Tuesday, January 29, 2008

Penjelasan Syarhus Sunnah Imam Al-Barbahari - Bagian 2 (lanjutan : 2/2)

Penjelasan Syahrhus Sunnah
Imam Al-Barbahari Bagian 2 (lanjutan)

Oleh: Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi



Penjelasan

Ahlul ilmi dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka yang mengikuti atsar sepakat bahwa tidak diperbolehkan memberontak terhadap pemerintah Muslim yang berkuasa, (tanpa menimbang) apakah dia adil atau lalim. Beberapa ulama telah menyampaikan ijma Ahlus Sunnah dalam perkara ini.

Ibnu Hajar berkata (dalam Al-Fath 13/38, cetakan Muhibb Ad-Din Al-Khatib) ketika menerangkan hadits Hudzaifah bin Al-Yaman:

“Ibnu Battal berkata: “Terdapat hujjah untuk hal ini –maksudnya dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman – bagi jamaah fuqaha (yang menunjukkan kewajiban) dalam berpegang kepada Jama’ah kaum Muslimin dan berlepas diri dari pemberontakan terhadap pemimpin yang menindas. Karena Beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) menggambarkan kelompok terakhir sebagai penyeru di pintu-pintu neraka dan dia tidak berkata mengenai mereka: “Engkau akan menyetujui sebagian perbuatannya dan mengingkari sebagian lainnya,” sebagaimana beliau berkata mengenai kelompok yang pertama. Mereka tidak akan digambarkan (seperti itu) kecuali mereka berada selain di atas kebenaran dan bahkan perlu diingat bahwa beliau memerintahkan untuk berpegang kepada jama’ah. At-Tabari berkata: “Mereka berbeda dalam perintah dan (pengertian) Jama’ah. Sebagian orang mengatakan bahwa merupakan kewajiban dan Jama’ah adalah kelompok mayoritas terbesar.”

Saya (Syaikh Ahmad) berkata: “Mereka yang berkata dengan sesuatu yang menyelisihi perkataan ini telah mengambil perkataan ahlul bid’ah, karena tidak ada yang pernah mengatakan bahwa diperbolehkan memberontak terhadap pemerintah yang lalim kecuali Khawarij dan Mu’tazilah. Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah semuanya berpegang kepada dalil (tentang larangan memberontak) dan mereka semua percaya bahwa tidak diperbolehkan memberontak dengan perbuatan dan orasi, karena orasi merupakan penyebab dari pemberontakan fisik.

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi Ad-Dimisqi berkata dalam komentarnya terhadap Aqidah At-Thahawiyah (setelah perkataan penulis):

“Kita tidak membolehkan memberontak terhadap pemimpin-pemimpin dan Ulim ‘Amri kita meskipun mereka berbuat lalim. Kita tidak menyumpahi mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka dan agar mereka dikaruniakan kebaikan jasmani maupun rohani.” Ini adalah perkataan penulis Ath-Thahawiyah, kemudian pensyarah (Ibnu Abil ‘Izz menyebutkan hujjah dan dalil mengenai hal ini, kemudia dia berkata (dalam komentarnya):

“Maksud berpegang pada ketaatan meskipun mereka bersikap lalim, hal ini karena meninggalkan ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan kejahatan yang lebih besar dari apa yang diakibatkan oleh kelaliman mereka. Namun demikian, bersabar terhadap kelaliman mereka dapat menghapus dosa-dosa dan akan melipatgandakan pahala. Karena Allah tidak menempatkan mereka dalam kekuasaan atas diri kita kecuali karena perbuatan kita dan setiap balasan sesuai dengan amalan kita. Oleh karena itu, hal ini terletak pada diri kita untuk mengerahkan upaya sungguh-sungguh, memohon ampun, bertaubat dan mengoreksi perbuatan kita.

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura : 30)

Al-Imam Al-Hafizh Abul Qasim Ismail Ibnu Muhammad Al-Fadl At-Tamimi yang disebut “Qiwamus Sunnah” yang wafat pada tahun 535 H berkata di dalam bukunya Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah :

“Bab: ‘Penjelasan larangan memberontak terhadap penguasa’, kemudian dia menyebutkan di dalam bab ini hadits-hadits yang menunjukkan larangan memberontak, diantaranya hadits dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

سَيَلِيكُمْ بَعْدِى وُلاَةٌ فَيَلِيكُمُ الْبَرُّ بِبِرِّهِ وَالْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِيمَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ ».


“Kalian akan diperintah oleh pemimpin setelahku, yang baik akan memerintah kalian dengan kebaikannya, dan yang jahat akan memerintah kalian dengan kejahatannya. Dengarkan dan taati mereka dalam segala hal yang sesuai dengan kebenaran dan shalatlah di belakang mereka, jika mereka (mendirikan shalat dengan) baik dan benar, maka bagimu dan bagi mereka (pahala) namun apabila mereka (mendirikan shalat) buruk maka bagimu pahala dan dosa bagi mereka.”1

Muhaqiq kitab ini menyatakan bahwa sanadnya lemah dan ia menyebutkan kelemahan hadits tersebut dari Muhaqiq “Al-Kanzu”.

