Diterjemahkan dari www.salafipublications.com
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan 2 poin yaitu jawaban atas tuduhan bahwa pemberian nama Salafiyyah adalah bid’ah tercela, dan juga jawaban Syaikh Albani mengenai pertanyaan seseorang mengapa kita perlu menggunakan kata Salafi, padahal Allah telah menamakan kita Muslim dan itu telah cukup.
Pada bagian terakhir ini akan dilanjutkan dengan pembahasan poin 3 sampai dengan 7. Semoga dengan pembahasan ini menjadi jelas bagi kita semua, dan menghilangkan keraguan untuk menisbatkan diri kepada manhaj salaf.
============
3. Memanggil seseorang Salafi merupakan Tazkiah Tercela terhadap diri seseorang
Dan keraguan ini telah dibantah oleh Masyaikh kami Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz - (mantan) Mufti Arab Saudi ditanya, “Apa yang anda katakan mengenai seseorang yang menyebut dirinya “Salafi” atau “Atsari” Apakah ini merupakan tazkiah (pensucian) diri? Beliau –semoga Allah merahmatinya- menjawab, “Bilamana dia benar (dalam pengakuannya) bahwa dia seorang Salafi atau Atsari maka tidak ada kesalahan di dalamnya, (ini) serupa dengan apa yang disebut para Salaf, “Ini dan itu adalah Salafi, Ini dan itu adalah Atsari.” Ini adalah tazkiah (pujian) yang diperlukan, bentuk tazkiah yang diwajibkan.” (kaset: Haqq ul-Muslim 16/1/1413 Ta’if)
Syaikh Al-Fauzan ditanya, “Apakah seseorang yang menyebut dirinya “Salafi” dipandang telah menetapkan hizbi?” Beliau menjawab. “Tidak ada salahnya seseorang menyebut dirinya dengan Salafiyyah apabila hal tersebut benar. Namun demikian, apabila hal tersebut hanyalah sekedar pengakuan, maka tidak diperbolehkan seseorang untuk menamakan dirinya Salafiyyah, manakala ia berdiri di atas manhaj selain Salaf.” (Al-Ajwibah al-Mufidah hal.16).
Dan bagi mereka yang berniat untuk mengecilkan hati orang lain yang menisbatkan diri kepada Salaf dan menuding bahwa hal tersebut adalah suatu bentuk tazkiah (pensucian diri) maka tipu daya mereka tidak tersembunyi dari kami. Bahkan Syaikhul Islam telah membantah hal ini sejak beberapa abad yang lalu dan menjadikannya suatu kewajiban untuk menerima penisbatan seseorang kepada Salaf – dan memegangnya dengan persetujuan penuh – karena akidah dan manhaj Salaf tidak lain adalah kebenaran. Namun jika yang terjadi adalah manhaj mereka (yang membuat pengakuan palsu) telah tercemar, maka tidak mengherankan kalau mereka menginginkan orang-orang untuk melepaskan diri dari Salaf – karena hanya dengan cara itulah kebohongan mereka tidak diketahui.
4. Salafiyyah menyebabkan perpecahan
Manakala Salafiyyah merupakan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaful-Ummah dan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyatakan, “Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu,” mereka bertanya, “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?” beliau menjawab, “mereka yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada pada hari ini.” (HR Tirmdizi no. 2463) – sedangkan perpecahan timbul dari pengabaian mereka terhadap pemahaman yang benar, maka Salafiyyah tidak lain adalah langkah kedepan untuk penyatuan dan bukannya memecah belah atau bergolong-golongan. Asy-Syaikh Shaleh Al-Fauzan berkata, “As-Salafiyyah (yakni Salafi) adalah golongan yang selamat, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Salafiyyah bukanlah hizbi (partai) diantara berbagai ragam partai, sebagaimana “partai-partai” yang kita kenal pada hari ini… Karenanya Salafiyyah adalah sekelompok orang (yakni Salafi) di atas madzhab Salaf, mengikuti apa yang Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya dan bukanlah hizbi dari sekian banyak kelompok zaman sekarang yang ada pada hari ini.” (Kaset “at-Tahdeer min al Bid’ah” kaset kedua, dibawakan sebagai kajian pada Hawtah Sadeer, 1416 H).
Dengan demikian, Salafiyyah adalah merupakan perjuwudan dari apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam tinggalkan untuk umatnya, yang malamnya seperti siang, jelas kemurniannya, dan siapapun yang memisahkan diri darinya akan binasa, yakni, akan memasuki perpecahan, perbedaan dan masuk kepada golongan-golongan yang terancam neraka. Oleh karena itu, Salafiyyah yang mengajak untuk kembali kepada apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya tidak dapat dikatakan sebagai perpecahan.
5. Salafi menganggap bahwa hanya merekalah yang benar
Kita harus membedakan antara apa yang dinisbatkan kepadanya –yang merupakan jalan para Salaf- dan seseorang yang menisbatkan diri kepadanya. Secara mutlak, apa yang dinisbatkan kepadanya, yakni jalan Salaf, tidak lain adalah pengejawantahan kebenaran, dalam pengertian umum dan spesifik, dalam aqidah dan manhaj, ushul dan furu’, dan tidak seorang pun menolak atau mengingkarinya melestarikan bid’ah.
Bagi seseorang yang menisbatkan dirinya kepada jalan Salaf, maka dalam dasar dari penisbatannya – yang mana hal itu tidak mungkin salah – maka ia benar dalam hal itu, dan apa yang menjadi kebalikannya, tidak lain adalah kesalahan dan kesesatan. Yang dimaksud disini adalah dari sudut pandang aqidah dan manhaj agama secara umum. Hal ini karena aqidah dan manhaj dan ushul para Salaf dari semua generasi adalah sama dan mereka bersatu di atasnya.
