Thursday, January 31, 2008

Penjelasan Bulughul Maram - Bab Haid - 3

Penjelasan Bulughul Maram
Disarikan dari Daurah oleh Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah
Via Telelink Damaj, Toronto, Philadelphia
18 Muharram 1426 H, 27 Februari 2005

Disusun oleh: Ummul-Haarith Shahidah




Hadits no. 157


وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ - قَالَ : يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ ، أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ الْقَطَّانِ ، وَرَجَّحَ غَيْرُهُمَا وَقْفُهُ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang orang yang mencampuri istrinya ketika dia sedang haid. Beliau bersabda: "Ia harus bersedakah satu atau setengah dinar." Riwayat Imam Lima. Shahih menurut Hakim dan Ibnul Qaththan dan mauquf menurut yang lainnya. [1]

Berkata Ibnu Hajar bahwa para ulama, kecuali Al-Hakim dan Ibnu Qaththan, memandang hadits ini mauquf. Bahwa hadits ini marfu (disandarkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tidak shahih.

(Beberapa istilah) :
Dinar adalah uang emas
Dirham adalah uang perak

Pertanyaan:

Jika seseorang berjima’ dengan isterinya yang sedang mengalami menstruasi, apakah ada kafarah baginya?

Jawaban:

Sebagian besar ulama seperti Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam atsarnya berkata bahwa tidak ada kafarat baginya. Namun demikian, apa yang diwajibkan atasnya adalah bertaubat. Dan inilah pendapat yang paling benar.

Kita tidak dapat menjadikan kafarah wajib tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun demikian, sekelompok ulama seperti Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri, Qatadah Ibnu Ju’amah dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan Syafi’i dalam kitabnya Al-Qadim. Yang lain berkata bahwa seseorang yang berjima’ dengan isterinya yang sedang haid harus membayar kafarat berdasarkan hadits ini. (Pendapat ini termasuk yang dipegang oleh Ibnu Taimiyah, silahkan lihat terjemahan Fatawa an-Nisa, terbitan Pustaka Aliyah, hal. 53 – pent.)

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan seseorang berjima’ dengan isterinya yang telah berakhir masa haidnya tetapi belum mandi janabah?

Jawab:

Jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan seorang suami berjima’ dengan isterinya sebelum dia mandi janabah, dan inilah pendapat yang paling benar.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2] : 222)

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ bagian ayat ini dijelaskan dengan mandi janabah.
Sebagian Ahlul ilmi seperti ‘Atha, Qatadah, Auza’i, Dawud Ibnu ‘Ale Adh-Dhahari, Ibnu Hazim, dan juga Syaikh Albani dalam bukunya Adabuz Zifaf memandang Bolehnya melakukan jima’ sebelum mandi janabah. Namun demikian, pendapat yang paling benar adalah (yang dipegang) jumhur ulama.

Akibat buruk yang dapat ditimbulkan karena melakukan penetrasi ketika isteri dalam keadaan haid:
1. Alat kelamin laki-laki dapat terkena penyakit
2. Bayi mungkin dilahirkan dalam keadaan cacat, atau lahir tanpa rambut
3. Kehamilan dapat terjadi di luar kandungan
4. Dapat menimbulkan keresahan, depresi dan kesedihan pada seseorang
5. Dapat menimbulkan sakit kepala kepada seseorang.

Wallahu a’lam.


Hadits no. 158

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ

Dari Abu Said Al-Khudry bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bukankah wanita itu jika datang haid tidak boleh shalat dan berpuasa." Muttafaq Alaihi dalam hadits yang panjang.

Hadits ini menunjukkan larangan shalat dan berpuasa bagi wanita ketika mengalami haid. Hal ini lah yang menyebabkan kekurangan dalam agamanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . Mengenai kekurangan dalam agama ini, hal ini disebabkan karena dia tetap tidak melakukan shalat dan puasa selama berhari-hari.

Seorang wanita harus mengganti puasa yang ditinggalkannya dan tidak mengganti shalat yang ditinggalkannya karena haid, sebagaimana dalam hadits Aisyah yang berkata bahwa kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tetapi tidak mengqadha shalat (yang tertinggal karena haid).



Hadits no. 159

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ : لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْت ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ


'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ketika kami telah tiba di desa Sarif (terletak di antara Mekah dan Madinah), aku datang bulan. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang haji, namun engkau jangan berthawaf di Baitullah sampai engkau suci." Muttafaq Alaihi dalam hadits yang panjang.

