Wednesday, January 02, 2008

Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan yang bersungguh-sungguh mengikuti jejak mereka hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Banyak orang di zaman sekarang ini menuduh beberapa ulama besar Islam telah menghina Tuhan dan kufur. Salah satunya yang seringkali mendapatkan hujatan adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dalam kenyataan yang sebenarnya, ia telah difitnah dan kebohongan dinisbatkan kepadanya. Orang-orang berkata tentangnya yang tidak pernah dikatakannya, bahkan dalam kenyataan yang sebenarnya beliau bertentangan dengannya! Orang-orang yang melakukan hal tersebut sepatutnya takut kepada Allah dan menyadari bahwa mereka seharusnya adil dan menilai seseorang dengan keadilan dan dengan pengetahuan, bukannya menilainya dengan kejahilan dan penyimpangan! Mahasuci Allah, Ibnu Taimiyah selalu berusaha keras mengangkat sunnah, dan membela agama dari orang-orang yang dengan kejahilannya merubahnya (agama –pent.) Dan dialah yang memimpin manusia melawan penguasa tiran tartar, dan adalah dia yang merasakan penderitaan gelapnya penjara di Mesir agar Islam terangkat, dia lah yang senantiasa berdoa kepada Allah untuk menunjuki mereka yang tersesat. Karenanya, biarlah menjadi peringatan bagi mereka yang telah mencermarkan namanya –sungguh sebuah peringatan keras- agar mereka tidak memfitnahnya, karena darah ulama adalah beracun.


Banyak orang menuduh Ibnu Taimiyah menyerupakan Allah dengan mahluk…ini adalah kebohongan yang besar dan fitnah…dan mereka seharusnya takut kepada Allah dan menjaga lidah jahatnya dari perkataan sebelum terlambat. Insya Allah, dibawah ini beberapa kutipan dari tulisan Syaikh yang mulia yang menjernihkan posisinya tanpa keraguan mengenai permasalahan tersebut. Dan mereka, yang setelah membaca tulisan ini masih mengucapkan fitnah dan kebohongan kepada Syaikh, maka seluruh apa yang dapat dikatakan tentang mereka adalah bahwa mereka memiliki penyakit di dalam hatinya, dan kami berdoa kepada Allah agar menyembuhkan mereka dari penyakit itu.

Dalam Al-Aqidah Al-Wasitiyah Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“dari keimanan yang diterima adalah apa Allah sifatkan atas diri-Nya di dalam kitab sebagaimana juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan sifat-Nya. (Akidah) ini mencegah berbagai usaha untuk mengubah arti nash yang suci (tahrif), dan meniadakan sifat-sifat ilahiyah Allah (ta’til), atau bertanya (pertanyaan) mengenai kaifiatnya (takyif, misalnya dengan menggabarkan ‘bagaimananya’, atau berusaha memahaminya dengan analogi (tamtsil), sungguh mereka (ahlus-sunnah) berpendapat bahwa:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, (dan) Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Asy-Syura : 11)

Mereka tidak mengingkari apa yang Allah sifatkan atas diri-Nya, dan tidak juga mereka menyimpangkan arti perkataan-Nya dalam perkara ini, dan juga tidak menisbatkan pada pendapat bid’ah berkaitan dengan penetapan nama (asmaa) dan manifestasi (ayat). Mereka TIDAK (!!!) mencari penjelasan mengenai sifat-Nya atau MEMBANDINGKANNYA dengan mahluk CIPTAANNYA, karena Allah tidak memiliki yang serupa, tidak pula yang setara, tidak pula sekutu, dan karenaya Dia Yang Maha Suci dari segala kekurangan dan Maha Tinggi, TIDAK dapat dibandingkan dengan mahluk-Nya.”

