Sunday, December 23, 2007

Jawaban Atas Kesalahpamahan Terhadap Penamaan “Salafiyyah”



Diterjemahkan dari www.salafipublications.com


Ada banyak keraguan seringkali tersebar dengan penamaan Salafiyyah dan kata “Salafi”, sebagian datang dari orang-orang yang tulus, berdasarkan apa yang mereka alami dan di saat lain datang dari orang-orang jahat, yang ingin menimpakan hukuman terhadap dakwah kebenaran, melihatnya jatuh, dan menggantinya dengan seruan dan halusinasi kebid’ahan dari pikiran mereka.



1. Pemberian label “Salafiyyah” adalah Bid’ah


Kata “Salafiyyah” tidak diterapkan di zaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya radiallahu anhuma jami’an, hal ini disebabkan karena Muslim pada saat itu berada diatas ajaran Islam yang benar dan tidak ada kebutuhan untuk kata seperti “Salafiyyah” pada saat itu. Namun demikian, manakala banyak godaan datang dan golongan-golongan berkembang dan umat berpecah belah, para pemimpin umat (ulama) berdiri untuk memisahkan mereka yang berada pada kebenaran dan umat yang berada pada kesesatan, dan selanjutnya mereka menamakannya “Ahlul Hadits” dan “As-Salaf”.

Abu Hanifah (wafat 150H) (rahimahullah) berkata, “Ikuti atsar (riwayat) dan tarikat (jalan) para salaf (para pendahulu yang shaleh) dan berhati-hatilah terhadap hal-hal yang diada-adakan karena keseluruhannya adalah bid’ah. (Diriwayatkan oleh As-Suyuti dalam Sawn Al-Mantiq wal Qalam hal. 32).

Berdasarkan hal tersebut, “As-Salafiyyah” memisahkan dari semua golongan dalam Islam berkaitan dengan penisbatan mereka terhadap apa yang menjamin bagi mereka sebagai Islam yang benar dan sejati, yang merupakan ketaatan terhadap apa yang Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya, yang terdapat dalam haditsh yang shahih.

Selain daripada itu, kata “Salaf” telah digunakan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata kepada Fatimah “Sebaik-baik salaf adalah aku bagimu.” (HR Muslim no. 2450).

Imam Muslim mengemukakan dalam mukadimah kitab shahih-nya (hal. 16) perkataan Abdullah Ibnu Al-Mubarak – yang akan dia katakan di hadapan orang banyak, “Abaikan hadits dari Amr bin Thaabit, karena ia melecehkan Salaf.”

Syaikh Salih Al-Fauzan berkata: “Bagaimana bisa menjadikan salaf sebagai madzhab merupakan bid’ah, sebuah bid’ah yang sesat? Dan bagaimana mungkin itu adalah bid’ah manakala itu hanyalah mengikuti mazhab salafush shaleh, dan mengikuti madzhab mereka adalah wajib menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan merupakan petunjuk yang benar?” (Al-Bayan, hal. 156).

Karena itu, menisbatkan diri kepada Salaf, yakni Salafiyyah bukanlah merupakan bid’ah, melainkan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk mengikuti manhaj dan aqidah Salaf. Dapat dikatakan: “Jika penamaan Salafiyyah merupakan bid’ah, maka demikian juga terhadap penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Dan tujuan dibalik penggunaan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah bukannya tersembunyi atau tidak dikenal. Sayangnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak lagi cukup untuk membedakan orang-orang yang sesat dan orang-orang yang benar. Bahkan kata “Salafi” tidak membedakan antara Salafi yang benar, mereka yang benar-benar Salafi dalam akidah dan manhajnya dengan hizbiyun yang memakai pakaian Salafiyyah, dan mengkalim dirinya sebagai Salafi. Akidahnya mungkin Salafi, tetapi cara berpikirnya dicermari oleh Qutubi ataupun prinsip-prinsip, ide, cara berpikir dan bertingkah laku hizbi. Dia akan menunjukkan permusuhan kepada Salafi, mengolok-olok para Masyaikh, namun tetap mengklaim di atas jalan salaf. Padahal sudut pandang yang mereka ambil dan posisi yang mereka pegang, kesetiaan dan penolakan mereka menunjukkan hal sebaliknya. Hal ini menyebabkan Salafi yang benar menekankan betapa pentingnya belajar dan menimba ilmu agar yang benar terlihat jelas bagi mereka dan orang-orang bodoh yang berpura-pura tidak dapat membodohi mereka.

2) Allah telah menamakan kita Muslim, lalu mengapa menisbatkan diri kepada Salaf?