Karenanya, seorang Salafi dan benar dalam penisbatannya kepada Salaf yang berjalan di atas pengetahuan dan amalan, mengikuti jalan mereka, maka dia benar dalam hal tersebut, insya Allah. Dan orang ini akan mengetahui jalan para Salaf dalam pengertian umum dan ia mengetahui bahwa itu benar, meskipun dia mungkin lalai dalam beberapa hal tertentu, namun ia tetap benar dalam menetapi jalan mereka – dan arahnya dalam mengikuti mereka – adalah kebenaran dan apapun yang bertentangan dengannya, adalah kedustaan. Atau dia mungkin tahu jalan para Salaf dalam pengertian umum dan khusus, dalam hal aqidah, manhaj, ushul dan furu’ dan ia akan benar di dalam sebagian besar dari apa yang dia pegang dan bertindak atasnya, dan keseluruhan ini bergantung pada keikhlasannya dalam belajar dan semangatnya dalam belajar dan menuntut ilmu dan beramal berdasarkan ilmu tersebut.
Sebagai seorang individu, menjadi benar dalam setiap hal sampai dengan cabang-cabangnya, dan membuat pengakuan seperti itu, maka dia salah. Karena tidak mungkin seseorang benar dalam segala hal dalam masalah agama, pertama-tama karena tidak mungkin baginya memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai semua hal tersebut, dan kedua, manakala para imam terdahulu tidak mencapai hal tersebut, maka sukar kemungkinannya para pengikutnya kemudian akan dapat mencapainya. Oleh karena itu, dalam hal-hal cabang, akan sangat mungkin bagi Salafy melakukan kesalahan, namun hal ini tidak menafikan kebenarannya dalam aqidah dan manhaj, dan secara umum berada di atas sesuatu yang mengeluarkan dia dari tujuh puluh dua golongan bid’ah dan sesat.
Meskipun demikian, seringkali kasusnya adalah seseorang yang menisbatkan diri kepada jalan Salaf dan menampakkannya keluar padahal sebenarnya dia berada di atas metodoligi yang sesat, namun dia menyatakan sikap ortodoksnya dan membela aqidah dan manhaj yang benar. Meskipun ia benar dalam aqidah, ia mungkin saja berada di atas manhaj yang tercemar. Dalam hal ini, seseorang seperti dia tidaklah benar dalam penisbatannya, karena dia memiliki manhaj selain manhaj para salaf, dan ini ditentukan dengan memperhatikan: Apakah dia membela ahlul bid’ah dan menisbatkan diri terhadap pandangan mereka? Apakah dia mengambil mereka sebagai petunjuk dan pemimpin, membela dan mengagungkan tokoh-tokohnya? Apakah dia berbicara dengan istilah dan kata-kata ahli bid’ah, dan ungkapan-ungkapan lain yang telah menjadi slogan para ahlul bid’ah?(*) Karena itu mari kita amati dan perhatikan, afiliasi apa lagi yang dia punyai, dengan siapa dia bercampur, dengan siapa dia berbicara, buku-buku apa yang dirujuknya, dan dalam hal ini kita akan tahu orientasi manhajnya yang sesungguhnya, dan dari sini kita bisa mengetahui apakah dia seorang yang memaksakan diri, mengakui bermanhaj Salaf namun berada di atas selainnya.
6. Salafi Sombong dan Berakhlak Buruk
Dan ini merupakan hal yang sangat rumit dan perlu pemikiran dan pertimbangan hati-hati. Dalam hal berkelakuan buruk, maka ini seringkali disebabkan oleh asuhan dan sifat seseorang, karakter dan kepribadiannya, dan itu bukanlah menunjukkan dasar-dasar aqidah dan manhaj yang tidak lain melainkan kebenaran. Sehingga, seseorang mungkin perlu untuk memperbaiki akhlaknya dan berbicara dengan kebijaksanaan (inilah sunnah) dan bantahan yang baik, sehingga dakwahnya lebih mudah diterima. Namun ini bukanlah dalih untuk menolak keabsahan dan kebeneraan jalan Salaf dan penisbatan seseorang kepadanya, karena hanya itulah jalan kebebasan. Karenanya kita membuat perbedaan antara apa yang kadang-kadang ditampakkan oleh sebagian salafi berupa prilaku yang buruk, dan apa yang menjadi dasar pemahaman manhaj yang diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesalahan ada pada individu dan bukan pada peletakan dasar pemahamannya. Hal yang sama dapat dikatakan terhadap setiap Muslim, tanpa memperhatikan kesesatan metodlogi dan keyakinan kebid’ahan dimana seseorang menisbatkan diri kepadanya, diantara mereka ada yang berprilaku jahat dan mempunyai kebiasaan buruk. Tetapi manhaj atau aqidah dihukumi berdasarkan persetujuan dan penentangannnya terhadap apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya, secara mendasar, bukanlah perbuatan orang per orang. Silahkan merujuk penjelasan lebih lanjut.
Dalam hal kesombongan, maka ini kadang-kadang muncul dari perorangan, dalam hal mana dia tercela. Namun dalam kasus lain dia dianggap sombong, meskipun orang tersebut tidak memiliki kesombongan melainkan hanya mencintai kebenaran, yakin dengan kebenaran – namun ia dipahami memiliki kesombongan oleh kawan atau lawan atau orang yang dia dakwahi. Dan seringkali yang terjadi adalah kesombongan itu terjadi untuk kepentingan orang yang tidak menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang yang menisbatkan dirinya kepada aqidah dan manhaj Salaf ( dan bukan pengakuan dusta dari seseorang yang menyimpang!!). Ingatlah akan hal ini, karena inilah yang seringkali terjadi. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kesombongan adalah penolakan terhadap kebenaran dan memandang rendah manusia.” Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa Salafi adalah sombong, maka perlindungan adalah dari Allah, pada kenyataannya merekalah yang sombong, yang karena kesombongannya mereka tidak menerima dakwah kebenaran, dan kemudian menuduh Salafi dengan kesombongan. Maka Ingatlah akan hal ini, karena setiap mata uang mempunyai dua sisi.