Ibnu Taimiyah berkata dalam at-Tadmuriyyah (hal. 20):
“Adalah keharusan untuk menetapkan apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, dan MENGINGKARI ADANYA kesamaan dengan ciptaan-Nya… barangsiapa berkata pengetahuan-Nya seperti pengetahuanku, kekuatan-Nya seperti kekuatanku, atau cinta-Nya seperti cintaku, atau kesenangan-Nya seperti kesenanganku, atau tangan-Nya seperti tangaku, atau istiwaa’ (bersematam) seperti bersemayamku- maka dia telah menyerupakan dan menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya. Bahkan adalah sebuah keharusan untuk menetapkan (sifat Allah) tanpa penyerupaan dengan apapun, dan mengingkari (apa yang Allah ingkari untuk diri-Nya), tanpa ta’til (melepaskan Allah dari sifat yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya).”

Ibnu Taimiyah menulis dalam Majmu’ Fatawa (5/262):
“Siapapun yang menganggap Sifat Allah serupa dengan sifat ciptaan-Nya, seperti istiwa-(bersemayam)nya Allah sama dengan bersemayamnya mahluk, atau nuzul-(turun)nya Allah sama dengan turunnya mahluk, atau selain itu, maka dia adalah AHLI BID’AH YANG MENYIMPANG.”

Karenanya silahkan membaca dan memperhatikan perkataan ulama yang mulia ini!!!

Ini merupakan bukti yang cukup bagi mereka yang adil dan ikhlas mencari kebenaran… dan Allah mengetahui yang terbaik

Taqiuddin Abu Abbas Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdus-Salam Ibnu Taimiyah al-Harrani al-Hambali, lahir pada hari Senin 10 Rabi’ul Awal 661 H/22 Januari 1263 di Harran (sebelah utara Iraq) dalam keluarga yang terkenal dengan ‘mutakallimun’. Kakeknya Abu al-Barkat Majduddin Ibnu Taimiyah (wafat 653 H/1255 M) adalah seorang guru yang terkenal dari madhzab Hambali dan karnyanya Muntaqa al-Akhbar-nya (sabda nabi pilihan) yang mengklasifikasikan hadits-hadits yang diatasnya dibangun syariat Islam, yang bahkan hingga kini dianggap sebagai karya yang sangat bernilai. Demikian juga prestasi ayah Ibnu Taimiyah, Sihabuddin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah (wafat 682 H/1284 M) telah menyebar luas.

Inilah saat Tartar dibawah Hulagu Khan menimbulkan serangan gencar barbar mereka dalam dunia Islam –khususnya wilayah mesopotamia. Ibnu Taimiyah baru barumur 7 tahun ketika Tartar mulai menyerang Harran. Akibatnya penduduk meninggalkan Harran untuk mencari perlindungan di tempat lain. Keluarga Ibnu Taimiyah mengungsi ke Damaskus pada tahun 667 H/1268 M, yang saat itu diperintah oleh Mamluk dari Mesir. Disinilah ayahnya mengadakan kajian dari mimbar masjid Umayyad, dan diundang untuk mengajarkan hadits di masjid sebagaimana juga di Daarul Hadits Assakuriyyah di Damaskus. Majelis ini dihadiri oleh banyak pelajar dan juga ulama. Damaskus merupakan pusat studi Islam pada saat itu, dan Ahmad Ibnu Taimiyah mengikuti jejak ayahnya yang menjadi ulama studi Islam dengan belajar pada ulama besar di zamannya, diantaranya ulama wanita bernama Zainab binti Makki yang mengajarinya hadits.

Pendidikan

Sejak masa kecilnya, Ibnu Taimiyah merupakan murid yang rajin. Ia memperkenalkan kepada dirinya secara penuh dengan seluruh ilmu sekuler dan agama di masanya. Ia mengkhususkan dirinya dengan literatur Arab dan memperoleh penguasaan dalam bidang tata bahasa dan lexicografi. Tidak saja ia menjadi seorang ahli dalam penguasaan tata bahasa Shibaways’h al-kitab yang dipandang sebagai yang terbaik dalam tata bahasa dan sintax, bahkan ia juga menunjukkan kesalahan yang terdapat di dalamnya. Dia menguasai semua prosa dan syair yang ada. Lebih lanjut ia mempelajari sejarah Arab periode sebelum dan sesudah Islam. Dan akhirnya beliau juga belajar matematika dan kaligrafi.

