Kondisi Agama Kaum Muslimin
Selain dari ancaman luar yang telah disebutkan di atas, Islam pada masa itu juga dikonfrontasi oleh bahaya dari dalam. Ada Batiniyah (sekte Syi’ah yang ekstrimis yang mengkonfrontasi pemerintah Muslim saat itu) dan para pengikutnya, Assassain (Hashiishiyuun). Aqidahnya merupakan campuran dari dogma Magian dan konsep Platonic yang dapat dengan mudah menebarkan benih-benih perselisihan dan menyebarkan atheisme dan pengingkaran terhadap agama diantara orang-orang awam. Dan juga ada Muslim yang terpengaruh paham politheis dan kebiasaan non Muslim yang dengannya mereka memiliki perkumpulan yang bebas, mulai mengagungkan orang suci dari mereka (seorang sufi yang sangat taat –wali Allah) sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani. Lebih lanjut, beberapa aliran sufi, seperti Rifa’iyyah telah mengadopsi doktrin neo-Platonic dan Hindu yang bercampur aduk dengan ajaran Islam yang menyebakan hampir mustahil membedakan yang satu dengan yang lainnya.
Selain dari ancaman luar yang telah disebutkan di atas, Islam pada masa itu juga dikonfrontasi oleh bahaya dari dalam. Ada Batiniyah (sekte Syi’ah yang ekstrimis yang mengkonfrontasi pemerintah Muslim saat itu) dan para pengikutnya, Assassain (Hashiishiyuun). Aqidahnya merupakan campuran dari dogma Magian dan konsep Platonic yang dapat dengan mudah menebarkan benih-benih perselisihan dan menyebarkan atheisme dan pengingkaran terhadap agama diantara orang-orang awam. Dan juga ada Muslim yang terpengaruh paham politheis dan kebiasaan non Muslim yang dengannya mereka memiliki perkumpulan yang bebas, mulai mengagungkan orang suci dari mereka (seorang sufi yang sangat taat –wali Allah) sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani. Lebih lanjut, beberapa aliran sufi, seperti Rifa’iyyah telah mengadopsi doktrin neo-Platonic dan Hindu yang bercampur aduk dengan ajaran Islam yang menyebakan hampir mustahil membedakan yang satu dengan yang lainnya.
Dengan bangkitnya pengikut perang salib, beberapa orang Kristen memberi semangat untuk mencela Islam dan mengkritik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pidato dan tulisan-tulisannya. Dalam lingkungan intelektual Muslim ada stagnasi dan kejumudan dalam perdebatan seputar keagamaan mereka dan dalam pendekatan terhadap re-interpretasi syari’at. Ada polemik yang berkelanjutan antara Ash’ari dan Hambali. Akhirnya, sebagian orang yang terpengaruh oleh pemikiran Plato dan Aristoteles, mulai menyebarkan ide dan konsep agnostic yang tidak mengindahkan ajaran Islam.
Inilah kondisi di masa Ibnu Taimiyah yang harus dihadapinya. Ibnu Taimiyah membentuk sebuah perkumpulan bersama dengan murid-murid dan pengikutnya untuk menolak pemujaan politheis, pemujaan Islam, pemujaan yang dipengaruhi dengan kepercayaan dan praktek-praktek bid’ah diantara kaum Muslimin. Sebagai akibat dari semangat dan keteguhan reformasi dakwahnya dan celananya terhadap kebid’ahan, perkara-perkara baru dalam Islam, ziarah ke kubur-kubur para wali, ia menuai kebencian dari beberapa kelompok. Meskipun demikian, kepopulerannya diantara kaum Muslimin semakin meningkat tajam.
Jihad terhadap musuh-musuh Islam tidak menolong Ibnu Taimiyah terhadap para ulama. Pemerintah memenjarakannya beberapa kali karena keberaniannya dan kebebasannya dalam mengemukakan pendapatnya yang progresif dalam masalah hukum dan sosial yang mengundang kemarahan musuh-musuhnya, para pengikut mazhab ortodoks.