Pertimbangkan, seorang Salafi mungkin mendakwahi seseorang kepada kebenaran, dalam persoalan yang dia tahu bahwa dia benar. Dia keras dan memaksa bahwa dia benar dan karenanya ia dituduh sombong, meskipun satu-satunya alasan dia menunjukkan prilaku tersebut adalah kecintaannya kepada kebenaran dan berpegang kepada kebenaran. Meskipun kita dapat mengatakan bahwa tindakannya tidak benar dan keliru dan semangat besarnya telah mendorong dia untuk bertindak yang tidak semestinya, dapat disebabkan kurangnya pengetahuannya atau karena kelakuan buruk. Karenanya tergantung pada dirinya untuk memperbaiki semua hal tersebut. Jika tidak, maka orang yang didakwahinya akan berakhir dengan tidak menerima kebenaran disebabkan oleh cara dia mendakwahkannya.
Sehingga kita katakan bahwa kesombongan terkadang diperlihatkan, dan ini berpulang kepada setiap individu, bukannya manhaj dan aqidah dimana dia menisbatkan dirinya. Sesungguhnya banyak dari aliran Sufi juga sombong dalam mengakui pelepasannya dari neraka dan meminta para pengikutnya untuk berhikmad engan taat –berpikir bahwa mereka berada di atas orang-orang lainnya. Dan kita dapat mengatakan hal yang sama terhadap golongan lain dari ahlul bid’ah. Kesombongan ditemukan di mana saja, hal itu tidak berhubungan dengan apakah aqidah dan manhajnya benar atau tidak. Namun, manhaj dan aqidah itu sendirilah yang menjadi penentu, terhadap setiap hal apa yang para Salaf berada di atasnya.
Kami kembali membawa anda kepada sisa diskusi antara Imam al-Albani dengan seorang penanya sehubungan dengan “Salafiyyah”.
Penanya: [Melanjutkan dari pembicaraan terdahulu] “Baiklah, Saya akan mengikuti dan mengatakan kepada anda: Ya (saya setuju dengan menyimpulkan dengan penyebutan “Salafi), namun, keyakinan saya adalah apa yang telah disebutkan terdahulu, karena hal yang pertama kali yang terpikirkan oleh seseorang ketika dia mendengar bahwa anda adalah seorang Salafi yaitu dia mengingat banyak dari pengalaman yang dia miliki yang melibatkan kekerasan, segala hal yang seringkali ditampakkan oleh Salafi.
Syaikh Albani: “Anggaplah apa yang anda katakan benar. Jika anda berkata ‘Saya Muslim’, apakah seseorang tidak akan berpikir mengenai Syi’ah Rafidhah, Druze dan Ismailii? (dan mengangguk ke arah penanya).
Penanaya: “Mungkin saja. Namun demikian saya lebih memilih mengikuti ayat yang mulia “Dia telah menamakanmu Muslim”.
Syaikh al-Albani: “Tidak akhi! Anda tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat itu berarti bentuk Islam yang benar. Adalah penting untuk menyapa seseorang berdasarkan tingkat pemahamannya… sehingga orang-orang akan mengerti dari anda (ketika anda mengatakan Saya Muslim) bahwa anda sungguh-sungguh seorang Muslim sebagaimana arti yang dikehendaki di dalam ayat tersebut (dalam hal ini Islam yang benar). Menyangkut beberapa nasihat yang anda sampaikan, ini bisa benar bisa tidak. Bila anda menyebutkan soal kekerasan, maka hal ini terkadang muncul dari individu, namun hal tersebut bukanlah merupakan perwakilan dari metodologi yang terikat pada pengetahuan dan keyakinan. Untuk saat ini tinggalkan individu, kita sebenarnya sedang membahas mengenai manhaj (metodologi). Hal ini disebabkan jika kita berkata Syi’ah, atau Druze, atau Khawarij, atau Sufi, atau Mu’tazilah, apa-apa yang anda sebutkan sebelumnya juga berlaku untuk mereka. Karenanya, hal itu bukan merupakan topik diskusi kita. Kita meneliti nama yang memberikan bukti kepada madhzab seseorang dan dengannya ia memuji Allah… Bukankah seluruh sahabat adalah Muslim?
Penanya: “Tentu saja.”
Syaikh al-Albani: “Namun demikian, ada di antara mereka yang mencuri, berzina, tetapi tidak menjadikan alasan bagi satu pun di antara mereka berkata: “Saya bukan Muslim”, namun mereka adalah Muslim dan beriman kepada Allah, sebagai pilihan hidup, meskipun terkadang ia menyimpang jalannya, karena dia tidaklah ma’sum. Dan untuk alasan itulah kita –semoga Allah merahmatimu – membicarakan mengenai sebuah kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita, dan awal pijakan dalam kehidupan kita mengenai hal-hal yang berhubungan dengan agama kita yang dengannya kita mengangungkan Allah. Dan mengenai isu bahwa si fulan dan fulan yang keras dan si fulan dan fulan yang lemah dan terlalu lembut maka hal itu keseluruhannya adalah isu yang berbeda… Saya berharap bahwa anda memikirkan kata ringkas ini (yakni Salafi) sehingga anda tidak bertahan dengan kata ‘Muslim’. Dan anda tahu bahwa selamanya tidak ada orang yang akan memahami apa yang anda maksudkan (hanya dengan menggunakan kata ‘Muslim’). Akhir kutipan (Saya Salafi).
