Wednesday, May 06, 2009

Pendidikan Anak, Salah Siapa?

Lucu, komentar yang kemudian keluar ketika adikku menceritakan kisah keponakanku yang baru saja mengikuti ulangan mata pelajaran pendidikan agama Islam di kelas 1 SD. Ketika mendapat pertanyaan “Tiang agama adalah…,” dengan percaya diri keponakanku mengisinya dengan.. “Tiang bendera merah putih.” Kontan saja ibunya di rumah tertawa ketika dia bercerita. Neneknya (ibuku) yang kebetulan menjadi kepala sekolahnya dan telah mengajar di SD selama puluhan tahun berkomentar, bahwa kesalahan bukan sepenuhnya pada sang anak, tetapi formulasi kalimat dari guru pun seharusnya disesuaikan dengan tingkat pemahaman anak. Apalagi jika hal itu hanya pernah sekilas disinggung di ruang kelas. Karena bagi anak-anak, yang pertama kali tergambar di benaknya ketika ditanya mengenai tiang adalah tiang bendera yang dilihatnya setiap hari, dan itulah yang akan ditulisnya. Padahal keponakanku ini tergolong anak yang cerdas di kelasnya.


Anak-anak kelas 1 SD zaman sekarang pelajarannya lebih susah dibanding zamanku dulu. Entah apakah itu menunjukkan tingkat kemajuan berpikir anak-anak, atau sesuatu yang dipaksakan sehingga sebagian anak-anak malah kewalahan. Seorang sahabat di Jakarta mengeluh, bahwa guru anaknya (juga kelas 1 SD) hanya menjelaskan seadanya lalu memberikan PR yang terpaksa membuat ibunya ekstra keras berusaha menjelaskan kepada anaknya di rumah sampai sang anak mengerti. “Pelajaran anak-anak kelas 1 SD sekarang susah, ditambah lagi gurunya tidak menjelaskan sampai anak-anak benar-benar paham, akibatnya orang tua juga yang turun tangan.” Keluhnya.


Bercerita mengenai kasus keponakanku ini kepada seorang teman membuatnya terbahak-bahak dan memberikan kisah lain yang lebih tragis, sambil menunjukkan gambar hasil ulangan IPS salah seorang anak kelas 1 SD entah dimana. Disitu terdapat beberapa pertanyaan dengan pilihan berganda, yang diantaranya menunjukkan gambar seorang wanita sedang menggendong bayi. Pertanyaannya, “Di samping ini adalah gambar kasih sayang seorang…” a) pembantu; b) ibu; c) ayah. Yang tragis adalah sang anak memilih PEMBANTU!


Untuk kasus ini, seseorang boleh jadi menyalahkan guru karena membuat soal yang membingungkan anak, berdasarkan gambar itu. Tetapi di sisi lain, jawaban sang anak seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Bukan saja bagi orang tua sang anak, tapi bagi ribuan orang tua lainnya, khususnya ibu. Seorang anak kelas 1 SD akan menjawab sesuatu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Dan kebetulan gambar yang ditunjukkan pada soal itu, menyerupai gambaran seorang pembantu yang sehari-hari dilihatnya mengasuh adiknya.


Kemana gerangan sang ibu? Kemana dia wanita yang diciptakan dengan kodrat kewanitaannya, melahirkan, menyusui dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang hingga dewasa? Kemana dia wanita yang seharusnya menjadi madrasah dini bagi generasi berikutnya dari umat ini? Mungkin sedang berdebat di parlemen. Mungkin sedang berteriak di ruang kelas, mendidik anak-anak orang lain dan mengabaikan pendidikan anaknya sendiri. Mungkin saat ini sedang sibuk dengan pembukuan kantornya yang menyita seluruh perhatiannya hingga menghabiskan hampir seluruh waktunya. Mungkin saat ini sedang keluar kota menemani atasannya dalam urusan dinas. Mungkin dia sibuk berjalan dari satu toko ke toko lain, atau bercanda bersama teman-teman arisannya.


Ya ukhty… sungguh ini adalah musibah, ketika seorang anak menganggap kasih sayang seorang wanita kepada anak kecil (bayi) itu adalah kasih sayang seorang pembantu! Tidakkah dirimu terluka? Ketika anak yang engkau lahirkan dengan perjuangan diantara rasa sakit justru menganggap pembantulah yang memberikan kasih sayang itu? Pantaskah itu ditukar dengan karir, materi dan kedudukan, sehingga anak tumbuh di bahwa pengawasan seorang pembantu, mendapatkan pendidikan awal dari seorang pembantu yang rata-rata pendidikan mereka jauh berada dibawah pendidikan sang ibu? Tegakah engkau melepas pendidikan anak-anakmu pada seseorang asing yang engkau bayar untuk menggatikan tugasmu? Padahal anak seharusnya menjadi hasil terbaik dari orang tuanya. Karena ketika seseorang meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya. Dan kita, seringkali lalai dalam hal ini.


Banyak diantara kita, kaum perempuan masa kini, berkarir di luar rumah, bekerja bersaing dengan para laki-laki sejak dari pagi hari hingga sore, meninggalkan anak-anak dibawah pengawasan pembantu. Terkadang lebih pada alasan untuk pemuasan keinginan untuk berkiprah di luar rumah, mengaplikasikan seluruh kemampuan dan potensi diri, karena kebutuhan pergaulan lingkungan kerja, prestise, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan, dan lain-lain, dan bukannya karena alasan kebutuhan mendesak keluarga yang harus dipenuhi semata. Saya, dan sebagian diantara anda yang membaca tulisan ini, mungkin terjebak dalam situasi seperti itu.


Satu kejadian kecil di atas seolah sebuah tamparan untuk menyadarkan kita, dimana seharusnya kita berada. Karena seorang wanita (isteri), adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya. Dan tiap-tiap pemimpin pasti akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya (lihat HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Shalat Jum’at (no. 893), dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Pemimpin (no. 1829). Cukuplah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam di bawah ini menjadi peringatan bagi kita:
“Cukuplah dosa bagi seseorang bahwa dia menyia-nyiakan mereka yang berada dalam tanggungannya. (HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab: Zakat no. 1692)





No comments:

Post a Comment