Thursday, May 07, 2009

Bahasa Wanita

'Petikan kenangan dari masa lalu...'

Belajar jauh di negeri orang, apalagi negeri kafir, yang pertama kali dicari adalah teman-teman seaqidah. Alhamdulillah ditempatku itu bukanlah hal yang terlalu sulit, karena di kelasku yang hanya berisi 9 orang mahasiswa, 5 di antaranya adalah saudara seiman dari Libya, yang kesemuanya menganggapku adik kecil. Ada juga sih, teman-teman setanah air, tapi entah kenapa, saya lebih nyaman berada di antara teman-teman Libya ini, apalagi 4 di antara mereka membawa isteri. Lengkap sudah, bertambah lagi 4 orang saudara perempuan!

Bergaul di antara empat ukhty ini sangat menyenangkan. Meski kendala bahasa diantara kami terbilang besar (mereka berbahasa Arab sedangkan saya hanya bisa menimpali dengan bahasa Inggris), namun itu tidak menghalangi komunikasi di antara kami. Salah seorang di antara mereka dapat berbahasa Inggris dengan terbata-bata, sehingga seringkali malah kita jadi tertawa bersama ketika dia mengatakan sesuatu dengan pilihan kata yang sama sekali jauh dari maksud yang ingin disampaikannya.

Yang paling menyenangkan adalah kegemaran mereka mengundang makan siang atau pun malam, yang berarti program penggemukan buatku, karena pada saat seperti itu mereka pasti akan menyediakan berbagai macam makanan yang menerbitkan selera dan diwajibkan untuk mencoba semuanya, dan yang pasti, mereka akan memaksaku untuk makan banyak, bahkan seringkali menyendokkan makanan ke piringku dalam jumlah yang bisa membuatku kenyang selama dua hari (prihatin mungkin melihat tubuhku yang kurus).

Ukhty Salma, adalah yang paling dekat denganku, yang palng lembut di antara mereka. Entah mengapa, dengannya saya merasa menemukan seorang kakak tempat berkasih sayang. Meski dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, seperti juga saya tidak bisa berbahasa Arab, saya sangat menikmati setiap obrolan dengannya (yang tentu saja sebagian besar menggunakan bahasa isyarat dan saling pemahaman sesama wanita). Pernah suatu kali suaminya meninggalkan kami berdua memasak di dapur. Yang terjadi kemudian adalah kerja sama, saling bercanda dan saling meledek. Dan tentu saja, dia dengan bahasa Arabp-nya, dan saya dengan bahasa Inggris. Aneh bukan? Begitu suaminya kembali dan mendengar senda gurau kami di dapur, dia terheran-heran. “What are you two laughing about? Do you understand each other?” Kami hanya memberikan cengiran sebagai jawaban.

Hingga ketika dia melahirkan bayi pertamanya dalam kondisi yang sangat buruk, ketegaran di wajahnya yang tak seiring dengan kesedihan di sorot matanya membuatku kagum. Tak sedikit pun dia mengeluh. Senyum lembut selalu menghias bibirnya. Dan saat kugendong bayi kecil Muhammad, dia langsung berbicara kepada anaknya, lagi-lagi dalam bahasa Arab, yang kira-kira kuartikan menurut perasaanku, “Ini mama Rahma, digendong mama Rahma ya, ayo beri salam, assalamau’alaikum mama” Sesuatu yang membuatku trenyuh, dan sedetik berharap bayi mungil lemah yang berada dalam pelukanku itu sungguh-sungguh milikku dan memanggilku mama.

Sambil duduk berdampingan kami berpelukan, bersama si mungil Muhammad diantara kami, berbagi beban yang tengah dihadapinya, tidak dengan tuturan kata-kata yang dimengerti, namun bahasa perasaan, perasaan seorang wanita, perasaan seorang ibu. Dari lembut kata-katanya yang kemudian dapat kupahami ketegaran dia, kepasrahan dia kepada Allah Yang Maha Menguasai, bahwa bayi yang telah lama mereka nantikan adalah anugerah sekaligus ujian untuk mereka. Kata-kata penghiburan yang meluncur dariku dalam bahasa yang tidak dipahaminya, namun nada yang tertangkap membuat matanya berkaca-kaca dan terus mencium pipiku.

Hanya sedetik berselang, seorang Bidan datang dan mengambil bayi dalam gendonganku sambil berbicara kepada ibunya dalam bahasa Belanda. Sambil tersenyum, kuterangkan pada Bidan itu bahwa sang ibu tidak dapat berbahasa Belanda. “But she can speak English, isn’t she?” Kujawab dengan gelengan kepala. Lalu dia bertanya lagi, “But you could speak to her in Arabic, so you translate!” Sambil tertawa kujelaskan kalau saya pun tidak bisa berbahasa Arab. Sang Bidan terperangah, “But you’ve spoke to each other before, how come?” Sambil menggeleng-gelengkan kepala si Bidan menyuruh memanggil kawanku, sang suami, yang sedang menunggu di luar.

Ya, kami tidak dapat saling memahami bahasa masing-masing, tapi kami saling memahami jalan pikiran dan perasaan masing-masing, dan itu merupakan alat komunikasi terbaik, ketika kata-kata tidak lagi mampu mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Bukankan kata-kata itu sendiri pun bisa dan seringkali dimanipulasi?

No comments:

Post a Comment