Dan insya Allah ini menjelaskan maksud kita dan pentingnya pembedaan yang telah disinggung di awal dalam menjawab keraguan ini.
7. Salafi kurang Alim sedangkan Selainnya Lebih Alim dan Tidak Berambisi terhadap Kesenangan duniawi
Dan ini pun merupakan keraguan yang sudah terbilang lama dan telah dijawab oleh para ulama Salaf terdahulu. Dan kami hanya akan meninggalkan anda bersama perkataan mereka.
Ibnu Abbas (wafat tahun 68 H) berkata: “Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bid’ah.” (HR Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 4/316).
Ibnu Umar (wafat tahun 84 H) berkata: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang menganggapnya baik.” (Diriwayatkan oleh Abu Shaamah no. 39)
Sufyan Ats-Tsauri (wafat tahun 161 H) berkata: “Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada perbuatan dosa, karena dosa lebih mungkin dimintakan ampun daripadanya sedangkan bid’ah tidak dimintakan ampun daripadanya.” (Diriwayatkan oleh Al-Lalikai no. 238).
Imam Asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) berkata: “Bahwa seseorang yang bertemu Allah dengan semua dosa selain syirik lebih baik daripada bertemu dengan-Nya dengan salah satu kepercayaan bid’ah.” (Diliwatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqad hal. 158).
Al-Laits bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) berkata: “Jika saya melihat seorang yang dihormati berjalan di atas air saya tidak akan menerima apapun darinya.” Sehingga Imam Asy-Syafi’i kemudian berkata: “Dia (Al-Laits) tidak mencukupi. JIka saya melihatnya berjalan di udara saya tidak akan mengambil apapun darinya.” (Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam ‘al-Amr bil ‘Ittiba wan-Nahii anil Ibtida’).
Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya. “Saya melarangmu dari zina, mencuri dan minum khamar. Namun demikian, bertemu Allah dengan salah satu dari dosa-dosa ini lebih baik bagiku daripada kamu bertemu Allah dengan pamahaman Amr bin Ubaid dan pengikutnya (yakni Mu’tazilah).” (Al-Ibaanah 2/466).
Said bin Jubair berkata, “Bahwa anakku seorang Sunni yang mengumpulkan dosa dan maksiat lebih kucintai daripada ia mengumpulkan kesetiaan dan pengagungan ahlul bid’ah” (Al-Ibanah no, 89).
Imam Al-Barbahari berkata. “Namun, jika engaku melihat seseorang yang perbuatan dan pemikirannya tercela, dia lemah,sering berbuat maksiat dan fasiq, namun dia seorang yang mengikuti Sunnah, pergaulilah dia dan duduklah dengannya, karena dosanya tidak akan membahayakanmu. Bilamana engkau melihat seseorang yang berusaha sungguh-sungguh dan panjang dalam beribadah, tidak memiliki ambisi terhadap kesenangan dunia, merutinkan ibadah, sedangkan dia adalah seorang ahlul bid’ah, jangan duduk dengannya, jangan mendengarkan perkataannya dan jangan berjalan bersamanya, karena saya tidak merasa aman bahwa pada akhirnya kamu akan senang dengan caranya dan menuju kehancuran bersamanya.” (Syarhus-Sunnah no. 149).
Imam Ahmad berkata: “Kuburan Ahlus Sunnah diantara mereka yang melakukan dosa besar seperti kebun. Dan kuburan ahlul Bid’ah di antara mereka yang paling taat hampa dan kosong. Pendosa dari Ahlus Sunnah adalah Aulia, dan yang paling taat dari Ahlul Bid’ah adalah musuh Allah.” (Tabaqat ul-Hanabilah 1/184).
Pertimbangkan dengan baik, wahai Sunni, apa yang para imam terkemuka telah tinggalkan untuk kita sebagai warisan dan peringatan. Manakala yang menjadi masalah adalah kebid’ahan dalam aqidah dan manhaj yang menjadi sebab perpecahan dan perbedaan, yang menuju pada munculnya golongan-golongan, dan golongan-golongan ini telah diancam neraka, dan jika yang menjadi persoalan juga adalah setan membuat bid’ah terlihat indah dan membuatnya menarik untuk dijadikan petunjuk dan cahaya, maka para pelaku bid’ah dan prinsip yang telah tercemari adalah lebih berbahaya dari pendosa dan penjahat dari Ahlus-Sunnah. Karena engkau mengetahui kejahatanmu kemudian dan bertobat darinya dan merubah jalanmu, namun jika kamu mengambil teman orang-orang yang telah jelas kebid’ahannya(**), dan engkau berpikir bahwa mereka berada diatas petunjuk dan engkau berpikir bahwa prinsip yang telah tercemar dan metodologi bid’ah mereka adalah perwujudan kebenaran, dan engkau berpikir bahwa prinsip-pinsip dan metodologi ini adalah pembebas umat, dan engkau berafiliasi dengannya dan menunjukkan kesetiaan dan kepemilikan dengannya demi mereka, maka anda akan jatuh ke dalam neraka, manakala engkau berpikir bahwa engkau adalah seorang salafi yang mendapat petunjuk yang benar (!!), padahal anda bukanlah apa-apa melainkan seorang hizbi (pengikut aliran) diantara golongan-golongan, di atas yang lain selain manhaj nubuwwah.