Keraguan ini telah dijawab dengan sangat indah oleh Imam Al-Albani dalam diskusinya dengan seseorang pada topik ini, direkam dalam kaset dengan judul “Saya Salafi” (Ana Salafi), dan berikut adalah pemaparan bagian penting dari diskusi tersebut.

Syaikh Al-Albani: “Jika ditanyakan kepadamu, “Apa madzhabmu?”, apa jawaban anda?”

Penanya: “Saya seorang Muslim”

Syaikh Al-Albani: “Itu tidak cukup.”

Penanya: “Allah telah menamakan kita Muslim, “dan dia membacakan ayat Allah Subhanahu Wata’ala. “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. “ (QS Al-Hajj [22] : 78)

Syaikh Al-Albani: “Ini akan merupakan jawaban yang benar jika kita berada pada masa paling awal (Islam) sebelum golongan-golongan bermunculan dan tersebar. Akan tetapi jika kita bertanya, saat ini, kepada setiap Muslim dari golongan-golongan ini yang mana kita berbeda dengannya dalam hal akidah, jawabannya tidak akan berbeda dari kata ini (muslim- pent). Semuanya, Syiah Rafidhah, Khawarij, Nusayri Alwi – akan berkata, “Saya seorang Muslim.” Karenanya hal itu tidak lagi cukup untuk masa sekaang ini.”

Penanya: “Jika demikian saya akan menanjawab, Saya seorang Muslim yang mengikuti Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh Albani; “Ini pun tidak cukup.”

Penanya: “Mengapa?”

Syaikh Albani: “Apakah anda menemukan siapa saja diantara contoh yang telah kita sebutkan tadi berkata “Saya seorang Muslim yang tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?” Siapa diantara mereka yang berkata, “Saya tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?”

Pada point ini, Syaikh mulai menjelaskan secara rinci mengenai pentingnya berpegang terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman para salafush-shaleh.*)

______________
Oleh karena pada artikel asli tidak terdapat penjelasan Syaikh Albani, berikut ini sebagai gantinya kami sertakan nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999, yang dapat anda buka dari arsip milis assunnah di sini

MENGAPA HARUS SALAFI..?

Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut :

"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?"

Jawaban beliau adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu 'anha :

 
"Artinya : Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah Aku".

 
Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah :

 
"Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf".
"Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf".

 
Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq".

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

 
"Artinya : Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).

 
Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?

Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah 'Azza wa Jalla.

Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :

 
• Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
• Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.

 
Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup ..?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang ada.

Berkenan dengan sebab pertama.
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah :

 
"Artinya : Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian".(An-Nisaa : 59).

 
Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu :

 
"Artinya : Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat As-Shahihah No. 179).

 
"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa : 115).

 
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa'at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba' kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.

Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :

 
"Artinya : Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119).

 
Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

Adapun berkenan dengan sebab kedua.

 
Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.

Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai :

 
"Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini".

 
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :

 
"Artinya : Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku".

 
Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.

Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus As-Shalih".

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan :"Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?

Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba' terhadap keduanya.

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat "Saya Salafi".

Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.

Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba' kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar'i dan salah ..!?.

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta'in.

Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.

_______________________

(…melanjutkan dialog diatas…)

Penanya: “Jika demikian Saya adalah seorang Muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shaleh.”

Syaikh Albani: “Jika seseorang bertanya kepada anda, apa madzhabmu, apakah ini yang akan anda katakan kepadanya?”

Penanya: “Ya.”

Syaikh Albani: “Bagaimana pendapat anda jika kita menyingkat kalimat itu, karena kata-kata yang terbaik adalah kata-kata yang sedikit tetapi menggambarkan tujuan yang diinginkan, “Salafi”?” Akhir kutipan.

Karena itu pada intinya penamaan “Muslim” atau “Sunni” tidaklah mencukupi, karena semua orang akan mengakuinya. Dan Imam Al-Albani menekankan pentingnya kebenaran dipisahkan dari kebatilan – dari sudut pandang berdasarkan manhaj dan akidah yang diambil dari pemahaman Salafush-Shalih, sebagai penentangan terhadap berbagai aliran dan kelompok yang pemahamannya didasarkan pada guru-guru dan pemimpinnya dan bukannya pada Salaf, secara mendasar.


** Tulisan ini merupakan terjemahan bebas artikel no. 010007 dari SalafiPublication.Com yang hanya memuat 2 poin pertama dari 7 point yang terdapat pada artikel aslinya. Insya Allah pada kesempatan lain tulisan ini akan dilanjutkan kembali.

1 comment: