Awal Februari, selalu saja ramai dengan artikel tentang valentine. Tulisan ini tidak bermaksud membahas valentine, toh sudah cukup banyak dibahas oleh mereka yang mempunyai ilmu lebih dengan sangat jelas. Jadi tentunya sebagian besar kita sudah mafhum keburukan valeninte. Bagi yang belum paham, saya menganggapnya sebagai musibah. Semoga Allah menunjuki kita semua ke jalan hidayah.
Menyebut kata valentine selalu saja mengingatkanku kepada Bapak, semoga Allah merahmatinya. Bukan karena di rumah ada perayaan valentine, tidak! Tetapi lebih pada sesuatu yang dulu kuanggap sebagai pengalaman buruk, kemudian seiring perjalanan waktu menjadi pengelaman yang lucu dan mengesankan, hingga akhirnya kupahami sebagai bukti cinta yang sesungguhnya dari seorang bapak.
Lingkungan tempat aku dibesarkan, warganya sangat akrab satu sama lain. Anak-anaknya –anak lorong kami biasa menyebut diri kami- berteman sejak kecil layaknya saudara. Tumbuh bersama sejak masa kanak, sebagian lagi ketika mulai menginjak remaja, membuat keakraban diantara kami seolah tanpa batas. Selalu mengadakan kegiatan bersama, camping, wisata, kerja bakti, olah raga di pagi hari, atau sekedar mengumpulkan uang untuk masak dan makan bersama di rumah salah seorang diantara kami.
Hingga masuk ke bulan Februari, lupa tepatnya tahun berapa, yang jelas kejadiannya bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu valentine adalah sesuatu yang baru dan benar-benar nge-trend di kalangan anak muda, bahkan di kota kecil seperti Kendari. Padahal jujur, sebagian besar (termasuk aku sendiri saat itu) tidak mengerti apa arti valentine. Persiapan pesta ada dimana-mana. Di sekolahku (SMP), teman-teman ramai membuat kartu berwarna merah jambu dengan berbagai pernik untuk diberkan kepada teman-teman lainnya.
Anak lorong pun tak ketinggalan. Karena kedekatan kami, sebagian diantara kami lalu punya ide untuk membuat pesta malam valentine. Bukan seperti pesta valentine di kota-kota besar, hanya sebuah pesta kecil dari kami untuk kami, untuk mempererat ikatan persaudaraan dan kekerabatan diantara kami. Jadilah itu keputusan yang disepakati penuh anak lorong segala umur (kecuali yang di bawah 14 tahun), bahkan didukung sebagian orang tua. Hingga kami pun mulai mengumpulkan uang untuk pesta nanti.
Pulang ke rumah, aku dan saudara-saudaraku yang lain dengan semangat bercerita kepada Bapak, seperti kebiasaan kami. Tak dinyana Bapak malah marah besar. “Tidak ada pesta valentine! Tidak ada yang boleh ikut kegiatan apapun yang berhubungan dengan valentine!” Saking marahnya, Bapak lalu mendatangi para orang tua lainnya menyatakan keberatannya, menjelaskan buruknya valentine dan mengajak para orang tua untuk membatalkan acara itu. Namun karena para orang tua lainnya menganggap itu hanya acara biasa anak-anak, bukan pesta ‘mengerikan’ seperti yang terdapat di surat kabar atau media tv, mereka tetap mendukungnya. Walhasil, Bapak hanya sendirian, dan ultimatum tetap berlaku. Tidak ada anaknya yang boleh ikut valentine, tidak juga menyumbang untuk acara serupa!
Buatku dan saudaraku, yang dikurung dalam rumah sejak magrib, malam itu adalah malam yang paling menyedihkan. Kami hanya bisa mendengar tawa riang teman-teman yang berpesta, atau sekedar mengintip dari jendela. Butuh waktu untuk bisa tersenyum lagi pada Bapak – yang saat itu kami anggap sangat kejam – itu pun setelah disogok dengan berbagai macam perhatian.
Tahun-tahun telah berlalu sejak kejadian itu, mengingatnya justru membuat tertawa. Lucu juga, gadis-gadis kecil di kurung di kamar dengan sedu sedan, sementara suara semarak pesta di sebelah rumah benar-benar membuat diri merasa menjadi anak yang paling malang di dunia.
Kini, setelah Bapak kembali kepada Rabbnya, yang teringat adalah rasa haru. Benarlah perkataan bahwa seseorang baru akan merasa sesuatu itu sangat berarti ketika dia kehilangan. Mengingat kejadian itu lagi, yang ada adalah rasa syukur. Bersyukur memiliki seorang Bapak yang penuh cinta, yang menunjukkan kecintaan kepada anak-anaknya, tidak dengan hadiah, tidak dengan kata-kata lembut penuh cinta, tapi dalam bentuk yang tegas, menjauhkan anak-anaknya dari sesuatu yang jelas mudharatnya. Tidak saja karena perayaan itu bentuk tasyabuh bil kuffar yang diharamkan, namun juga karena di dalamnya terdapat banyak maksiat. Sebuah pelajaran akan keteguhannya memegang prinsip, tetap tegar meskipun dia hanya sendirian.
Betapa banyak diantara kita yang beranggapan, bahwa bukti cinta orang tua adalah ketika orang tua menuruti segala kemauan anaknya, memberikan kebebasan, meski terkadang mereka tahu itu membahayakan mereka, tidak berdaya ketika anaknya terus merengek atau merajuk. Padahal justru sikap permisif ini yang membuat anak lebih leluasa terjerat ke dalam hal-hal yang merusak hidup dan agamanya. Di sisi lain, orang tua yang membatasi ruang gerak anaknya justru dianggap kejam dan otoriter, padahal sikap itu tidak lain untuk menjauhkan anaknya dari kemudharatan.