Namun demikian ketika Ibnu Taimiyah memiliki kesempatan untuk membalas musuh-musuhnya dikalangan ulama, yang menimbulkan banyak kesulitan dan memasukkannya ke penjara beberapa kali, dia menunjukkan keluhuruhan budi pekertinya yang luar biasa dan memaafkan mereka ketika Sultan an-Nasir Qalawun memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukannya, “jika engkau membunuhnya engkau tidak akan pernah menemukan ulama seperti mereka.” Sultan berkata: “Mereka menyakitimu berkali-kali dan ingin membunuhmu!” Ibnu Taimiyah menjawab: “Barangsiapa yang menyakitiku maka ia terbebas, dan siapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan menghukumnya.
Sejarawan Muslim seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Al-Imad Al-Hambali dan banyak lainnya menyanjung Ibnu Taimiyah dan menganggap beliau sebagai ulama terbesar Islam sepanjang sejarah.
Beliau berjuang menghadapi kebid’ahan dalam agama yang tersebar luas di zamannya di seluruh negeri Muslim, khususnya beberapa kegiatan dan kepercayaan sufi, seperti pengagungan para wali, mengunjungi kuburan wali, dan menceburkan diri ke dalam api. Serangannya terhadap kaum sufi telah menyebabkan dia mengalami banyak kesulitan dengan pihak penguasa dimana pimpinannya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sufi.
Sebagai akibat ketenaran Ibnu TAimiyah, beberapa ulama berpengaruh menjadi dengki kepadanya bahkan jengkel karena beliau menantang Qadhi dalam masalah-masalah hukum. Kemudian mereka menempuh berbagai cara untuk mendiskreditkan Ibnu Taimiyah di mata pemerintah dan masyarakat. Ibnu Taimiyah menolak ajaran-ajaran yang diuraikan dalam buku-buku Al-Fatuhat Al-Makkah dan Fusus Al-Hakim dari Ibnu Arabi (wafat 638 H/1240 M), seorang sufi yang paling dihormati dan guru tasawuf –karena ketidaksesuaiannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga menuai kegusaran kaum sufi, dan karena berbicara secara terang-terangan mengenai kebijakan pemerintah, ia menuai permusuhan dari pemerintah. Akibatnya, ia dipanggil ke Mesir pada tahun 705 H/1305 M.
Ketika Ibnu Taimiyah tiba di Mesir, ia diminta untuk menghadiri pertemuan para agamawan, hakim, dan kepala pemerintahan. Dalam kesempatan ini beberapa hal dituduhkan kepadanya berkenaan dengan konsepnya mengenenai wujud dan sifat Allah. Dia tidak diizinkan untuk membela diri, dan dimasukkan ke penjara selama 16 bulan. (1) Ketika di dalam penjara, dia mengalihkan perhatian para pengikutnya dari bermanja pada kesenang-kesenangan kepada keshalihan, disiplin dan kesederhanaan. Sejumlah penghuni penjara menjadi pengikutnya yang setia ketika dibebaskan.
Setelah dibebaskan pada tahun 707 H/1307 M Ibnu Taimiyah memutuskan untuk menetap di Mesir selama beberapa waktu. Segera setelahnya ia mengajar di beberapa masjid dan lembaga pendidikan dihadap beberapa ulama, hakim dan theolog terpilih. Namun demikian, pandangan Ibnu Taimiyah mengenai pantheis monoisme, tawasul, dan lain-lain tidak diterima baik dan beberapa pengaduan diajukan kepada Sultan. Para ulama yang mengajukan pengaduan tidak dapat menemukan kesalahan pada Ibnu Taimiyah. Namun karena pemerintah telah jemu menghadapi tuntutan terhadapnya, ia ditahan untuk sementara tetapi kemudian dibebaskan dengan kesepakatan permintaan para ulama agama. Tetapi ketika Sultan Qalawun turun tahta dan digantikan oleh raja Muda Bayban al-Jashnikir 709 H/1309 H, Ibnu Taimiyah diasingkan ke Alexandria, dimana meskipun dalam pengasingannya, ia mendapatkan posisi terhormat di kalangan akademis dan cendekiawan. Kemudian Bayban segera melepasnya dan Sultan Qalawun kembali ke Mesir dan memerintahkan Ibnu Taimiyah untuk kembali.