___________
(*) Paragraf ini diringkas dari teks aslinya, dimana tidak disebutkan tokoh-tokoh yang disebutkan berikut slogan-slogan yang dimaksud. Bagi anda yang ingin mengetahuinya silahkan merujuk langsung ke sumber artikel ini di www.salafipublications.com, article ID SLF010007
(**) Idem.
3. Memanggil seseorang Salafi merupakan Tazkiah Tercela terhadap diri seseorang
Dan keraguan ini telah dibantah oleh Masyaikh kami Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz - (mantan) Mufti Arab Saudi ditanya, “Apa yang anda katakan mengenai seseorang yang menyebut dirinya “Salafi” atau “Atsari” Apakah ini merupakan tazkiah (pensucian) diri? Beliau –semoga Allah merahmatinya- menjawab, “Bilamana dia benar (dalam pengakuannya) bahwa dia seorang Salafi atau Atsari maka tidak ada kesalahan di dalamnya, (ini) serupa dengan apa yang disebut para Salaf, “Ini dan itu adalah Salafi, Ini dan itu adalah Atsari.” Ini adalah tazkiah (pujian) yang diperlukan, bentuk tazkiah yang diwajibkan.” (kaset: Haqq ul-Muslim 16/1/1413 Ta’if)
Syaikh Al-Fauzan ditanya, “Apakah seseorang yang menyebut dirinya “Salafi” dipandang telah menetapkan hizbi?” Beliau menjawab. “Tidak ada salahnya seseorang menyebut dirinya dengan Salafiyyah apabila hal tersebut benar. Namun demikian, apabila hal tersebut hanyalah sekedar pengakuan, maka tidak diperbolehkan seseorang untuk menamakan dirinya Salafiyyah, manakala ia berdiri di atas manhaj selain Salaf.” (Al-Ajwibah al-Mufidah hal.16).
Dan bagi mereka yang berniat untuk mengecilkan hati orang lain yang menisbatkan diri kepada Salaf dan menuding bahwa hal tersebut adalah suatu bentuk tazkiah (pensucian diri) maka tipu daya mereka tidak tersembunyi dari kami. Bahkan Syaikhul Islam telah membantah hal ini sejak beberapa abad yang lalu dan menjadikannya suatu kewajiban untuk menerima penisbatan seseorang kepada Salaf – dan memegangnya dengan persetujuan penuh – karena akidah dan manhaj Salaf tidak lain adalah kebenaran. Namun jika yang terjadi adalah manhaj mereka (yang membuat pengakuan palsu) telah tercemar, maka tidak mengherankan kalau mereka menginginkan orang-orang untuk melepaskan diri dari Salaf – karena hanya dengan cara itulah kebohongan mereka tidak diketahui.
4. Salafiyyah menyebabkan perpecahan
Manakala Salafiyyah merupakan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaful-Ummah dan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyatakan, “Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu,” mereka bertanya, “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?” beliau menjawab, “mereka yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada pada hari ini.” (HR Tirmdizi no. 2463) – sedangkan perpecahan timbul dari pengabaian mereka terhadap pemahaman yang benar, maka Salafiyyah tidak lain adalah langkah kedepan untuk penyatuan dan bukannya memecah belah atau bergolong-golongan. Asy-Syaikh Shaleh Al-Fauzan berkata, “As-Salafiyyah (yakni Salafi) adalah golongan yang selamat, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Salafiyyah bukanlah hizbi (partai) diantara berbagai ragam partai, sebagaimana “partai-partai” yang kita kenal pada hari ini… Karenanya Salafiyyah adalah sekelompok orang (yakni Salafi) di atas madzhab Salaf, mengikuti apa yang Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya dan bukanlah hizbi dari sekian banyak kelompok zaman sekarang yang ada pada hari ini.” (Kaset “at-Tahdeer min al Bid’ah” kaset kedua, dibawakan sebagai kajian pada Hawtah Sadeer, 1416 H).
Dengan demikian, Salafiyyah adalah merupakan perjuwudan dari apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam tinggalkan untuk umatnya, yang malamnya seperti siang, jelas kemurniannya, dan siapapun yang memisahkan diri darinya akan binasa, yakni, akan memasuki perpecahan, perbedaan dan masuk kepada golongan-golongan yang terancam neraka. Oleh karena itu, Salafiyyah yang mengajak untuk kembali kepada apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya tidak dapat dikatakan sebagai perpecahan.
5. Salafi menganggap bahwa hanya merekalah yang benar
Kita harus membedakan antara apa yang dinisbatkan kepadanya –yang merupakan jalan para Salaf- dan seseorang yang menisbatkan diri kepadanya. Secara mutlak, apa yang dinisbatkan kepadanya, yakni jalan Salaf, tidak lain adalah pengejawantahan kebenaran, dalam pengertian umum dan spesifik, dalam aqidah dan manhaj, ushul dan furu’, dan tidak seorang pun menolak atau mengingkarinya melestarikan bid’ah.
Bagi seseorang yang menisbatkan dirinya kepada jalan Salaf, maka dalam dasar dari penisbatannya – yang mana hal itu tidak mungkin salah – maka ia benar dalam hal itu, dan apa yang menjadi kebalikannya, tidak lain adalah kesalahan dan kesesatan. Yang dimaksud disini adalah dari sudut pandang aqidah dan manhaj agama secara umum. Hal ini karena aqidah dan manhaj dan ushul para Salaf dari semua generasi adalah sama dan mereka bersatu di atasnya.
