MENJAGA LISAN
oleh: Al-Imam An-Nawawi
Sumber: Al-Ibaanah.Com
Allah Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS QAaf [50] : 18)
Dan Dia berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr [89] : 14)
Saya telah menyebutkan sebelumnya apa yang Allah jadikan mudah bagiku dari jenis-jenis dzikir yang disunnahkan. Saya juga ingin menyertakan bersamanya, hal-hal yang dibenci dan dilarang dari perkataan seseorang. Hal ini agar buku ini menjadi sempurna berkenaan dengan perkataan seseorang, dan menyeluruh berkenaan dengan penjelasan kategori-kategorinya yang berbeda-beda. Oleh karena itu saya akan menyebutkan beberapa aspek mengenainya yang harus diwaspadai oleh setiap Muslim. Sebagian besar yang saya sebutkan disini telah banyak dikenal, dan untuk alasan inilah, saya tidak menyertakan dalil bagi sebagian besar diantaranya. Wallahu muwaffiq.
Ketahuilah bahwa setiap orang mukallaf harus menjaga lisannya dari segala jenis perkataan, kecuali terhadap pembicaraan yang mengandung manfaat. Maka dalam situasi dimana berbicara dan diam dalam keduanya terdapat maslahat yang sama, maka menurut As-Sunnah ia lebih baik memilih bersikap diam. Sebab pembicaraan yang berstatus mubah, membuka jalan kepada perbuatan yang haram dan makruh dan yang demikian ini banyak sekali terjadi. Sedangkan keselamatan adalah suatu keberuntungan yang tiada taranya.
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alahi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّ هِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara atau diam.”[2]
Hadits ini, yang telah disepakati keshahihannya, adalah sebuah dalil yang jelas bahwa seseorang tidak boleh berbicara, kecuali pembicaraannya baik, dan bahwa pembicaraan tersebut mengandung hal yang bermanfaat. Maka jika seseorang ragu-ragu apakah suatu pembicaraan mengandung manfaat atau tidak, maka janganlah berbicara.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila seseorang hendak berbicara, maka hendaknya dia berpikir sebelum berbicara. Jika ada kebaikan yang bermanfaat pada apa yang akan ia katakan, maka dia hendaklah dia berbicara. Dan jika dia meragukannya, maka dia jangan berbicara sampai dia menjernihkan keraguan itu (dengan menjadikan pembicaraannya baik).”
Abu Musa Al-Ash’ari radihallahu anhu meriwayatkan. “Saya berkata, “Ya Rasulullah, manakah Muslim yang terbaik?” Beliau shallallahu alahi wasallam bersabda:
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Barangsiapa yang orang-orang Muslim selamat dari lidah dan tangannya.”[2]
Sahl Ibnu Sa’ad radiallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang dapat menjamin bagiku (bahwa ia akan menjaga) apa yang berada diantara kedua rahangnya (lidah) dan apa yang berada di kedua pahanya (kemaluan), Aku akan menjamin baginya surga.”[3]
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa dia mendengar dari Nabi shallallahu alahi wasallam bersabda: “
إن العبد يتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها إلى النار أبعد مما بين المشرق والمغرب
“Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka lebih jauh dari jauhnya antara timur dan barat.”[4]
Dalam riwayat Al-Bukhari terdapat lafazh: أبعد مما بين المشرق “lebih jauh dari jarak antara barat” tanpa menyebutkan timur. Arti kata-kata يتبين “(tidak) menyangka” yakni dia tidak berhenti untuk mempertimbangkan apakah pembicaraannya baik atau tidak.
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alahi wasallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seseorang mengatakan kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat tersebut ke jahannam.”[5]
Diriwayatkan dalam Muwatha Imam Malik dan Kitab At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Bilal bin Al-Harits Al-Muzni radiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ يَكْتُبُ اللَّهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ يَكْتُبُ اللَّهُ لَهُ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ
“Sesungguhnya seseorang laki-laki mengatakan sebuah kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menyadarinya sampai di tempatnya, ternyata dengan kalimat itu Allah menuliskan keridhaan-Nya hingga hari Dia bertemu dengannya. Sesungguhnya seorang laki-laki mengatakan suatu kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menyadarinya sampai ditempatnya, ternyata karena kalimat tersebut Allah menulis kemurkaan-Nya hingga hari Dia bertemu dengannya.”[6]
Sufyan bin Abdillah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa dia berkata, “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat kupegang teguh.” Beliau shallallahu alahi wasallam bersabda:
قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Katakanlah: Allah Tuhanku, kemudian istiqamah.”