Kembali ke Damaskus
Di Kaior, Ibnu Taimiyah menyibukkan dirinya dengan mengajarkan aktivitas reformatifnya kurang lebih 3 tahun, ia bertindak sebagai penasihat Sultan dan menjadi alat bagi penerapan beberapa perubahan di Mesir dan Syria. Beberapa peraturan kesultanan diterbitkan berkenaan dengan nasihatnya di tahun 712 H/1312 M. Beliau berkunjung ke Jerussalem pada tahun yang sama, kemudian berangkat Haji dan akhirnya kembali ke Damaskus pada tahun 713 H/1313 M. Sejak saat itu beliau memusatkan perhatiannya terutama pada masalah-masalah hukum dan tetap melanjutkan kegiatan mengajarnya. Murid beliau yang paling menonjol adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat tahun 751 H/1350 M) yang paling banyak menyebarkanluaskan pemikirannya.
Permasalahan Talak Tiga
Ibnu Taimiyah, sebagaimana ayah dan kakeknya, adalah pengikut madzhab Hambali, dan pemikirannya menunjukkan hal itu, meskipun tidak secara eksklusif. Dia terkadang menolak pendapat Hambali sebagaimana di beberapa permasalahan dia menunjukkan perbedaan dengan pemikiran dari keempat madhzab. Salah satu kasusnya dimana dia berbeda dengan pendapat mereka adalah dalam persoalan penolakan seseorang terhadap isterinya dengan menjatuhkan tiga talak dalam waktu yang bersamaan.
Persoalannya, apakah talak yang diucapkan tiga kali pada saat yang bersamaan memiliki dampak hukum atau tidak. Persoalan ini memunculkan beberapa hal berikut:
• Apakah penarikan kembali (pembatalan) talak yang semacam ini dimungkinkan atau tidak.
• Apakah tiga perkataan tiga kali talak akan dihitung sebagai satu ucapan talak yang dapat dibatalkan atau merupakan talak yang tidak dapat diubah lagi.
• Apakah isteri yang diceraikan dapat kembali kepada suaminya atau tidak tanpa halaalah (sampai isteri yang diceraikan menikah dengan laki-laki lain, yang mana setelah melakukan hubungan pada pernikahan tersebut, kemudian bercerai).
Semua pemikiran madzhab, sebagaimana sejumlah sahabat berpandangan bahwa pengucapan talak tersebut, meskipun menjijikkan baik menurut hukum maupun merupakan hal yang tidak biasa dan berdosa, dipandang mempunyai implikasi hukum jatuhnya talak tiga. Bertentangan dengan hal tersebut, Ibnu Taimiyah secara tegas berpegang pada pendapat bahwa talak yang diucapkan tiga kali pada saat yang bersamaan tersebut dianggap sebagai satu kali talak. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bertentangan dengan pendapat yang umum berlaku yang menyebabkan beliau berselisih dengan para ulama di satu sisi, dan pemerintah di sisi lain.
Sebagai akibatnya, dia dicegah dari mengekspresikan pendapatnya untuk hal-hal seperti itu. Bahkan, peraturan pemerintah dikeluarkan di Kairo pada tahun 718 H/1318 M, yang melarangnya untuk memberikan fatwa dalam hal-hal serupa.
Pada awalnya Ibnu Taimiyah mentaati larangan tersebut, namun kemudian beliau kembali memberikan fatwanya dalam permasalahan ini dan memutuskan bahwa tidak selayaknya dia berhenti hanya karena takut terhadap pemerintah. Sebagai akibatnya pada tahun 720 H/1320 M, ia ditahan di benteng selama 5 bulan, kemudian dibebaskan atas perintah langsung dari Kairo.
Tahun-tahun Terakhir
Antara tahun 721 H/1321 M dan 726 H/1326 M, Ibnu Taimiyah mendedikasikan dirinya untuk mengajar di Madrasah Hambaliyah dan di Madrasah miliknya Qassassin dan merevisi beberapa hasil karya awalnya. Pada tahun 726 H/1326 M, musuh-musuhnya kembali bekerja sama untuk memenjarakan beliau. Di sini beliau tetap melanjutkan menulis tafsir Al-Qur’an dan juga risalah ilmiah dalam beragam permasalahan.
Ibnu Taimiyah meninggal di penjara di Damaskus pada Minggu-Senin malam tanggal 20 Dzulkaidah 728 H/1328 M dalam usia 67, dan dimakamkan di pemakaman Sofiyyah di Damaskus.
Penduduk Damaskus, yang memiliki kehormatan yang besar kepadanya, memberikan pemakan yang luar biasa dan diperkirakan dihadiri oleh 200.000 laki-laki 15.000 wanita. Ia dikuburkan di pemakaman Sofiyyah dimana ibunya dimakamkan.
