"Bertanya ko dijawab sendiri..?" Komentar seorang teman dalam sebuah obrloan, ketika saya bertanya tentang sesuatu namun jawabannya telah saya katakan sebelum dia sempat menjawabnya.
Perkataan teman ini membuatku tertawa, teringat akan seorang ibu yang bernama Fatimah, salah satu pelanggan di kios bapakku dulu. Ibu Fatimah selalu berbicara sendiri, bertanya sendiri, menjawab sendiri, mengomel sendiri, dan tertawa sendiri. Saya dan adikku berdosa menamainya tuan Fix, tokoh jahat namun 'tidak cerdas' yang sering ngomong sendiri di kartun around the world in 80 days jaman dulu. Tanpa disadari saya pun telah menjadi serupa dia, si tuan Fix.
Ibu Fatimah yang dikenal orang 'agak-agak miring' merupakan pelanggan setia kios Bapakku, yang kerap kali berutang ke kios untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan keluarganya. Entah kenapa, padahal jarak dari rumahnya ke kios lumayan jauh, pasti ada lahh.. yang lebih dekat dengan rumahnya. Beliau hampir setiap hari datang ke kios, jika tidak belanja, dia akan berdiri di depan kios sambi berbicara sendiri seperti biasa.
Hebatnya - meskipun ibu ini terkesan tidak waras dan kemana-mana selalu membawa kantung kesek (yang konon berisi surat-surat berharga) - soal uang tidak luput darinya. Rajin berutang, rajin pula membayar. Setiap awal bulan, dia selalu datang ke kios - tentu saja dengan dandanan yang lebih rapi dai biasanya sepulang dari kantor Taspen untuk mengambil pensiun suaminya yang sudah meninggal - langsung melunasi semua hutangnya.
Ironis, justru sebagian lainnya yang berutang di kios bapak adalah ibu-ibu yang tergolong 'waras' yang suaminya adalah pegawai, datang dengan agak memelas, namun setelah ditagih malah menghindar.Nah loh?!
Sungguh aneh, jika dibandingkan dengan seseorang yang dianggap setengah waras namun sangat mengerti kewajibannya dalam menunaikan hak orang lain, dibandingkan sebagian orang yang dengan sengaja menunda tanpa alasan, bahkan malah sengaja mengabaikan.
"Wah, mestinya datang kemarin, uangnya sudah saya siapkan. Tapi karena kamu tidak datang uangnya terpakai lagi." Itu jawaban seseorang yang berutang pada adikku. Kesal, adikku pulang sambil mengomel karena jawaban ibu itu. Ada lagi yang lebih parah, ketika adikku datang menagih, si ibu itu malah marah-marah: "Saya ndak mau bayar! Baju itu baru sekali dipakai hilang di jemuran!" Loh, apa hubungannya bayar hutang sama baju yang sudah dipakai itu hilang? Aneh bin ajaib!
Seringkali kita menganggap remeh masalah hutang-piutang ini. Ketika terdesak sebagian orang bisa sampai memelas atau setengah mengemis untuk mendapatkannya. Tetapi ketika ada kelonggaran untuk membayarnya, malah lalai akan kewajibannya tersebut.
Lalu manakah yang lebih waras, ibu Fatimah yang benar-benar sadar akan kewajibannya atas hutang dan takut akan terlilit hutang, dengan orang-orang yang mengaku berakal sehat namun melalaikan kewajiban dengan sengaja yang bisa berkonsekuensi buruk baginya kelak?
Benar kata sebagian orang, di zaman sekarang ini orang-orang yang tampaknya berakal sehat justru lebih sakit, seperti contoh orang-orang di atas dibandingkan dengan ibu Fatimah.
Entah apa yang terjadi dengan ibu Fatimah kini. Sejak Bapak meninggal dan kios ditutup beberapa tahun lalu, dia pun tidak pernah nampak lagi. Semoga Allah melindunginya dan menjadikan apa yang dilakukannya menjadi contoh bagi orang-orang yang lebih waras darinya.