Aku berkata, “Ya Rasulullah, apa yang harus paling aku takuti?” Beliau memegang lidahnya dan berkata, “Ini.”[7]
At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”
Ibnu Umar radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda:
لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
“Janganlah kalian banyak berbicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnya berbicara terlalu banyak tanpa berdzikir kepada Allah mengeraskan hati. Dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari Allah adalah orang-orang yang keras hatinya.”[8]
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَشَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang Allah menjaganya dari kejahatan apa yang berada diantara kedua rahangnya dan kejahatan apa yang berada diantara kedua pahanya akan masuk surga.” At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.”[9]
Uqbah bin Amir radhiallahu anhu meriwayatkan: Aku berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana memperoleh keselamatan?” Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Kendalikanlah lidahmu, tetaplah di dalam rumahmu dan hapuslah dosa-dosamu.”[10]
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Ketika anak Adam bangun dari tidurnya, setiap bagian tubuhnya memohon perlindungan kepada lidahnya, berkata: “Takutlah kepada Allah tentang kami karena sesungguhnya kami adalah bagian darimu. Maka apabila engkau lurus maka luruslah kami, dan jika engkau rusak maka rusaklah kami.”[11]
Ummu Habibah radhiallahu anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ تعالى
“Seluruh perkataan anak Adam atasnya (dicatat sebagai keburukan) dan bukan untuknya (dicatat sebagai kebaikan) kecuali amar ma’fur nahi munkar dan dzikir kepada Allah Ta’ala.”[12]
Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu meriwayatkan: Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka".
Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلىَ مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ : تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ،
"Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah ta'ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah".
ثُمَّ قَالَ : أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ تَتَجَافَى}النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ
Kemudian beliau bersabda : "Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam".
Kemudian beliau membaca ayat:
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS As-Sajdah [32] : 16)
Kemudian beliau bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وُعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ فَقُلْتُ : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ . فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالِ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمَ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبَّ النَاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ -أَوْ قَالَ : عَلىَ مَنَاخِرِهِمْ - إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
"Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?" Aku menjawab : "Ya, wahai Rasulullah". Rasulullah bersabda : "Pokok amal adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad". Kemudian beliau bersabda : "Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawabku : "Ya, wahai Rasulullah". Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : "Jagalah ini". Aku bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda : "Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?"[13]
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabishallallahu alaihi wasallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”[14]
Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Barangsiapa yang tetap diam dia selamat.”[15]
Sanad hadits ini lemah. Saya menyebutkannya disini hanya untuk menunjukkan kelemahannya karena hadits ini sangat dikenal. Hadits shahih yang senada dengan apa yang telah saya sebutkan disini banyak dan telah mencukupi bagi orang-orang yang mendapatkan taufiq. Saya akan menyebutkan beberapa kata berkenaan dengan hal ini dalam bab Ghibah, Wallahu Muwaffiq.
Adapun atsar yang diriwayatkan dari para Salaf, maka terdapat banyak atsar berkenaan dengan perkara ini. Tidak perlu menyebutkannya setelah mendengar riwayat-riwayat sebelumnya. Namun demikian kami akan menyebutkan secara ringkas beberapa diantaranya.
Telah sampai kepada kita bahwa Qas bin Sa’ada dan Akhtam bin Sayfi suatu kali bertemu dan berkata satu sama lain: “Berapa banyak kelemahan yang dapat engkau temui pada anak-anak Adam?” Yang lain menjawab: “Terlalu banyak untuk dihitung, namun kelemahan yang dapat kuhitung berjumlah delapan ribu. Saya juga mendapati sesuatu yang jika saya laksanakan, maka semua kelemahan itu akan tertutupi.” Dia bertanya, “Apa itu?” Lalu dijawab: “Menjaga lisan.”
Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang membatasi perkataannya sesuai dengan apa yang dikerjakannya, akan membatasi pembicaraan yang tidak berguna baginya.”
Dan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepada murid Rabi’: “Hai Rabi, janganlah berbicara mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan dirimu, karena sesungguhnya setiap kali engkau mengatakan satu kata, dia menguasaimu dan kamu tidak berkuasa atasnya.”
