Dengan demikian tidak ada seorang pun yang tertipu atau tidak menyadari ketika mendengar hadits ini dengan penafsiran keliru tersebut. Saya pikir hal ini pantas, meskipun secara tidak sengaja, untuk mengingatkan saudara-saudara kita disini bahwa penakwilan ini batil, pertama-tama karena penjelasan hadits ini terdapat didalam riwayat lain dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan kedua, jika penafsiran ini benar, tentu telah ditunjukkan dalam perbuatan para pendahulu kita yang shaleh (Salaf As-Shaleh), radhiallahu anhum. Maka jika mereka tidak melakukannya – penolakan mereka bertindak atas penafsiran ini menunjukkan kepalsuan penafsiran seperti ini. Maka bagaimana dengan anda jika riwayat lain ditambahkan, dan intinya, sebagaimana yang biasa dikatakan, bahwa Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadits ini dalam Musnad-nya dengan sanad yang shahih, dengan lafazh:

“Hari kiamat tidak akan terjadi selama masih ada orang di muka bumi yang mengucapkan ‘laa ilaaha illa Allah.”

Maka inilah yang dimaksudkan dalam hadits pertama, dimana kata ‘Allah’ ditunjukkan dalam pengulangan. Intinya adalah bahwa pada hari ini, bumi ini hampa dari para ulama yang biasa mengisi dunia dengan keberadaan ilmunya dan akan menyebarkannya diantara manusia. Maka pada hari ini seperti kata pepatah:

“Ketika dihitung mereka sangat sedikit
Namun sekarang mereka lebih sedikit dari yang sedikit itu”

Kita berharap kepada Allah ‘azza wa jall, Dia menjadikan kita diantara para penuntut ilmu yang benar-benar mengambil dari contoh para ulama dan yang secara jujur mengikuti jalan mereka. Inilah apa yang kita harapkan dari Allah ‘azza wa jall – bahwa Dia menjadikan kita diantara para penuntut ilmu yang mengikuti jalan mereka, yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mengenainya, “Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.”4)

Hal ini membawa kita untuk membahas mengenai ilmu, yang telah disebutkan di banyak tempat di dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS Az-Zumar : 9)


Dan firman Allah:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah : 11)

Ilmu apakah gerangan, yang dengannya Allah memuji mereka yang memilikinya dan beramal dengannya, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka? Jawabannya adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Ilmu adalah (apa yang) Allah katakan, (apa yang) Rasulullah katakan,
(dan apa yang) para Sahabat katakan, Ini bukan sebuah kebohongan.
Ilmu bukanlah kita masuk dalam perbedaan secara jahil
Antara Rasulullah dengan pendapat para fuqaha
Tidak, dan kita tidak menolak dan menafikan Sifat-sifat Allah
Karena takut jatuh ke dalam tasbeeh dan tamtsil”

Maka kita mengambil definisi ilmu dari pernyataan dan syair ini, yang jarang kita dengarkan diantara bait-bait syair, karena syair-syair para ulama tidak seperti syair-syair para penyair. Dan Ibnu Qayyim adalah seorang ulama dan beliau juga menulis syair-syair yang bagus. Dan dia berkata: Ilmu adalah apa yang Allah katakan, pada tempat pertama, kemudian apa yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam katakan, pada tempat kedua, kemudian apa yang para Sahabat katakan, di tempat ketiga. Perkataan Ibnu Qayyim mengingatkan kita pada kenyataan yang sangat penting, yang seringkali diabaikan oleh sebagian besar dai yang tersebar di seluruh negeri hari ini dalam rangka menyeru kepada Islam. Kenyataan apakah ini? Apa yang diketahui dengan baik diantara para dai bahwa Islam terdiri dari: Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ini benar, tidak ada keraguan di dalamnya. Namun demikian hal ini tidak mencukupi.

