Pengawal khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan menghampiri Thawus dan berkata: “Ikutlah dengan kami, Amirul Mukminin mengundang anda, wahai Syaikh.”
Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguas yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguas yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesampainya di depan Amirul Mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.
Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin telah sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala wahai Thawus!”
Thawus menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah anda untuk siapa sumur itu disediakan wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapakah itu?”
Thawus berkata, “Untuk orang-orang yang dipilih Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelenwengkannya.”
Tiba-tiba tubuh khalifah Sulaiman gemetaran seolah-olah rohnya akan terbang dari jasadnya. Seelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian Thawus meninggalkan majelis itu dan pulang sedangkan khalifah mendoakan agar Thawus mendapt balasan yang lebih baik dari Allah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat kepada Thawus bin Kaisan yang isinya: “Berilah aku nasihat”. Thawus bin Kaisan membalas surat tersebut dengan sebaris kalimat singkat: “Bila anda menghendaki seluruh amal anda baik, maka angkatlah para pegawai orang-orang yang baik pula.”
Demi membaca surat tersebut, khalifah Umar bin Abdul Aziz erkata: “Cukuplah ini sebagai peringatan... cukuplah ini sebagai peringatan...”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik tiba di Tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Dia pun meminta pemuka Makkah untuk bertemu dengan salah seorang ulama Tabi’in. Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut ‘Amirul Mukminin’ dan hanya menyebut namanya saja tanpa atribut kehormaan. Kemudian beliaulangsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilahkannya.
Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah subhanahu wa ta’ala sehingga dia menahan dirinya, lalu berkata:
Hisyam: “Mengapa anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memangnya apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadaniku. Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilahkan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Tahu, maka hendaknya anda tidak marah atau gusar. Adapun masalah saya tidak memberi salam dengan menyebut gelar amirul mukminin, itu karena tidak semua kaum Mukminin membaiat anda. Oleh karena itu saya takut dikatakan pembohong bila memanggil anda dengan Amirul Mukminin. Anda tidak rela say menyebut nama Anda tanpa gelarkebesaran, padahal Allah subhanahu wa ta’ala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka: “Wahai Daud...Wahai Yahya...Wahai Musa.... Wahai Isa... Sebaliknya menyebut musuhnya dengan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa)”.
“Adapun saya duduk sebelum dipersilahkan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri”. Saya tidak suka anda menjadi penduduk neraka.”
Amirul Mukminin Hisyam mendengarkan penjelsan itu dengan serius.
Hisyam: “Wahai Abu Abdirrahman, beriah saya nasihat.”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalaengking sebesar kuda. Mereka menggigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil tehadap rakyatnya.”
Setelah itu ia bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.
Sumber: Shuwaru min Hayati at-Tabi’in (id), Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, At-Tibyan hal. 351-254
Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin telah sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala wahai Thawus!”
Thawus menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah anda untuk siapa sumur itu disediakan wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapakah itu?”
Thawus berkata, “Untuk orang-orang yang dipilih Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelenwengkannya.”
Tiba-tiba tubuh khalifah Sulaiman gemetaran seolah-olah rohnya akan terbang dari jasadnya. Seelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian Thawus meninggalkan majelis itu dan pulang sedangkan khalifah mendoakan agar Thawus mendapt balasan yang lebih baik dari Allah.
* * *
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat kepada Thawus bin Kaisan yang isinya: “Berilah aku nasihat”. Thawus bin Kaisan membalas surat tersebut dengan sebaris kalimat singkat: “Bila anda menghendaki seluruh amal anda baik, maka angkatlah para pegawai orang-orang yang baik pula.”
Demi membaca surat tersebut, khalifah Umar bin Abdul Aziz erkata: “Cukuplah ini sebagai peringatan... cukuplah ini sebagai peringatan...”
* * *
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik tiba di Tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Dia pun meminta pemuka Makkah untuk bertemu dengan salah seorang ulama Tabi’in. Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut ‘Amirul Mukminin’ dan hanya menyebut namanya saja tanpa atribut kehormaan. Kemudian beliaulangsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilahkannya.
Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah subhanahu wa ta’ala sehingga dia menahan dirinya, lalu berkata:
Hisyam: “Mengapa anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memangnya apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadaniku. Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilahkan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Tahu, maka hendaknya anda tidak marah atau gusar. Adapun masalah saya tidak memberi salam dengan menyebut gelar amirul mukminin, itu karena tidak semua kaum Mukminin membaiat anda. Oleh karena itu saya takut dikatakan pembohong bila memanggil anda dengan Amirul Mukminin. Anda tidak rela say menyebut nama Anda tanpa gelarkebesaran, padahal Allah subhanahu wa ta’ala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka: “Wahai Daud...Wahai Yahya...Wahai Musa.... Wahai Isa... Sebaliknya menyebut musuhnya dengan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa)”.
“Adapun saya duduk sebelum dipersilahkan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri”. Saya tidak suka anda menjadi penduduk neraka.”
Amirul Mukminin Hisyam mendengarkan penjelsan itu dengan serius.
Hisyam: “Wahai Abu Abdirrahman, beriah saya nasihat.”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalaengking sebesar kuda. Mereka menggigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil tehadap rakyatnya.”
Setelah itu ia bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.
Sumber: Shuwaru min Hayati at-Tabi’in (id), Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, At-Tibyan hal. 351-254
No comments:
Post a Comment