Lingkungan tempat aku dibesarkan, warganya sangat akrab satu sama lain. Anak-anaknya –anak lorong kami biasa menyebut diri kami- berteman sejak kecil layaknya saudara. Tumbuh bersama sejak masa kanak, sebagian lagi ketika mulai menginjak remaja, membuat keakraban diantara kami seolah tanpa batas. Selalu mengadakan kegiatan bersama, camping, wisata, kerja bakti, olah raga di pagi hari, atau sekedar mengumpulkan uang untuk masak dan makan bersama di rumah salah seorang diantara kami.
Hingga masuk ke bulan Februari, lupa tepatnya tahun berapa, yang jelas kejadiannya bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu valentine adalah sesuatu yang baru dan benar-benar nge-trend di kalangan anak muda, bahkan di kota kecil seperti Kendari. Padahal jujur, sebagian besar (termasuk aku sendiri saat itu) tidak mengerti apa arti valentine. Persiapan pesta ada dimana-mana. Di sekolahku (SMP), teman-teman ramai membuat kartu berwarna merah jambu dengan berbagai pernik untuk diberkan kepada teman-teman lainnya.
Anak lorong pun tak ketinggalan. Karena kedekatan kami, sebagian diantara kami lalu punya ide untuk membuat pesta malam valentine. Bukan seperti pesta valentine di kota-kota besar, hanya sebuah pesta kecil dari kami untuk kami, untuk mempererat ikatan persaudaraan dan kekerabatan diantara kami. Jadilah itu keputusan yang disepakati penuh anak lorong segala umur (kecuali yang di bawah 14 tahun), bahkan didukung sebagian orang tua. Hingga kami pun mulai mengumpulkan uang untuk pesta nanti.
Pulang ke rumah, aku dan saudara-saudaraku yang lain dengan semangat bercerita kepada Bapak, seperti kebiasaan kami. Tak dinyana Bapak malah marah besar. “Tidak ada pesta valentine! Tidak ada yang boleh ikut kegiatan apapun yang berhubungan dengan valentine!” Saking marahnya, Bapak lalu mendatangi para orang tua lainnya menyatakan keberatannya, menjelaskan buruknya valentine dan mengajak para orang tua untuk membatalkan acara itu. Namun karena para orang tua lainnya menganggap itu hanya acara biasa anak-anak, bukan pesta ‘mengerikan’ seperti yang terdapat di surat kabar atau media tv, mereka tetap mendukungnya. Walhasil, Bapak hanya sendirian, dan ultimatum tetap berlaku. Tidak ada anaknya yang boleh ikut valentine, tidak juga menyumbang untuk acara serupa!
Buatku dan saudaraku, yang dikurung dalam rumah sejak magrib, malam itu adalah malam yang paling menyedihkan. Kami hanya bisa mendengar tawa riang teman-teman yang berpesta, atau sekedar mengintip dari jendela. Butuh waktu untuk bisa tersenyum lagi pada Bapak – yang saat itu kami anggap sangat kejam – itu pun setelah disogok dengan berbagai macam perhatian.
Tahun-tahun telah berlalu sejak kejadian itu, mengingatnya justru membuat tertawa. Lucu juga, gadis-gadis kecil di kurung di kamar dengan sedu sedan, sementara suara semarak pesta di sebelah rumah benar-benar membuat diri merasa menjadi anak yang paling malang di dunia.
Kini, setelah Bapak kembali kepada Rabbnya, yang teringat adalah rasa haru. Benarlah perkataan bahwa seseorang baru akan merasa sesuatu itu sangat berarti ketika dia kehilangan. Mengingat kejadian itu lagi, yang ada adalah rasa syukur. Bersyukur memiliki seorang Bapak yang penuh cinta, yang menunjukkan kecintaan kepada anak-anaknya, tidak dengan hadiah, tidak dengan kata-kata lembut penuh cinta, tapi dalam bentuk yang tegas, menjauhkan anak-anaknya dari sesuatu yang jelas mudharatnya. Tidak saja karena perayaan itu bentuk tasyabuh bil kuffar yang diharamkan, namun juga karena di dalamnya terdapat banyak maksiat. Sebuah pelajaran akan keteguhannya memegang prinsip, tetap tegar meskipun dia hanya sendirian.
Betapa banyak diantara kita yang beranggapan, bahwa bukti cinta orang tua adalah ketika orang tua menuruti segala kemauan anaknya, memberikan kebebasan, meski terkadang mereka tahu itu membahayakan mereka, tidak berdaya ketika anaknya terus merengek atau merajuk. Padahal justru sikap permisif ini yang membuat anak lebih leluasa terjerat ke dalam hal-hal yang merusak hidup dan agamanya. Di sisi lain, orang tua yang membatasi ruang gerak anaknya justru dianggap kejam dan otoriter, padahal sikap itu tidak lain untuk menjauhkan anaknya dari kemudharatan.
Berada dalam kelompok manakah kita? Masing-masing kita sendiri lah yang paling tahu jawabannya. Semoga Allah menolong kita untuk teguh di atas agama-Nya yang haq, meskipun hanya sendirian.
Diposting ulang dari My Solitaire@multiply dengan perubahan judul.
No comments:
Post a Comment