Karenanya, seorang Salafi dan benar dalam penisbatannya kepada Salaf yang berjalan di atas pengetahuan dan amalan, mengikuti jalan mereka, maka dia benar dalam hal tersebut, insya Allah. Dan orang ini akan mengetahui jalan para Salaf dalam pengertian umum dan ia mengetahui bahwa itu benar, meskipun dia mungkin lalai dalam beberapa hal tertentu, namun ia tetap benar dalam menetapi jalan mereka – dan arahnya dalam mengikuti mereka – adalah kebenaran dan apapun yang bertentangan dengannya, adalah kedustaan. Atau dia mungkin tahu jalan para Salaf dalam pengertian umum dan khusus, dalam hal aqidah, manhaj, ushul dan furu’ dan ia akan benar di dalam sebagian besar dari apa yang dia pegang dan bertindak atasnya, dan keseluruhan ini bergantung pada keikhlasannya dalam belajar dan semangatnya dalam belajar dan menuntut ilmu dan beramal berdasarkan ilmu tersebut.
Sebagai seorang individu, menjadi benar dalam setiap hal sampai dengan cabang-cabangnya, dan membuat pengakuan seperti itu, maka dia salah. Karena tidak mungkin seseorang benar dalam segala hal dalam masalah agama, pertama-tama karena tidak mungkin baginya memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai semua hal tersebut, dan kedua, manakala para imam terdahulu tidak mencapai hal tersebut, maka sukar kemungkinannya para pengikutnya kemudian akan dapat mencapainya. Oleh karena itu, dalam hal-hal cabang, akan sangat mungkin bagi Salafy melakukan kesalahan, namun hal ini tidak menafikan kebenarannya dalam aqidah dan manhaj, dan secara umum berada di atas sesuatu yang mengeluarkan dia dari tujuh puluh dua golongan bid’ah dan sesat.
Meskipun demikian, seringkali kasusnya adalah seseorang yang menisbatkan diri kepada jalan Salaf dan menampakkannya keluar padahal sebenarnya dia berada di atas metodoligi yang sesat, namun dia menyatakan sikap ortodoksnya dan membela aqidah dan manhaj yang benar. Meskipun ia benar dalam aqidah, ia mungkin saja berada di atas manhaj yang tercemar. Dalam hal ini, seseorang seperti dia tidaklah benar dalam penisbatannya, karena dia memiliki manhaj selain manhaj para salaf, dan ini ditentukan dengan memperhatikan: Apakah dia membela ahlul bid’ah dan menisbatkan diri terhadap pandangan mereka? Apakah dia mengambil mereka sebagai petunjuk dan pemimpin, membela dan mengagungkan tokoh-tokohnya? Apakah dia berbicara dengan istilah dan kata-kata ahli bid’ah, dan ungkapan-ungkapan lain yang telah menjadi slogan para ahlul bid’ah?(*) Karena itu mari kita amati dan perhatikan, afiliasi apa lagi yang dia punyai, dengan siapa dia bercampur, dengan siapa dia berbicara, buku-buku apa yang dirujuknya, dan dalam hal ini kita akan tahu orientasi manhajnya yang sesungguhnya, dan dari sini kita bisa mengetahui apakah dia seorang yang memaksakan diri, mengakui bermanhaj Salaf namun berada di atas selainnya.
6. Salafi Sombong dan Berakhlak Buruk
Dan ini merupakan hal yang sangat rumit dan perlu pemikiran dan pertimbangan hati-hati. Dalam hal berkelakuan buruk, maka ini seringkali disebabkan oleh asuhan dan sifat seseorang, karakter dan kepribadiannya, dan itu bukanlah menunjukkan dasar-dasar aqidah dan manhaj yang tidak lain melainkan kebenaran. Sehingga, seseorang mungkin perlu untuk memperbaiki akhlaknya dan berbicara dengan kebijaksanaan (inilah sunnah) dan bantahan yang baik, sehingga dakwahnya lebih mudah diterima. Namun ini bukanlah dalih untuk menolak keabsahan dan kebeneraan jalan Salaf dan penisbatan seseorang kepadanya, karena hanya itulah jalan kebebasan. Karenanya kita membuat perbedaan antara apa yang kadang-kadang ditampakkan oleh sebagian salafi berupa prilaku yang buruk, dan apa yang menjadi dasar pemahaman manhaj yang diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesalahan ada pada individu dan bukan pada peletakan dasar pemahamannya. Hal yang sama dapat dikatakan terhadap setiap Muslim, tanpa memperhatikan kesesatan metodlogi dan keyakinan kebid’ahan dimana seseorang menisbatkan diri kepadanya, diantara mereka ada yang berprilaku jahat dan mempunyai kebiasaan buruk. Tetapi manhaj atau aqidah dihukumi berdasarkan persetujuan dan penentangannnya terhadap apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya, secara mendasar, bukanlah perbuatan orang per orang. Silahkan merujuk penjelasan lebih lanjut.
Dalam hal kesombongan, maka ini kadang-kadang muncul dari perorangan, dalam hal mana dia tercela. Namun dalam kasus lain dia dianggap sombong, meskipun orang tersebut tidak memiliki kesombongan melainkan hanya mencintai kebenaran, yakin dengan kebenaran – namun ia dipahami memiliki kesombongan oleh kawan atau lawan atau orang yang dia dakwahi. Dan seringkali yang terjadi adalah kesombongan itu terjadi untuk kepentingan orang yang tidak menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang yang menisbatkan dirinya kepada aqidah dan manhaj Salaf ( dan bukan pengakuan dusta dari seseorang yang menyimpang!!). Ingatlah akan hal ini, karena inilah yang seringkali terjadi. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kesombongan adalah penolakan terhadap kebenaran dan memandang rendah manusia.” Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa Salafi adalah sombong, maka perlindungan adalah dari Allah, pada kenyataannya merekalah yang sombong, yang karena kesombongannya mereka tidak menerima dakwah kebenaran, dan kemudian menuduh Salafi dengan kesombongan. Maka Ingatlah akan hal ini, karena setiap mata uang mempunyai dua sisi.