Saya (Syaikh Ahmad) berkata: Makna hadits tersebut adalah benar dan dikenal di dalam hadits shahih lainnya. Yang saya maksudkan adalah bahwa hadits yang dirujuk disini menunjukkan kebenaran dari lafazh hadits di atas. (Sebagian) dari lafazhnya berhubungan dengan Imam yang memimpin shalat adalah shahih dengan lafazh:

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka akan (mendirikan dan memimpin) shalat bersama kalian, jika mereka shalat dengan benar maka bagimu dan bagi mereka (pahala) tetapi jika mereka salah maka bagimu (pahala) shalat itu dan (kesalahan) atas mereka.”2

Hadits ini dinisbatkan kepada Al-Bukhari sebagaimana (catatan) dan pentahqiqan Al-Jami As-Saghir.3

Muhammad Mahmud Abu Ruhayyim yang mentahqiq kitab tersebut berkata di dalam catatan kaki terhadap bab yang telah disebutkan – dengan judul ‘Bab: Penjelasan larangan memberontak kepada penguasa’- “Ini adalah keyakinan para Ahlul Hadits dan tidak ada seorang pun yang menentang mereka dalam hal ini, kecuali Mu’tazilah, Khawarij dan Zaydiyyah.” (2/391)

Saya (Syaikh Ahmad) berkata: “Zaydiyyah telah mengadopsi perkataan Mu’tazilah dalam masalah aqidah.”

Dalam kitab Ibaanah Al-Kubra oleh Ibnu Battah dalam bab: ‘Penyebutan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpegang kepada jama’ah dan peringatan dari berlepas diri (dari jama’ah), setelah menyebutkan hadits yang berhubungan dengan perkara perintah untuk berpegang teguh kepada jama’ah dan kritikan terhadap perpecahan- dia (Ibnu Battah) meriwayatkan dengan sanad dari Abdullah Ibnu Mas’ud yang berkata:

“Sungguh akan ada perkara yang samar (mutasyabihat). Karenanya hendaklah kalian pelan-pelan, karena sesungguhnya lebih baik menjadi pengikut dalam kebaikan daripada menjadi tokoh panutan dalam kejahatan.”4

Dan dari Amr Ibnu Murrah yang berkata, Abdullah Said –dan di akhir hadits dia menyatakan:

“Berhati-hatilah dari akhlak yang buruk, jadikanlah wajahmu satu wajah dan dakwahmu satu dakwah. Karena sesungguhnya telah sampai kepada kami berita bahwa seseorang yang memiliki dua wajah dan dua lisan akan memiliki dua lisan yang terbuat dari api neraka”5

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang berkata kepadanya: “Nasihatilah aku.” Maka dia berkata, “Aku nasihatkan kepadamu untuk berpegang teguh mengikuti atsar, dan berhati-hati dari memunculkan bid’ah.”6

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata: “Sederhana di dalam Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” 7

Diriwayatkan dari Mu’adz Bin Jabal, ia berkata: “Berhati-hatilah terhadap bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.”8

Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir bahwa dia berkata: “Jama’ah adalah rahmat sedangkan perpecahan adalah adzab.”9

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berkata: “Umar memberikan khotbah di Al-Jabiyyah, dia berkata:

“Wahai Manusia, saya berdiri diantara kamu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di antara kami dan berkata:

“Saya wasiatkan kamu untuk berpegang kepada para sahabatku, kemudian yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya. Dan kedustaan akan tersebar luas sehingga ada seorang laki-laki yang berani bersumpah padahal dia tidak diminta untuk bersumpah dan ada orang akan bersaksi padahal tidak dimintakan kepadanya untuk bersaksi. Ketahuilah, tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah syaithan. Berpeganglah kepada Jama’ah dan waspadalah terhadap perpecahan, karena syaithan bersama seseorang yang sendirian dan terhadap dua orang dia lebih jauh, maka orang yang menginginkan tengah-tengahnya surga maka tetaplah berpegang kepada jama’ah. Barangsiapa yang kebaiknya membuatnya senang dan kejelekannya menjadikannya sedih, maka dia adalah seorang yang beriman.”10

Dalam kitab Shi’ar Ashabul Hadits yang ditulis oleh Imam Abu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ishaq yang dikenal dengan nama Abu Ahmad Al-Hakim, (ketika membahas) aqidah ahlul hadits meriwayatkan dari Abu Raja’ Qutaibah Ibnu Sa’id bahwa dia berkata: “…(Kami berpegang) kepada Jama’ah apakah (pemimpinnya) adil atau tidak adil.”

Hal ini berkenaan dengan shalat Jum’at, shalat berjama’ah dan dua shalat Id. Ia melanjutkan sampai tiba pada kalimat:

“Kami tidak mengkafirkan seseorang karena dosa (yang dilakukannya) kecuali dia meninggalkan shalat, meskipun dia melakukan dosa besar. Dan kami tidak memberontak terhadap penguasa dengan pedang meskipun mereka lalim dan kami berlepas diri dari mereka yang meyakini bahwa diperbolehkan mengangkat pedang terhadap Muslim siapapun mereka.”