Karakter dan Prestasinya
Ibnu Taimiyah menduduki tempat yang sangat terhormat diantara ulama di zamannya disebabkan banyaknya kenangan, intelektual yang cemerlang, pengetahuan bak ensiklopedi dan keberaniannya. Ia digambarkan sebagai seorang orator ulung, pemberani, tegas, disiplin, sangat alim, suka mengalah, pejuang, berbudi pekerti mulia dan pemaaf, dan berpendirian teguh.
Usaha reformatif Ibnu Taimiyah dan pencarian ilmu meliputi tema yang luas, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Membangkitkan keimanan dalam ketaatan terhadap tauhid (pengesaan Allah)
2. Memberantas kepercayaan pantheis dan budaya
3. Kritik terhadap filsafat, pemikiran silogistik, dan berdebat dalam rangka menunjukkan superioritas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Memberantas kepercayaan anti Islam melalui penentangan terhadap Kristen dan Syi’ah
5. Pembaharuan pemikiran Islam dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya
Jumlah Total Karya Ibnu Taimiyah 621 yang mana banyak hasil karyanya telah hilang. Beberapa karya Ibnu Taimiyah berhubungan dengan tema sebagai berikut:
1. Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-Masih (jawaban atas kritik terhadap Islam oleh Kristen)
2. Radd ala al-Mantiqyyin (bantahan terhadap filsafat)
3. Kitab As-Siyasah As-Sar’iyyah (berhubungan dengan teori politik dan pemerintahan Islam)
4. Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah (bantahan terhadap keyakinan Syi’ah ditulis sebagai jawaban atas Minhaj Al-Karamah oleh Ibnu Al-Mutahhir Al-Hilli).
5. Ziyarah Al-Qubur (kritik terhadap pengagungan para wali, tawasul dan kepercayaan tahyul)
6. Majmu’at ar-Rasa’il al-Kubra (mencakup risalah dari berbagai disiplin ilmu)
7. Majmu’at al-Fatawa (kumpulan fatwa dalam berbagai perkara)
8. Majmu’at ar-Rasa’il wa Majmu’at al-Masa’il (kumpulan risalah dan fatwa dalam berbagai perkara)
9. Majmu’at Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah (berisi pemaparan jurispudensi Islam dan fatwa yang diucapkan Ibnu Taimiyah)
Kesimpulan
Untuk menyertakan dalam perkataan Maulana Abu Al-Hasan ‘Ali Nadwi yang telah yang telah memberikan penghormatan kepada Ibnu Taimiyah:
“Ibnu Taimiyah menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, menegakkan superioritas Islam atas kebid’ahan, konsep filsafat dan keyakinan lainnya dan memberikan kontribusi bagi pembaharuan agama yang murni, setelah melalui penelitian yang mendalam dan pertimbangan yang diperlukan bagi penerangan atas penyimpangan agama dan intelektual pada masa itu. Dalam rangka untuk mengalahkan musuh-musuhnya, ia menguasai metodologi yang digunakan mereka (musuh-musuhnya – pent.) untuk menyerang Islam. Bahkan, pembelajrannya, karya ilmiahnya, pencapaian intelektual dan ketabahan mentalnya membuat musuh-musuhnya mendapatkan serangan balik.(*)
Tidaklah mengherankan ketika para ulama pada zamannya dan setelahnya(2) menyatakan pujian terhadapnya sebagai: “Pemimpin spirit sepanjang masa”, “Mahkota para Ulama”, “Seorang Ulama Penerang”, “Sebuah tanda diantara Tanda-tanda Allah.”
(*) A.H.A. Nadawi, Penyelamat Spirit Islam, vol. 2, Akademi Penelitian dan Penerbitan Islam, Lucknow, India, 1974, hal. 24.
Sumber: Fatwa Online
_________
Catatan kaki tambahan (dikutip dari buku terjemahan: Ibnu Taimiyah, Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi karya Syaikh Dr. Said Abdul Azhim, Cetakan Pertama, 2005; Penerbit: Pustaka Al-Kautsar).