Pertimbangkan, seorang Salafi mungkin mendakwahi seseorang kepada kebenaran, dalam persoalan yang dia tahu bahwa dia benar. Dia keras dan memaksa bahwa dia benar dan karenanya ia dituduh sombong, meskipun satu-satunya alasan dia menunjukkan prilaku tersebut adalah kecintaannya kepada kebenaran dan berpegang kepada kebenaran. Meskipun kita dapat mengatakan bahwa tindakannya tidak benar dan keliru dan semangat besarnya telah mendorong dia untuk bertindak yang tidak semestinya, dapat disebabkan kurangnya pengetahuannya atau karena kelakuan buruk. Karenanya tergantung pada dirinya untuk memperbaiki semua hal tersebut. Jika tidak, maka orang yang didakwahinya akan berakhir dengan tidak menerima kebenaran disebabkan oleh cara dia mendakwahkannya.
Sehingga kita katakan bahwa kesombongan terkadang diperlihatkan, dan ini berpulang kepada setiap individu, bukannya manhaj dan aqidah dimana dia menisbatkan dirinya. Sesungguhnya banyak dari aliran Sufi juga sombong dalam mengakui pelepasannya dari neraka dan meminta para pengikutnya untuk berhikmad engan taat –berpikir bahwa mereka berada di atas orang-orang lainnya. Dan kita dapat mengatakan hal yang sama terhadap golongan lain dari ahlul bid’ah. Kesombongan ditemukan di mana saja, hal itu tidak berhubungan dengan apakah aqidah dan manhajnya benar atau tidak. Namun, manhaj dan aqidah itu sendirilah yang menjadi penentu, terhadap setiap hal apa yang para Salaf berada di atasnya.
Kami kembali membawa anda kepada sisa diskusi antara Imam al-Albani dengan seorang penanya sehubungan dengan “Salafiyyah”.
Penanya: [Melanjutkan dari pembicaraan terdahulu] “Baiklah, Saya akan mengikuti dan mengatakan kepada anda: Ya (saya setuju dengan menyimpulkan dengan penyebutan “Salafi), namun, keyakinan saya adalah apa yang telah disebutkan terdahulu, karena hal yang pertama kali yang terpikirkan oleh seseorang ketika dia mendengar bahwa anda adalah seorang Salafi yaitu dia mengingat banyak dari pengalaman yang dia miliki yang melibatkan kekerasan, segala hal yang seringkali ditampakkan oleh Salafi.
Syaikh Albani: “Anggaplah apa yang anda katakan benar. Jika anda berkata ‘Saya Muslim’, apakah seseorang tidak akan berpikir mengenai Syi’ah Rafidhah, Druze dan Ismailii? (dan mengangguk ke arah penanya).
Penanaya: “Mungkin saja. Namun demikian saya lebih memilih mengikuti ayat yang mulia “Dia telah menamakanmu Muslim”.
Syaikh al-Albani: “Tidak akhi! Anda tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat itu berarti bentuk Islam yang benar. Adalah penting untuk menyapa seseorang berdasarkan tingkat pemahamannya… sehingga orang-orang akan mengerti dari anda (ketika anda mengatakan Saya Muslim) bahwa anda sungguh-sungguh seorang Muslim sebagaimana arti yang dikehendaki di dalam ayat tersebut (dalam hal ini Islam yang benar). Menyangkut beberapa nasihat yang anda sampaikan, ini bisa benar bisa tidak. Bila anda menyebutkan soal kekerasan, maka hal ini terkadang muncul dari individu, namun hal tersebut bukanlah merupakan perwakilan dari metodologi yang terikat pada pengetahuan dan keyakinan. Untuk saat ini tinggalkan individu, kita sebenarnya sedang membahas mengenai manhaj (metodologi). Hal ini disebabkan jika kita berkata Syi’ah, atau Druze, atau Khawarij, atau Sufi, atau Mu’tazilah, apa-apa yang anda sebutkan sebelumnya juga berlaku untuk mereka. Karenanya, hal itu bukan merupakan topik diskusi kita. Kita meneliti nama yang memberikan bukti kepada madhzab seseorang dan dengannya ia memuji Allah… Bukankah seluruh sahabat adalah Muslim?
Penanya: “Tentu saja.”
Syaikh al-Albani: “Namun demikian, ada di antara mereka yang mencuri, berzina, tetapi tidak menjadikan alasan bagi satu pun di antara mereka berkata: “Saya bukan Muslim”, namun mereka adalah Muslim dan beriman kepada Allah, sebagai pilihan hidup, meskipun terkadang ia menyimpang jalannya, karena dia tidaklah ma’sum. Dan untuk alasan itulah kita –semoga Allah merahmatimu – membicarakan mengenai sebuah kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita, dan awal pijakan dalam kehidupan kita mengenai hal-hal yang berhubungan dengan agama kita yang dengannya kita mengangungkan Allah. Dan mengenai isu bahwa si fulan dan fulan yang keras dan si fulan dan fulan yang lemah dan terlalu lembut maka hal itu keseluruhannya adalah isu yang berbeda… Saya berharap bahwa anda memikirkan kata ringkas ini (yakni Salafi) sehingga anda tidak bertahan dengan kata ‘Muslim’. Dan anda tahu bahwa selamanya tidak ada orang yang akan memahami apa yang anda maksudkan (hanya dengan menggunakan kata ‘Muslim’). Akhir kutipan (Saya Salafi).