لَمَّا memiliki tiga arti:
1. حين - berarti periode waktu, waktu sebagaimana di dalam ayat:

فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yakub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Yakub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya".” QS Yusuf [12] : 96)

2. نفي وجزم - berarti tidak

كَلا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ
“Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya,” (QS Abasa [80] : 23)

3. إلا – berarti ‘kecuali’.

إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
“tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS AT-Takwir [86] : 4)

سؤف - adalah sebuah daerah antara Makkah dan Madinah

Dalam hadits ini kita mempelajari bahwa seorang wanita yang sedang haid diperbolehkan melakukan semua ritual ibadah haji, yakni tinggal di Mina, Arafah dan Muzdalifah, kecuali tawaf mengelilingi Ka’bah sampai dia suci. Jika haidnya berlangsung lebih lama, kelompoknya harus menunggunya sampai dia suci dan melakukan tawaf ifadah sebagaimana yang ditunjukkan hadits Aisyah dalam Shahih Muslim.

Aisyah رضي الله عنها berkata: Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم memutuskan untuk bersiap-siap (untuk perjalanan pulang), beliau menemukan Shafiyah di pintu tendanya, dengan wajah muram dan bersedih. Beliau bersabda: ‘Aqra halqa’, engkau akan menahan kami” Lalu beliau bertanya, “apakah engkau telah melakukan tawaf wada pada hari Nahar?” Shafiyah mengiyakan., kemudia beliau berkata. “Kalau begitu bersiaplah.” (Shahih Muslim. Kitab Haji,Wajib melakukan tawaf wada, kecuali bagi wanita yang haid) [2]

Kita harus memperhatikan terlebih kepada hal ini, karena sebagian ahlul ilmi mengatakan diperbolehkan melakukan tawaf ifadah kepada wanita yang sedang haid apabila kelompoknya tidak dapat menunggunya. Ini tidak benar. Kita mengikuti dalil.



Hadits no. 160
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ ، وَهِيَ حَائِضٌ ؟ فَقَالَ : مَا فَوْقَ الْإِزَارِ .
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَضَعَّفَهُ
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang apa yang dihalalkan bagi seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid. Beliau menjawab: "Apa yang ada di atas kain." Diriwayatkan dan dianggap lemah oleh Abu Dawud.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud yang mendha’ifkannya karena adanya Baqiyah Ibnul Walid dan dia seorang mudallis yang meriwayatkan banyak hadits. Sa’id bin Abdul Al-Aqtash yang merupakan perawi dha’if juga terdapa di dalam sanadnya. Lebih jauh, sanadnya terputus karena Abdur Rahman bin Aid Al-Azdi yang tidak mendengarnya dari Mu’adz. Silahkan merujuk pada ‘Awn Al-Ma’bud juz 1 halaman 249.

Hadits ini menunjukkan haramnya melakukan mubasyarah diantara pusar dan lutut. Namun demikian hadits ini dha’if dan bertentangan dengan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits Anas (hadits no. 155 - bahwa orang yahudi jika ada seorang perempuan di antara mereka yang haid, mereka tidak mengajaknya makan bersama. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kerjakanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.")[yang dimaksud adalah termasuk berhubungan intim tanpa penetrasi, lihat penjelasannya serta hadits berikutnya – pent)


Hadits no. 161

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا } .
رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ ، وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد

Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Wanita-wanita yang sedang nifas pada masa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meninggalkan shalat selama 40 hari semenjak darah nifasnya keluar. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i dan lafadznya dari Abu Dawud.

Ummu Salamah رضي الله عنها Hind Binti Abi Umaiyah. Dia adalah isteri terakhir Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang meninggal. Hadits ini melalui jalan Musa Alasadia. Al-Bukhari menyebutnya dengan sesuatu yang baik. Ad-Daruquthni berkata dia tidak dapat diterima sebagai dalil. Hadits ini dha’if dan ada hadits ini memiliki beberapa jalan dari para sahabat dan semuanya lemah.

Sebagian besar (jumhur) ulama berkata bahwa waktu nifas maksimum adalah 40 hari berdasarkan hadits ini. Namun demikian, jika dia (wanita yang sedang mengalami nifas –pent) telah suci sebelum 40 hari, dia harus mulai melakukan shalat, dan bilamana pendarahan terus berlangsung setelah 40 hari, maka hal itu tidak dianggap sebagai darah nifas, sehingga dia diwajibkan untuk shalat pada hari-hari tersebut. Syaikh Muqbil rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimum bagi nifas.
Apabila pendarahan telah berhenti kapan saja, maka dia dipandang telah suci. Wallahu musta’an.