(1) Ibnu Rajab berpendapat, bahwa orang-orang Mesir-lah yang mendalangi semua itu. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin berdebat dengan Syaikhul Islam, tetapi akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan sebuah pertemuan yang menghadirkan Ibnu Taimiyah dan disaksikan oleh khalayak ramai. Panitia pelaksana pertemuan itu adalah Baibas al-Jashmakir dan Nashr al-Mambaji, seorang musuh Syaikhul Islam, serta Ibnu Makhluf qadhi madzhab Maliki. Pertemuan ini berakhir dengan dikeluarkannya keputusan menahan Ibnu Taimiyah. Kemudian dia dipenjarakan ke penjara yang dikenal dengan nama Al-Jubb. Di sana Ibnu Taimiyah tinggal selama 1 tahun beberapa bulan. Dia menolak dibebaskan dengan syarat melepaskan beberapa keyakinannya (dikutip dari buku terjemahan: Ibnu Taimiyah, Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi karya Syaikh Dr. Said Abdul Azhim, hal. 50; Penerbit: Pustaka Al-Kautsar).
(2) Kesaksian para ulama tentang Ibnu Taimiyah:
1. Ibnu Sawar As-Subki
Ibnu Sawar As-Subki pernah mengatakan kepada sebagian orang yang ditemuinya, “Demi Allah, tidak membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang bodoh atau orang yang menurut hawa nafsunya, Orang bodoh tidak mengerti apa yang diucapkannya dan orang yang menuruti hawa nafsunya akan terhalang baginya kebenaran setelah ia mengetahuinya.
2. Ibnu Hariri Al-Hanafi
Ibnu Hariri Al-Hanafi berkata, “Jika Ibnu Taimiyah bukan syaikhul Islam, lantas siapa lagi yang disebut Syaikhul Islam itu?” Pada saat sidang penghakiman Ibnu Taimiyah ia menulis, “Sejak tiga ratus tahun silam, saya belum pernah melihat/menyaksikan ulama sekaliber Ibnu Taimiyah.”
3. Kamaluddin Az-Zamlakani
Kamaluddin Al-Zamlakani berkata: “Sejak lima ratus tahun silam belum pernah didapati orang yang paling hafal terhadap hadits selain dari Ibnu Taimiyah.”
Lanjut Al-Zamlakani, “Ia merupakan guru kami, teladan kami, ulama yang cerdas, al-hafizh, ahli zuhud, wira’i, teladan yang sempurna. Taqiyuddin Syaikhul Islam, pemimpin para ulama, teladan bagi ulama-ulama terdahulu, pembela As-Sunnah, pembasmi bid’ah, hujjah Allah bagi hamba-hamba-Nya, orang yang membantah kelompok-kelompok yang menyimpang, orang yang memuji para ulama, Mujahid kontemporer, Abu Al-Abbas Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdussalam Ibnu Taimiyah Al-Harani. Semoga Allah memuliakan derajatnya dan mengokohkan ajaran-ajaran agama-Nya melalui perantaraannya.
4. Ibnu Daqiq Al-Ied
Ibnu Daqiq Al-Ied ketika berjumpa dengan Ibnu Taimiyah berkata, “Saya tidak pernah mengira kalau Allah masih menciptakan orang sehebat kamu.”
5. I bnu Al-Wardi
Ibnu Al-Wardi berkata: “Saya pernah menghadiri forum-forum pengajian Ibnu Taimiyah. Para ulama di masanya adalah laksana orbit dan dia adalah porosnya, atau mereka adalah laksana tubuh dan dia adalah jiwanya. Ia menambah wawasan mereka laksana matahari memberi sinar bagi bulan. Pada suatu hari saya menghadap kepadanya dalam rangka menanyakan jawaban tentang suatu persoalan. Jawaban yang diberikan sungguh sangat tepat. Setelah itu ia memberi gelar kepada saya dan mencium kening saya, tepatnya di atas kedua mata kanan saya, lalu saya melantunkan syair untuknya:
“Ibnu Taimiyah, dalam semua bidang ilmu, adalah orang yang paling pakar
Wahai Ahmad (Ibnu Taimiyah), Engkau telah menghidupkan kembali
Agama dan syari’at yang dibawakan oleh Ahmad (Nabi Muhammad)”
6. Abu Al-Hajjaj Yusuf Ibnu Az-Zakki Al-Mizzi Asy-Syafi’i
Beliau pernah berkata, “Saya belum pernah menjumpai orang yang sehebat Ibnu Taimiyah, dan dia sendiri belum pernah menjumpai orang yang sehebat dirinya. Saya belum pernah menjumpai orang yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan orang yang paling patuh dengan keduanya, selain Ibnu Taimiyah.