Ibnu Qayyim mencatat kekurangan ini dalam bait syairnya, yang baru saja kami sebutkan. Itu sebabnya mengapa setelah menyebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dia menyebutkan para Sahabat. “Ilmu adalah (apa yang) Allah katakan, (apa yang) Rasulullah katakan, dan (apa yang) para Sahabat katakan…”

Pada masa sekarang ini, sangat jarang kita mendengar seseorang menyebutkan para Sahabat ketika menyebutkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dan sebagaimana kita ketahui merekalah pemimpin Shalafush Shaleh, yang oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dikatakan, sebagaimana yang diriwayatkan dari banyak sahabat:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku…”

Dan jangan katakan apa yang dikatakan banyak dai sekarang ini: “Sebaik-baik generasi.” Kalimat ini: “Sebaik-baik generasi” tidak ada asalnya dari Sunnah. Sunnah yang shahih yang terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim) dan hadits-hadits lain merujuk semua periwayatan hadits dengan lafazh: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya.”5)

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah telah menghubungkan para Sahabat –pemimpin dari tiga generasi yang telah mendapatkan kesaksian akan kebaikan mereka- kepada Kitabullah dan Sunnah. Lalu apakah hubungan ini yang dikeluarkan dari pendapatnya, atau kesimpulan seorang ulama, yang tidak terlepas dari kesalahan? Jawabannya tidak, ini bukanlah berasal dari kesimpulan deduktifnya yang mana ada kemungkinan kesalahan masuk ke dalamnya, namun ini berasal dari Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari Al-Qur’an terdapat firman Allah ‘azza wa jall:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa : 115)


“Dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin” – Allah tidak berhenti pada ayat ini, dan jika pun Dia berhenti, ayat ini tetap benar. Dia tidak berkata: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Sungguh, dengan hikmah-Nya yang tak terhingga, Dia menyertakan: “Dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin” dan inilah yang kita fokuskan penjelasannya sekarang: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa : 115)

Saya berharap bahwa ayat ini menjadi benar-benar tertanam dalam peimikiran dan hati anda, dan saya berharap anda tidak melupakannya, karena inilah kebenaran. Dan melaluinya, anda akan selamat dari penyimpangan dengan terhanyut ke kanan atau ke kiri dan anda akan selamat –meskipun dalam satu aspek atau beberapa perkara- dari jatuh kedalam salah satu golongan yang tidak selamat, atau salah satu kelompok yang menyimpang. Hal ini karena Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits yang masyhur, yang akan saya ringkaskan agar sesuai dengan pembahasan kita:

“Dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan –semuanya di neraka kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapa mereka, Ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Al-Jama’ah.”6)

Al-Jama’ah adalah “Jalan orang-orang Mukmin.” Maka hadits ini, jika bukan merupakan wahyu Allah secara langsung ke dalam dada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka tentulah diambil dari ayat yang telah disebutkan sebelumnya “Dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin”. Maka jika seseorang yang ‘Menentang Rasul’ dan ‘mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin’ diancam dengan neraka, maka sebaliknya pun benar, maka barangsiapa benar mengikuti ‘jalan orang-orang Mukmin’, maka dia dijanjikan surga, dan tidak ada keraguan dalam hal ini. Sehingga kemudian, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab pertanyaan tersebut mengenai golongan yang selamat, beliau berkata: “Al-Jama’ah.” Maka Jama’ah adalah kelompok Muslimin. Kemudian juga disebutkan dalam riwayat lain dari hadits ini, yang mendukung pemahaman ini. Bahkan semakin menambah uraian dan penjelasan mengenainya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Apa yang aku dan para Sahabatku berada di atasnya.”7)

“Para Sahabatku” merujuk kepada “Jalan orang-orang Mukmin.” Maka ketika Ibnu Al-Qayyim menyebutkan para Sahabat dalam bait syairnya yang telah kami sebutkan sebelumnya, dia hanya mengambil pemahaman itu dari ayat yang baru kita sebutkan dan hadits ini. Juga terdapat hadits yang masyhur dari Al-Irbadh bin Sariyyah radhiallahu anhu yang juga akan saya ringkas dan hanya menyebutkan bagian yang relevan dengan pembahasan kita, sehingga kita punya cukup waktu untuk tanya jawab nantinya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku.”8)