Perkataan teman ini membuatku tertawa, teringat akan seorang ibu yang bernama Fatimah, salah satu pelanggan di kios bapakku dulu. Ibu Fatimah selalu berbicara sendiri, bertanya sendiri, menjawab sendiri, mengomel sendiri, dan tertawa sendiri. Saya dan adikku berdosa menamainya tuan Fix, tokoh jahat namun 'tidak cerdas' yang sering ngomong sendiri di kartun around the world in 80 days jaman dulu. Tanpa disadari saya pun telah menjadi serupa dia, si tuan Fix.
Ibu Fatimah yang dikenal orang 'agak-agak miring' merupakan pelanggan setia kios Bapakku, yang kerap kali berutang ke kios untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan keluarganya. Entah kenapa, padahal jarak dari rumahnya ke kios lumayan jauh, pasti ada lahh.. yang lebih dekat dengan rumahnya. Beliau hampir setiap hari datang ke kios, jika tidak belanja, dia akan berdiri di depan kios sambi berbicara sendiri seperti biasa.
Hebatnya - meskipun ibu ini terkesan tidak waras dan kemana-mana selalu membawa kantung kesek (yang konon berisi surat-surat berharga) - soal uang tidak luput darinya. Rajin berutang, rajin pula membayar. Setiap awal bulan, dia selalu datang ke kios - tentu saja dengan dandanan yang lebih rapi dai biasanya sepulang dari kantor Taspen untuk mengambil pensiun suaminya yang sudah meninggal - langsung melunasi semua hutangnya.
Ironis, justru sebagian lainnya yang berutang di kios bapak adalah ibu-ibu yang tergolong 'waras' yang suaminya adalah pegawai, datang dengan agak memelas, namun setelah ditagih malah menghindar.Nah loh?!
Sungguh aneh, jika dibandingkan dengan seseorang yang dianggap setengah waras namun sangat mengerti kewajibannya dalam menunaikan hak orang lain, dibandingkan sebagian orang yang dengan sengaja menunda tanpa alasan, bahkan malah sengaja mengabaikan.
"Wah, mestinya datang kemarin, uangnya sudah saya siapkan. Tapi karena kamu tidak datang uangnya terpakai lagi." Itu jawaban seseorang yang berutang pada adikku. Kesal, adikku pulang sambil mengomel karena jawaban ibu itu. Ada lagi yang lebih parah, ketika adikku datang menagih, si ibu itu malah marah-marah: "Saya ndak mau bayar! Baju itu baru sekali dipakai hilang di jemuran!" Loh, apa hubungannya bayar hutang sama baju yang sudah dipakai itu hilang? Aneh bin ajaib!
Seringkali kita menganggap remeh masalah hutang-piutang ini. Ketika terdesak sebagian orang bisa sampai memelas atau setengah mengemis untuk mendapatkannya. Tetapi ketika ada kelonggaran untuk membayarnya, malah lalai akan kewajibannya tersebut.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ketika ditanya bagaimanakah hukum menunda-nunda pembayaran hutang, memberikan jawaban:
Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda.
“Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya” [HR Malik, Ahmad, dll; keshahihannya telah disepakati]
Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera membayar hak orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dengan tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pada hutangnya. (Pertanyaan ke 15 dari Fatwa Nomor 19637)
Lalu manakah yang lebih waras, ibu Fatimah yang benar-benar sadar akan kewajibannya atas hutang dan takut akan terlilit hutang, dengan orang-orang yang mengaku berakal sehat namun melalaikan kewajiban dengan sengaja yang bisa berkonsekuensi buruk baginya kelak?
Benar kata sebagian orang, di zaman sekarang ini orang-orang yang tampaknya berakal sehat justru lebih sakit, seperti contoh orang-orang di atas dibandingkan dengan ibu Fatimah.
Entah apa yang terjadi dengan ibu Fatimah kini. Sejak Bapak meninggal dan kios ditutup beberapa tahun lalu, dia pun tidak pernah nampak lagi. Semoga Allah melindunginya dan menjadikan apa yang dilakukannya menjadi contoh bagi orang-orang yang lebih waras darinya.
Technorati Tags: kisah,kwajiban membayar hutang
No comments:
Post a Comment