7. Syaikh Ibrahim Ar-Raqqi
Beliau berkata, “Syaikh Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah adalah ulama yang dapat diserap/diambil ilmunya dan diteladani di berbagai disiplin ilmu. Seandainya umurnya panjang niscaya ia akan mengisi bumi ini dengan ilmu. Dia selalu menegakkan kebenaran sehingga ada sebagian orang memusuhinya, dan dia adalah ulama yang tergolong pewaris para nabi.
8. Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ibnu Hajar berkata, “Popularitas Ibnu Taimiyah lebih bersinar daripada matahari. Pemberian gelar “Syaikhul Islam” kepada Ibnu Taimiyah tetap abadi sampai sekarang dan gelar itu akan selalu abadi di masa yang akan datang, sebagaimana gelar itu abadi di masa yang silam. Tidak ada orang yang akan mengingkari gelar itu kecuali orang yang tidak mengetahui tentang kapasitas dirinya.
9. Syaikh Imaduddin Al-Wasithi
Al-Wasithi menguraikan tentang pesan para murid Ibnu Taimiyah: “Ketahuilah wahai saudara-saudaraku tentang nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kalian semua! Ketahuilah jalan yang benar untuk mencapainya. Dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah dianugerahkannya! Allah telah mengutus kepada kita di zaman sekarang ini seorang ulama yang membuka pintu-pintu hati yang tertutup, dan menegakkan agama dari segala syubhat dan penyelewengan! Ketahuilah hak dan kehormatan orang ini (Ibnu Taimiyah) dan orang tidak akan mengetahui hak dan kapasitas/ukuran dirinya kecuali ia mengetahui ajaran agama Rasulullah, hak dan kehormatannya. Hendaklah kalian menjaga etika terhadapnya, mengerjakan apa yang diperintahkannya, menjaga kehormatannya, mencintai orang yang dicintainya dan membenci orang yang dibencinya! Jika kalian telah mengetahui semua itu, mudah-mudahan Allah mengokohkan pendirian kalian. Dengan demikian jagalah hatinya, sebab orang seperti dia merupakan orang yang agung di kerajaan langit.”
Inilah kondisi di masa Ibnu Taimiyah yang harus dihadapinya. Ibnu Taimiyah membentuk sebuah perkumpulan bersama dengan murid-murid dan pengikutnya untuk menolak pemujaan politheis, pemujaan Islam, pemujaan yang dipengaruhi dengan kepercayaan dan praktek-praktek bid’ah diantara kaum Muslimin. Sebagai akibat dari semangat dan keteguhan reformasi dakwahnya dan celananya terhadap kebid’ahan, perkara-perkara baru dalam Islam, ziarah ke kubur-kubur para wali, ia menuai kebencian dari beberapa kelompok. Meskipun demikian, kepopulerannya diantara kaum Muslimin semakin meningkat tajam.
Jihad terhadap musuh-musuh Islam tidak menolong Ibnu Taimiyah terhadap para ulama. Pemerintah memenjarakannya beberapa kali karena keberaniannya dan kebebasannya dalam mengemukakan pendapatnya yang progresif dalam masalah hukum dan sosial yang mengundang kemarahan musuh-musuhnya, para pengikut mazhab ortodoks.
Namun demikian ketika Ibnu Taimiyah memiliki kesempatan untuk membalas musuh-musuhnya dikalangan ulama, yang menimbulkan banyak kesulitan dan memasukkannya ke penjara beberapa kali, dia menunjukkan keluhuruhan budi pekertinya yang luar biasa dan memaafkan mereka ketika Sultan an-Nasir Qalawun memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukannya, “jika engkau membunuhnya engkau tidak akan pernah menemukan ulama seperti mereka.” Sultan berkata: “Mereka menyakitimu berkali-kali dan ingin membunuhmu!” Ibnu Taimiyah menjawab: “Barangsiapa yang menyakitiku maka ia terbebas, dan siapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan menghukumnya.
Sejarawan Muslim seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Al-Imad Al-Hambali dan banyak lainnya menyanjung Ibnu Taimiyah dan menganggap beliau sebagai ulama terbesar Islam sepanjang sejarah.