Pertanyaan:

Jika seorang wanita telah suci pada saat Ashar, apakah dia harus shalat Dzuhur terlebih dulu kemudian shalat Ashar? Atau: jika dia telah suci pada saat Isya, apakah dia harus shalat Magrib terlebih dahulu lalu kemudian shalat Isya?

Jawaban:

Jumhur ulama berpendapat bahwa melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar, atau Magrib dan Isya. Namun demikian, sebagian ulama berkata bahwa tidak wajib baginya untuk shalat Dzuhur dan Ashar atau Magrib dengan Isya karena waktunya telah berlalu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri dan lainnya, dan inilah pendapat yang paling benar karena waktu Dzuhur dan Magrib telah berlalu ketika dia masih dalam keadaan haid. Dengan demikian, kita tidak dapat memaksaan kepada orang-orang apa yang tidak diwajibkan di dalam syariat. Bahkan, syariat menunjukkan bahwa dia tidak dibolehkan shalat ketika dalam keadaan haid sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم jika dia haid dia tidak boleh shalat dan berpuasa.

Jika seorang wanita menunda shalat hingga menit-menit terakhir dan kemudian dia mengalami haid pada waktu shalat, dia tidak berdosa dan tidak perlu mengganti shalatnya.

Pertanyaan:

Jika seorang wanita sedang hamil, dapatkah dia mengalami haid?

Jawaban:

Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak mungkin seorang wanita hamil dapat mengeluarkan hadi, karena darah mensutruasi berubah menjadi makanan untuk bayi. Namun demikian, Imam Malik, Syafi’i dan Ibnu Taimiyah bahwa wanita dapat saja mengalami haid dalam masa kehamilannya sebagaimana yang didukung oleh Syaikh Utsaminin dalam bukunya “Darah Kebiasaan Wanita”. Inilah pendapat yang paling benar, karena ada kemungkinan darah haid melampaui kebutuhan bayi. Wallahu a’lam.

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi (KB)?

Jawaban:

Ini adalah rencana dari musuh-musuh Islam. Melakukannya berarti telah mendukung rencana mereka. Nabi صلى الله عليه وسلم mendorong kita untuk memperbanyak umatnya. Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh menikahi wanita yang penuh cinta dan subur.

Sejauh mengenai pembolehan, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh menggunakan alat kontrasepsi hanya untuk waktu yang singkat jika benar-benar dibutuhkan. Akibat buruk dari penggunaan alat kontrasepsi telah banyak terbukti. Jenis kontrasepsi jarum dan pill dapat berakibat buruk pada wanita saat ini dan di masa yang akan datang. Diantara keburukannya, dapat mempengaruhi emosinya (mudah marah –pent) yang dapat merusak kesehatan tubuhnya. Juga dapat mengakibatkan kanker dan infeksi.

Mengenai penggunaan kontrasepsi secara terus menerus, hal ini tidak diperbolehkan. Syaikh Muqbil berkata bahwa hal ini tidak diperbolehkan kecuali hal tersebut menyelamatkan jiwanya. (Catatan tambahan dari penyusun) - Syaikh Muqbil rahimahullah memiliki rekaman yang menolak penggunaan kontrasepsi. Beliau menyarankan setiap orang untuk menjauhinya. Apabila memang diperlukan bagi wanita, dianjurkan untuk melakukan pengaturan dalam berhubungan intim (coitus interruption) dengan persetujuan antara suami dan isteri sebagaimana yang disabdakan Nabi صلى الله عليه وسلم.

Pertanyaan:

Apabila seorang wanita mengalami keguguran, apakah darah tersebut termasuk nifas atau haid?

Jawaban:

Ada perselisihan dalam permasalahan ini. Yang benar adalah hal tersebut dianggap darah nifas karena dia hamil dan kemudian bayinya keluar (keguguran) apakah dia telah bernyawa atau belum. Hal ini apa yang kami ambil dari pendapat Syaikh Muqbil.

***
_____________
[1] Yang dimaksud dengan Imam yang lima adalah : Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.





Sumber : http://www.salafitalk.net

Penomoran hadits-hadits tersebut diatas tidak dicantumkan sebagaimana yang terdapat dalam artikel aslinya, namun disesuaikan dengan nomor urut hadits yang terdapat pada kitab Bulughul Maram.

No comments:

Post a Comment