Dalam bidang agama, Ibnu Taimiyah berlajar Al-Qur’an, Hadits dan Syari’ah. Dia belajar fiqh Hambali dari ayahnya dan kemudian menjadi terkemuka dalam madzhab Hambali. Ia diriwayatkan belajar hadits di Syria misalnya pada Ibnu Abduddayam. Guru beliau lainnya adalah Samsuddin Abdurrahman al-Maqdisi (wafat 682 H/1283 M). Kemudian Ibnu Taimiyah memperoleh dasar-dasar menyeluruh dari Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.

Ibnu Taimiyah mempunyai kecintaan yang besar akan tafsir. Beliau membaca ratusan komentar (tafsir?) mengenai Al-Qur’an.

Ia menamatkan pelajarannya ketika masih remaja dan pada usia 19 tahun beliau menjadi ahli dalam studi Islam. Benar-benar mengetahui dengan baik studi Qur’an, Hadits, fiqh, ilmu kalam, tata bahasa Arab dan hal-hal yang berhubungan dengan agama, dan lain-lain, ia mulai memberi fatwa dalam masalah-masalah hukum agama tanpa mengikuti madhzab tertentu, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Ia membela prediksi tradisional yang masuk akal dengan argumen, yang meskipun diambil dari Qur’an dan Sunnah, namun sampai pada saat itu tidak dikenal dikalangan manusia. Kebebasannya dalam berpolemik menyebabkannya banyak dimusuhi diantara para ulama dari mdzahab yang ortodoks, yang kemudian secara dusta menuduhnya dengan kepercayaan bid’ah. Salah satu diantaranya seorang musafir yang terkenal di abad pertengahan, Ibnu Batutah yang berkunjung ke Damaskus ketika Ibnu Taimiyah berada di dalam penjara. Hal ini tidak menghalangi Ibnu Batutah bersaksi di dalam bukunya bahwa, “Ia menyaksikan Ibnu Taimiyah berkata di atas mimbar: ‘setiap malam Allah turun ke langit terendah sebagaimana turunnya aku’, dan dia turun satu langkah dari mimbar.” Dari membaca ‘Aqidah’ kita mengetahui bahwa Ibnu Taimiyah menerima sifat-sifat Allah tanpa mempertanyakan-(kaifiat)-nya.

Ketika ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1283 M, pada usia 22 tahun Ibnu Taimiyah menggantikan ayahnya di Assakuriyah. Ia mulai mengajarkan ‘Tafsir’ di masjid Umayyad dan tahun 695 H/1296 M ia mulai mengajar di Hambaliyah di Damaskus. Segera setelahnya ia menjadi terkemuka di kalangan para ulama Syria.

Ancaman Mongol

Pada saat yang sama, Iraq, Iran dan Khurasan terus tertekan oleh penindasan Tartar. Mamluk yang memerintah Mesir, Syria dan Hijaz (jazirah Arab) beberapa kali mencoba menguasai Iraq namun selalu gagal. Ketika diketahui bahwa Tartar berencana menaklukkan Damaskus, Sultan Mamluk, Al-Malik An-Nasir Muhammad bin Qalawun meninggalkan Mesir dengan kekuatan tentara untuk menghadapi Tartar.

Kedua pasukan bertemu dalam pertempuran berdarah tahun 699 H/1299 M namun Sultan dikalahkan dan dia kembali ke Mesir. Saat itu Damaskus terbuka bagi pasukan Tartar yang dipimpin oleh Ghazan, yang juga dikenal dengan Mahmud, cucu dari Jengis Khan. Sebagai konsekensinya, semua orang ternama termasuk para ulama, hakim, pegawai dan pedagang meninggalkan Damaskus dimana kekacauan dan anarki mengguncang akibat invasi tartar.

Pada saat kritis ini, Ibnu Taimiyah bersama dengan orang-orang terkemuka yang tersisa di Damaskus pada tahun 702 H/1303 M memutuskan memimpin delegasi untuk bertemu Ghazan dan mencari kedamaian di kota tersebut. Selanjutnya, delegasi yang dipimpin oleh Ibnu Taimiyah bertemu Ghazan di Nabak (dekat Damaskus), dan dia (Ghazan) setuju untuk memberikan pengampunan terhadap penduduk Damaskus.