Adalah wajib bagi kita memperhatikan dengan seksama bahwa diantara pinrsip-prinsip ) kelompok yang dikenal dengan Al-Ikhwan (Al-Muslimin) adalah tarbiyah untuk pemberontakan, sehingga jika kesempatan itu muncul mereka telah siap dan bersiap sedia untuk memberontak. Dengan demikian, apakah diperbolehkan bagi kita untuk mendukung kelompok ini dan bersama-sama dengan mereka? Jawabannya adalah tidak. Ada sebuah buku yang telah dikumpulkan oleh salah seorang dari mereka yang berada di atas manhaj mereka, ia memberinya judul ‘At-Tariq ila Al-Jama’ah Al-Muslimin’, lihatlah pada halaman 292 dan 293 dan anda akan menemukan bahwa mereka menegaskan pemberontakan (diperbolehkan) dan mereka telah menyuarakan dengan jelas mengenai hal ini dan menuliskannya dalam halaman tersebut.

Di dalam buku ‘Ushul us Sunnah’ yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dalam riwayat ‘Abdus Ibnu Malik Al-Atar- dia (Imam Ahmad) berkta:

“Dan (diantara pokok-pokok Ahlus Sunnah) mendengarkan dan taat kepada pemimpin (a’immah) dan Amirul Mukminin, apakah shaleh maupun yang fajir, diantara mereka yang berkuasa yang kepadanya orang-orang sepakat untuk menyatukan diri (dibawah kepemimpinannya) dan ridha terhadapnya. Dan juga (mendengar dan taat) yang mengalahkan dengan pedangnya (kudeta – pent) sampai dia menjadi khalifah dan digelari Amirul Mukminin. Ikut serta dalam peperangan bersama dengan pemimpin (umara), apakah mereka shalih atau fajir, adalah perkara harus terus berlangsung sampai hari kiamat. Hal ini tidak boleh ditinggalkan. (Demikian juga) pembagian harta rampasan perang dan penunjukkan pemimpin, (a’immah) untuk menegakkan hukum yang telah ditetapkan (hudud) keduanya terus berlanjut. Tidak diperbolehkan seseorang untuk mencela atau melawan mereka (yakni pemimpin). Dan juga, menyerahkan sedekah kepada mereka diperbolehkan dan sah. Barangsiapa yang berinfak kepada mereka makasudah dianggap sah. Dan melaksanakan shalat Jum’at dibelakangnya dan di belakang siapapun yang ditunjuknya adalah perbuatan yang baik dan diperbolehkan yang terdiri dari dua raka’at. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya (setelah shalat di belakang mereka) adalah seorang mubtadi (pembuat bid;ah), seseorang yang mengabaikan atsardan Sunnah. Dia tidak keutamaan shalat Jum’at sedikitpun, apabila dia memandang tidak Bolehnya shalat dilakukan dibelakang pemimpin, siapapun mereka, yang shaleh ataupun yang fajir. Jadi Sunnah-nya adalah seseorang shalat dua raka’at bersama mereka. dan meyakini bahwa shalat tersebut telah sempurna, tidak memiliki keraguan di dalam hatinya. Dan barangsiapa yang memberontak terhadap seorang memimpin diantara pemimpin kaum Muslimin, setelah mereka sepakat atasnya dan bersatu di belakangnya, dan setelah mereka mengakuinya sebagai khalifah, dengan cari apapun dia menjadi khalifah, baik dengan keridhaan maupun melalui penaklukan (kudeta), maka orang yang memberontak ini telah mematahkan tongkat persatuan kaum Muslimin dan menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan jika pemberontak tersebut mati dia akan mati seperti matinya jahiliyah. Dan tidak halal membunuh seseorang yang sedang berkuasa, dan tidak diperbolehkan untuk memberontak terhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya maka ia adalah seorang ahlul bid’ah, dan berada di atas selain dari Sunnah dan jalan yang benar.”

Telah jelas di dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma salafush shaleh yang telah disampaikan oleh banyak ulama, bahwa memberontak terhadap pemerintah tidak diperbolehkan jika mereka Muslim yang menegakkan shalat, meskipun mereka lalim. Inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan tidak seorang pun yang menentang mereka dalam hal ini kecuali Mu’tazilah dan orang-orang yang mengikuti kepercayaan mereka. Mu’tazilah dan Khawarij adalah mereka yang percaya bahwa diperbolehkan memberontak kepada mereka yang berkuasa dan mereka menganggapnya diperbolehkan untuk melarang kemungkaran dengan pedang.



_____________
1). Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya. (matan Maktabah Syamilah v1.0 (19/460 no. 1102)
2). Cetakan Maktabah Islamiyah juz 2 hal. 1342 no. 8099
3). 2/2342
4). Ibaanah (1/328)
5). Sebagian hadits disinggung oleh Syaikh Albani dalan Ash-Shahihah (2/554)
6). Ibaanah (1/318)
7). Ibaanah (1/339)
8). Ibaanah (1/339)
9). Ibaanah (1/278) dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam pentahqiqannya (As-Sunah No. 93).

Sumber : http://www.al-athariyyah.com


No comments:

Post a Comment