Beliau berjuang menghadapi kebid’ahan dalam agama yang tersebar luas di zamannya di seluruh negeri Muslim, khususnya beberapa kegiatan dan kepercayaan sufi, seperti pengagungan para wali, mengunjungi kuburan wali, dan menceburkan diri ke dalam api. Serangannya terhadap kaum sufi telah menyebabkan dia mengalami banyak kesulitan dengan pihak penguasa dimana pimpinannya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sufi.
Sebagai akibat ketenaran Ibnu TAimiyah, beberapa ulama berpengaruh menjadi dengki kepadanya bahkan jengkel karena beliau menantang Qadhi dalam masalah-masalah hukum. Kemudian mereka menempuh berbagai cara untuk mendiskreditkan Ibnu Taimiyah di mata pemerintah dan masyarakat. Ibnu Taimiyah menolak ajaran-ajaran yang diuraikan dalam buku-buku Al-Fatuhat Al-Makkah dan Fusus Al-Hakim dari Ibnu Arabi (wafat 638 H/1240 M), seorang sufi yang paling dihormati dan guru tasawuf –karena ketidaksesuaiannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga menuai kegusaran kaum sufi, dan karena berbicara secara terang-terangan mengenai kebijakan pemerintah, ia menuai permusuhan dari pemerintah. Akibatnya, ia dipanggil ke Mesir pada tahun 705 H/1305 M.
Ketika Ibnu Taimiyah tiba di Mesir, ia diminta untuk menghadiri pertemuan para agamawan, hakim, dan kepala pemerintahan. Dalam kesempatan ini beberapa hal dituduhkan kepadanya berkenaan dengan konsepnya mengenenai wujud dan sifat Allah. Dia tidak diizinkan untuk membela diri, dan dimasukkan ke penjara selama 16 bulan. (1) Ketika di dalam penjara, dia mengalihkan perhatian para pengikutnya dari bermanja pada kesenang-kesenangan kepada keshalihan, disiplin dan kesederhanaan. Sejumlah penghuni penjara menjadi pengikutnya yang setia ketika dibebaskan.
Setelah dibebaskan pada tahun 707 H/1307 M Ibnu Taimiyah memutuskan untuk menetap di Mesir selama beberapa waktu. Segera setelahnya ia mengajar di beberapa masjid dan lembaga pendidikan dihadap beberapa ulama, hakim dan theolog terpilih. Namun demikian, pandangan Ibnu Taimiyah mengenai pantheis monoisme, tawasul, dan lain-lain tidak diterima baik dan beberapa pengaduan diajukan kepada Sultan. Para ulama yang mengajukan pengaduan tidak dapat menemukan kesalahan pada Ibnu Taimiyah. Namun karena pemerintah telah jemu menghadapi tuntutan terhadapnya, ia ditahan untuk sementara tetapi kemudian dibebaskan dengan kesepakatan permintaan para ulama agama. Tetapi ketika Sultan Qalawun turun tahta dan digantikan oleh raja Muda Bayban al-Jashnikir 709 H/1309 H, Ibnu Taimiyah diasingkan ke Alexandria, dimana meskipun dalam pengasingannya, ia mendapatkan posisi terhormat di kalangan akademis dan cendekiawan. Kemudian Bayban segera melepasnya dan Sultan Qalawun kembali ke Mesir dan memerintahkan Ibnu Taimiyah untuk kembali.
Kembali ke Damaskus
Di Kaior, Ibnu Taimiyah menyibukkan dirinya dengan mengajarkan aktivitas reformatifnya kurang lebih 3 tahun, ia bertindak sebagai penasihat Sultan dan menjadi alat bagi penerapan beberapa perubahan di Mesir dan Syria. Beberapa peraturan kesultanan diterbitkan berkenaan dengan nasihatnya di tahun 712 H/1312 M. Beliau berkunjung ke Jerussalem pada tahun yang sama, kemudian berangkat Haji dan akhirnya kembali ke Damaskus pada tahun 713 H/1313 M. Sejak saat itu beliau memusatkan perhatiannya terutama pada masalah-masalah hukum dan tetap melanjutkan kegiatan mengajarnya. Murid beliau yang paling menonjol adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat tahun 751 H/1350 M) yang paling banyak menyebarkanluaskan pemikirannya.