Di sini kita mendapatkan contoh yang sama dengan hadits yang kami sebutkan sebelumnya dan juga dengan ayat sebelumnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak berkata: “Berpeganglah pada sunnahku” saja, tetapi ia menghubungkan Sunnahnya dengan Sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk. Maka disini kami katakan, khususnya pada masa sekarang ini ketika kita menemukan banyak pertentangan pandangan, dan ideologi dan madzhab, dimana didalamnya terdapat banyak kelompok dan golongan, yang dengannya banyak pemuda Muslim mulai hidup dalam kebingungan. Dia tidak mengetahui kepada kelompok mana dia harus menisbatkan dirinya.

Maka disinilah kami telah memberi jawaban dari ayat dan dua hadits yang telah kami sebutkan. Ikuti jalan orang-orang Mukmin! Apakah jalan orang-orang Mukmin yang ada saat ini? Jawabannya adalah tidak, yang kami maksudkan adalah orang-orang Mukmin terhadulu –generasi pertama- generasi para Sahabat –Salafush Shaleh. Merekalah orang-orang yang harus kita ambil sebagai teladan dan yang kita ikuti. Dan sama sekali tidak ada yang menyamai mereka di muka bumi. Karenanya, esensi dakwah kita didasarkan pada tiga pilar – (1) Al-Qur’an, (2) As-Sunnah, dan (3) Mengikuti Salafush Shaleh.

Maka siapapun yang menyatakan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan dia tidak mengikuti Salafush-Shaleh, yang ditunjukkan dalam perkataan dan perbuatannya: “Mereka manusia dan kita juga manusia,” (yakni bahwa para Sahabat setara dengan mereka), maka orang ini menyimpang dan tersesat. Mengapa? Karena dia tidak menerima nash-nash ini, yang baru saja kami paparkan kepada anda. Apakah dia mengikuti “Jalan orang-orang Mukmin”?


Tidak. Apakah dia mengikuti para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Tidak. Apa yang dia ikuti? Dia mengikuti nafsunya, dan mengikuti akalnya. Apakah akal seseorang sempurna dan bebas dari kesalahan? Jawabannya adalah tidak. Karenanya dia jelas berada dalam kesesatan. Saya percaya bahwa alasan banyaknya perbedaan, warisan yang didapatkan dalam kelompok-kelompok yang terkenal dari masa lalu dan perbedaan yang baru saja muncul belakangan ini adalah karena kurangnya mereka kembali kepada sumber yang ketiga, yakni Salafush Shalih.

Semua orang menyatakan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan betapa sering kita mendengar perkataan semacam ini dari para pemuda yang kebingungan, ketika mereka berkata: “Ya akhi, orang-orang ini mengklaim mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dan orang-orang itu mengklaim mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Lalu apa apakah perbedaan nyata yang jelas? “Perbedaan itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Manhaj Salafush Shaleh. Maka barangsiapa yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mengikuti Salafus-Shaleh, dia sesungguhnya tidak mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan sebenarnya dia hanya mengikuti akal, jika tidak nafsunya.

…bersambung
________________
Catatan Kaki:
1) Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Ahaadiitsul Anbiyaa, Bab 50 Maa Dzukira Ann Bani Israiil, hadits nomor 3461
2) Shahih Bukhari, Kitab Al-Ilm, Bab Kaifa Yuqbadhu Al-Ilm 1:94, Shahih Muslim, Kitab Al-Ilm, Bab Raf'i Al-Ilm wa Qabdhihi wa Zhuhuri Al-jahl wa Al-Fitan 16: 223-224)
3) HR Muslim
4) HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu
5) Mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127
6) HR Abu Dawud dalam Sunan-nya dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Ash-Shahihah no. 204)
7) HR Thabrani dalam Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi (terjemahan hal. 697), dishahihkan oleh Syaikh Albani.
8) HR Abu Dawud (4607), At-Tirmidzi (2676), dll, dishahihkan oleh Ibnu Hibban hadits no. 5

No comments:

Post a Comment