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: “Tidak ada sesuatu yang pantas untuk dipenjarakan kecuali lidah.”
Yang lain berkata: “Perumpamaan lidah seperti binatang buas yang liar. Jika engkau tidak mengurungnya, dia akan menyerangmu.”
Abul Qasim Al-Husairi berkata dalam Risalah-nya yang terkenal: “Tetap diam adalah keselamatan dan itu merupakan prinsip dasar. Dan diam pada waktunya adalah karakteristik seorang laki-laki, sebagaimana berbicara pada waktunya adalah diantara perkara-perkara yang terpuji.
Dan dia rahimahullah berkata: “Aku mendengar Abu Ali Ad-Daqaq berkata: “Barangsiapa yang diam mengenai kebenaran, maka dia adalah setan yang diam.”
Dia juga berkata: “Adapun yang lebih disukai bagi orang-orang yang berusaha dalam kebaikan dengan diam, maka hal itu karena apa yang mereka ketahui tentang konsekuensi buruk akibat dari berbicara dan dari jiwa yang senang padanya. Hal ini juga karena sifat-sifat terpuji yang akan terlihat (dengan melakukannya) dan karena hal itu akan menjadikannya cenderung terhadap membedakan keduanya – apakah pembicaraan yang baik atau kebalikannya. Ini adalah sifat orang-orang yang diberkahi dengan keteguhan dalam agama. Dan ini adalah salah satu piliar dalam pendidikan masyarakat. Ada sebuah syair mengenainya:
Jagalah lisanmu, hai sekalian manusia
Dan janganlah biarkan ia mengigitmu, karena sesungguhnya ia adalah ular
Berapa banyak yang berada di dalam kubur terbunuh karena lisannya
Barangsiapa yang takut bertemu dengan-Nya sesungguhnya adalah orang yang berani
[1] Shahih, HR Bukhari (11/308 dalam Al-Fath), dan Muslim (47)
[2] Shahih, HR Bukhari (1/54 dalam Al-Fath), dan Muslim (42)
[3] Shahih, HR Bukhari (11/308 dalam Al-Fath)
[4] Shahih, HR Bukhari (11/308 dalam Al-Fath) dan Muslim (2988)
[5] Shahih, HR Bukhari (11/308 dalam Al-Fath)
[6] Shahih, Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2420 dalam Thufah Al-Ahwadhi), Ibnu Majah (3970), dan Malik (2985) dari jalan Muhammad Bin Amir.
[7] Shahih, Diriwayatkan At-Tirmidzi (2522 dalam At-Tuhfah), Ibnu Majah (3272) dan Ahmad (3413) dari jalan Az-Zuhri dari Muhammad bin Abdir-Rahman bin Ma’iz dari Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi. Muslim (2/8-9 dalam Syarah An-Nawawi) diriwayatkan dari jalan Hisyam bin Urwah… Seluruhnya, hadits ini shahih karena adanya jalur periwayatan yang berbeda. Saya heran mengapa penulis tidak menisbatkan hadits ini kepada Shahih Muslim padahal diterdapat di dalamnya.
[8] Dha’if. Diriwayatkan oleh At-Tirmdizi (2523 dan 2524) dari jalan Ibrahim bin Abdillah bin Hatib dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. At-Tirmidzi berkata: “Hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari riwayat Ibrahim bin Abdillah bin Hatib..” Saya berkata: “Dia adalah Ibnu Abdillah bin Al-Harits bin Hatib Al-Jumhi. Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam Al-Jarh wat-Ta’dil (2/110) namun tidak menyetujui atau mengkritiknya. Adz-Dzahabi menyebutkannya di dalam Mizan Al-‘Itidal (1/41) dan menyebutkan riwayat ini darinya sebagai salah satu riwayatnya yang menyendiri. Kemudian dia (AD-Dzahabi) berkata: “Saya tidak mengetahui adanya kritik mengenai dia.” Saya berkata: “Kurangnya pengetahuan jika terdapat kritikan terhadapnya tidak berarti bahwa dia (Adz-Dzahabi) menyatakan dia (Ibrahim bin Abdillah) terpercaya. Imam Malik menyebutkan riwayat ini dalam Al-Muwatha (2/986) sebagai perkataan Isa bin Marya..