Dan insya Allah ini menjelaskan maksud kita dan pentingnya pembedaan yang telah disinggung di awal dalam menjawab keraguan ini.
7. Salafi kurang Alim sedangkan Selainnya Lebih Alim dan Tidak Berambisi terhadap Kesenangan duniawi
Dan ini pun merupakan keraguan yang sudah terbilang lama dan telah dijawab oleh para ulama Salaf terdahulu. Dan kami hanya akan meninggalkan anda bersama perkataan mereka.
Ibnu Abbas (wafat tahun 68 H) berkata: “Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bid’ah.” (HR Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 4/316).
Ibnu Umar (wafat tahun 84 H) berkata: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang menganggapnya baik.” (Diriwayatkan oleh Abu Shaamah no. 39)
Sufyan Ats-Tsauri (wafat tahun 161 H) berkata: “Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada perbuatan dosa, karena dosa lebih mungkin dimintakan ampun daripadanya sedangkan bid’ah tidak dimintakan ampun daripadanya.” (Diriwayatkan oleh Al-Lalikai no. 238).
Imam Asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) berkata: “Bahwa seseorang yang bertemu Allah dengan semua dosa selain syirik lebih baik daripada bertemu dengan-Nya dengan salah satu kepercayaan bid’ah.” (Diliwatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqad hal. 158).
Al-Laits bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) berkata: “Jika saya melihat seorang yang dihormati berjalan di atas air saya tidak akan menerima apapun darinya.” Sehingga Imam Asy-Syafi’i kemudian berkata: “Dia (Al-Laits) tidak mencukupi. JIka saya melihatnya berjalan di udara saya tidak akan mengambil apapun darinya.” (Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam ‘al-Amr bil ‘Ittiba wan-Nahii anil Ibtida’).
Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya. “Saya melarangmu dari zina, mencuri dan minum khamar. Namun demikian, bertemu Allah dengan salah satu dari dosa-dosa ini lebih baik bagiku daripada kamu bertemu Allah dengan pamahaman Amr bin Ubaid dan pengikutnya (yakni Mu’tazilah).” (Al-Ibaanah 2/466).
Said bin Jubair berkata, “Bahwa anakku seorang Sunni yang mengumpulkan dosa dan maksiat lebih kucintai daripada ia mengumpulkan kesetiaan dan pengagungan ahlul bid’ah” (Al-Ibanah no, 89).
Imam Al-Barbahari berkata. “Namun, jika engaku melihat seseorang yang perbuatan dan pemikirannya tercela, dia lemah,sering berbuat maksiat dan fasiq, namun dia seorang yang mengikuti Sunnah, pergaulilah dia dan duduklah dengannya, karena dosanya tidak akan membahayakanmu. Bilamana engkau melihat seseorang yang berusaha sungguh-sungguh dan panjang dalam beribadah, tidak memiliki ambisi terhadap kesenangan dunia, merutinkan ibadah, sedangkan dia adalah seorang ahlul bid’ah, jangan duduk dengannya, jangan mendengarkan perkataannya dan jangan berjalan bersamanya, karena saya tidak merasa aman bahwa pada akhirnya kamu akan senang dengan caranya dan menuju kehancuran bersamanya.” (Syarhus-Sunnah no. 149).
Imam Ahmad berkata: “Kuburan Ahlus Sunnah diantara mereka yang melakukan dosa besar seperti kebun. Dan kuburan ahlul Bid’ah di antara mereka yang paling taat hampa dan kosong. Pendosa dari Ahlus Sunnah adalah Aulia, dan yang paling taat dari Ahlul Bid’ah adalah musuh Allah.” (Tabaqat ul-Hanabilah 1/184).
Pertimbangkan dengan baik, wahai Sunni, apa yang para imam terkemuka telah tinggalkan untuk kita sebagai warisan dan peringatan. Manakala yang menjadi masalah adalah kebid’ahan dalam aqidah dan manhaj yang menjadi sebab perpecahan dan perbedaan, yang menuju pada munculnya golongan-golongan, dan golongan-golongan ini telah diancam neraka, dan jika yang menjadi persoalan juga adalah setan membuat bid’ah terlihat indah dan membuatnya menarik untuk dijadikan petunjuk dan cahaya, maka para pelaku bid’ah dan prinsip yang telah tercemari adalah lebih berbahaya dari pendosa dan penjahat dari Ahlus-Sunnah. Karena engkau mengetahui kejahatanmu kemudian dan bertobat darinya dan merubah jalanmu, namun jika kamu mengambil teman orang-orang yang telah jelas kebid’ahannya(**), dan engkau berpikir bahwa mereka berada diatas petunjuk dan engkau berpikir bahwa prinsip yang telah tercemar dan metodologi bid’ah mereka adalah perwujudan kebenaran, dan engkau berpikir bahwa prinsip-pinsip dan metodologi ini adalah pembebas umat, dan engkau berafiliasi dengannya dan menunjukkan kesetiaan dan kepemilikan dengannya demi mereka, maka anda akan jatuh ke dalam neraka, manakala engkau berpikir bahwa engkau adalah seorang salafi yang mendapat petunjuk yang benar (!!), padahal anda bukanlah apa-apa melainkan seorang hizbi (pengikut aliran) diantara golongan-golongan, di atas yang lain selain manhaj nubuwwah.
___________
(*) Paragraf ini diringkas dari teks aslinya, dimana tidak disebutkan tokoh-tokoh yang disebutkan berikut slogan-slogan yang dimaksud. Bagi anda yang ingin mengetahuinya silahkan merujuk langsung ke sumber artikel ini di www.salafipublications.com, article ID SLF010007
(**) Idem.
No comments:
Post a Comment