Berita bahwa Tartar telah menuju Syria kembali sampai ke Damaskus pada tahun 702 H/ 1303 M. Keterlambatan Sultan Qalawun dari Mesir menyebabkan kepanikan ditengah-tengah masyarakat, yang banyak diantaranya mulai meninggalkan rumahnya untuk mencari tempat yang aman. Ketika Ibnu Taimiyah melihat hal ini, ia mulai memberikan dorongan kepada penduduk untuk mempertahankan diri dan kotanya, lalu menahan eksodus. Beliau juga secara pribadi meminta Sultan untuk mempercepat kedatangannya ke Damaskus.

Akhirnya pasukan Muslim dari Mesir dan Syria bertemu pasukan Tartar di Shaqab pada bulan Ramadhan 702 H/1303 M, dan setelah perang berdarah pasukan Muslim mengalahkan dan mencerai-beraikan pasukan Tartar.

Jihad menghadapi Aliran Sesat

Perjuangan Ibnu Taimiyah tidak terbatas pada melawan kaum Sufi dan orang-orang yang mengikuti kebid’ahannya; beliau juga berperang melawan Tartar yang menyerang negeri Msulim dan hampir mencapai Damaskus. Penduduk Syria mengirimnya ke Mesir untuk mendorong Sultan Mamluk, Sultan Mesir dan Syria, untuk memimpin pasukannya ke Syria untuk menyelamatkannya dari invasi Tartar. Ketika dia menyadari bahwa Sultan ragu-ragu untuk mengabulkan permintaannya, ia menakut-nakuti Sultan dengan mengatakan, “Jika engkau membelakangi kami, kami akan menunjuk Sultan lain untuk memerintah Syria yang akan mempertahankannya dan menikmati saat-saat kedamaian di Syria.” Ia ikut serta dalam peperangan Shaqab dekat Damaskus menghadapi Tartar yang terjadi pada bulan Ramadhan dan mengeluarkan fatwa kepada para tentara untuk membatalkan puasa mereka agar membantu mereka dalam menghadapi musuh, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada peperangan Fathul Makkah. Kaum Muslimin memenangkan peperangakan atas Tartar dan menyingkirkan mereka dari Damaskus dan seluruh Syria. Keberanian Ibnu Taimiyah terlihat ketika ia memimpin delegasi ulama untuk berbicara dengan Ghazan, pemimpin Tartar untuk menghentikan serangannya kepada kaum Muslim. Tidak seorang pun ulama berani mengatakan sesuatu kepadanya (Ghazan – pent.) kecuali Ibnu Taimiyah yang berkata, “Engaku mengakui bahwa engkau adalah seorang Muslim, bersamamu ada mu’adzin, hakim dan syaikh, tetapi engkau menyerang kami dan menguasai kota kami, untuk apa? Sedangkan ayahmu dan kakekmu, Hulaghu, adalah non muslim, mereka tidak menyerang negeri Islam, bahkan, mereka berjanji tidak menyerang dan mereka menepati janjinya. Sedangkan engkau berjanji dan menyalahi janjimu.”

Ketika ancaman Tartar berkurang, Ibnu Taimiyah kembali menyibukkan dirinya dengan misinya dalam menuntut ilmu dan mengajar. Pada saat yang sama, beliau melanjutkan jihad-(perjuangan)-nya terhadap aliran-aliran sesat seperti batiniyah, Ismaa elites, hakimiyah, dan Nusayriyah yang tinggal di daerah pegunungan Syria, yang telah mengundang pasukan perang salib dan Tartar untuk menyerang negeri kaum Muslimin, menolong para penyerang menghadapi kaum Muslim, memukul dan merampas harta kaum yang lemah dan tidak berdaya. Ibnu Taimiyah secara pribadi memimpin ekspedisi memerangi kelompok-kelompok ini.


....bersambung.....

Sumber: Fatwa Online

No comments:

Post a Comment