[9] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2521 dalam At-Tuhfah) dari jalan Ibnu Ijlan dari Abu Hazim. Saya berkata: Sanadnya hasan karena Muhammad bin Ijlan adalah shaduq. Muslim mengeluarkan darinya unruk riwayat pendukung. Maka hadits ini shahih disebabkan adanya dalil penguat.
[10] Shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mubarak dalam Az-Zuhd (134) dan darinya Ahmad (5/259) dan At-Tirmdzi (2517 dalam At-Tuhfah) dari jalan Ubaidullah bin Zuhr dari Ali bin Yazid. Saya berkata: Sanadnya sangat lemah, karena ada dua cacat di dalamnya. Pertama Ubaidullah bin Zuhr terdapat kelemahan padanya, dan kedua Ali bin Yazid sangat lemah. Namun demikian, Ahmad (4/148) meriwayatkan dari jalan Mu’adz bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid. Maka cacat pertama menjadi terangkat karena Mu’adz adalah jujur (shaduq). Juga Ath-Thabrani (59) meriwayatkannya dari jalan Ibnu Tsauban dari ayahnya dari Al-Qasim dari Abu Umamah. Sanadnya hasan, maka cacat yang kedua terhapus.
[11] Hasan, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2518 dalam At-Tuhfah), Ahmad (3/95-96), Ibnu Al-Mubarak dalam Az-Zuhd (1012) dan lainnya, dari jalan Hammad bin Zaid dari Abu Suhba dari Sa’id bin Jubir. Sanadnya hasan, semua perawinya terpercaya (tsiqah) kecuali Abu Suhba. Namanya adalah Suhaib dan dia adalah budak yang dibebaskan oleh Ibnu Abbas. Abu Zur’ah dan Ibnu Hibban menyatakannya terpercaya dan banyak yang meriwayatkan darinya, karenaya haditsnya dapat diterima.
[12] Dha’if. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2515 dalam At-Tuhfah) dan Ibnu Majah (3974) dari jalan Muhammad bin Bishar. Hadits ini lemah karena terdapat dua cacat. Yang pertama adalah Ummu Shalih, keadaannya tidak diketahui. Yang kedua adalah Muhammad bin Yazid Al-Khanis.
[13] Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2616), Ibnu Majah (2973) dan Ahmad ((5/231) dari jalan Mu’amar dari Asim bin Abi Nujud dari Abu Wa’il. Ahmad (5/235-236 dan 245-256) juga meriwayatkannya dari jalan Shahr. Saya berkata: Sanadnya lemah karena Shahr hafalannya buruk. Ahmad (5/234) juga meriwayatkan dari jalan Ibnu al-Mughirah. Saya berkata: Sanadnya lemah karena Abu Bakar.(salah seorang perawi dalam sanadnya), yaitu Abdullah bin Abi Maryam Ash-Shami, terkadang mencampuradukkan riwayatnya. Namun para perawi lainnya adalah terpercaya. Maka beberapa jalur periwayatan ini saling menguatkan, insya Allah.
[14] Shahih, diriwayatkan oleh Malik (2/903) dan dari jalannya, At-Tirmidzi (2420), yaitu dari: Ibnu Shibab dari Ali bin Al-Husain dari Ali. Saya berkata: Riwayat dari sanad ini terpercaya, kecuali bahwa hadits ini adalah mursal. At-Tirmidzi (2419) dan Ibnu Majah (2976) meriwayatkannya dari jalan Al-Auza’i. Saya berkata: Sanadnya hasan, semua perawinya terpercaya, kecuali Qurrah bin Abdir-Rahman.
[15] Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2618), Ad-Darimi (2/99) dan Ahmad (2/159 dan 177) dari beberapa jalan periwayatan dari Ibnu Lahi’ah. At-Tarmidzi berkata: “Hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari riwayat Ibnu Lahi’ah.” Maksudnya adalah hadits ini lemah karena hafalan Ibnu Lahi’ah buruk. Dan penulis (An-Nawasi) sependapat dengannya. Namun demikian, sebagian telah meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dimana riwayat mereka dari Ibnu Lahi’ah adalah shahih. Ibnu Mubarak meriwayatkannya dalam Az-Zuhd (385) demikian pula Ibnu Wahab dalam Jami’-nya (2/85). Ringkasnya, ahdits ini shahih.
No comments:
Post a Comment