Permasalahan Talak Tiga
Ibnu Taimiyah, sebagaimana ayah dan kakeknya, adalah pengikut madzhab Hambali, dan pemikirannya menunjukkan hal itu, meskipun tidak secara eksklusif. Dia terkadang menolak pendapat Hambali sebagaimana di beberapa permasalahan dia menunjukkan perbedaan dengan pemikiran dari keempat madhzab. Salah satu kasusnya dimana dia berbeda dengan pendapat mereka adalah dalam persoalan penolakan seseorang terhadap isterinya dengan menjatuhkan tiga talak dalam waktu yang bersamaan.
Persoalannya, apakah talak yang diucapkan tiga kali pada saat yang bersamaan memiliki dampak hukum atau tidak. Persoalan ini memunculkan beberapa hal berikut:
• Apakah penarikan kembali (pembatalan) talak yang semacam ini dimungkinkan atau tidak.
• Apakah tiga perkataan tiga kali talak akan dihitung sebagai satu ucapan talak yang dapat dibatalkan atau merupakan talak yang tidak dapat diubah lagi.
• Apakah isteri yang diceraikan dapat kembali kepada suaminya atau tidak tanpa halaalah (sampai isteri yang diceraikan menikah dengan laki-laki lain, yang mana setelah melakukan hubungan pada pernikahan tersebut, kemudian bercerai).
Semua pemikiran madzhab, sebagaimana sejumlah sahabat berpandangan bahwa pengucapan talak tersebut, meskipun menjijikkan baik menurut hukum maupun merupakan hal yang tidak biasa dan berdosa, dipandang mempunyai implikasi hukum jatuhnya talak tiga. Bertentangan dengan hal tersebut, Ibnu Taimiyah secara tegas berpegang pada pendapat bahwa talak yang diucapkan tiga kali pada saat yang bersamaan tersebut dianggap sebagai satu kali talak. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bertentangan dengan pendapat yang umum berlaku yang menyebabkan beliau berselisih dengan para ulama di satu sisi, dan pemerintah di sisi lain.
Sebagai akibatnya, dia dicegah dari mengekspresikan pendapatnya untuk hal-hal seperti itu. Bahkan, peraturan pemerintah dikeluarkan di Kairo pada tahun 718 H/1318 M, yang melarangnya untuk memberikan fatwa dalam hal-hal serupa.
Pada awalnya Ibnu Taimiyah mentaati larangan tersebut, namun kemudian beliau kembali memberikan fatwanya dalam permasalahan ini dan memutuskan bahwa tidak selayaknya dia berhenti hanya karena takut terhadap pemerintah. Sebagai akibatnya pada tahun 720 H/1320 M, ia ditahan di benteng selama 5 bulan, kemudian dibebaskan atas perintah langsung dari Kairo.
Tahun-tahun Terakhir
Antara tahun 721 H/1321 M dan 726 H/1326 M, Ibnu Taimiyah mendedikasikan dirinya untuk mengajar di Madrasah Hambaliyah dan di Madrasah miliknya Qassassin dan merevisi beberapa hasil karya awalnya. Pada tahun 726 H/1326 M, musuh-musuhnya kembali bekerja sama untuk memenjarakan beliau. Di sini beliau tetap melanjutkan menulis tafsir Al-Qur’an dan juga risalah ilmiah dalam beragam permasalahan.
Ibnu Taimiyah meninggal di penjara di Damaskus pada Minggu-Senin malam tanggal 20 Dzulkaidah 728 H/1328 M dalam usia 67, dan dimakamkan di pemakaman Sofiyyah di Damaskus.
Penduduk Damaskus, yang memiliki kehormatan yang besar kepadanya, memberikan pemakan yang luar biasa dan diperkirakan dihadiri oleh 200.000 laki-laki 15.000 wanita. Ia dikuburkan di pemakaman Sofiyyah dimana ibunya dimakamkan.
Karakter dan Prestasinya
Ibnu Taimiyah menduduki tempat yang sangat terhormat diantara ulama di zamannya disebabkan banyaknya kenangan, intelektual yang cemerlang, pengetahuan bak ensiklopedi dan keberaniannya. Ia digambarkan sebagai seorang orator ulung, pemberani, tegas, disiplin, sangat alim, suka mengalah, pejuang, berbudi pekerti mulia dan pemaaf, dan berpendirian teguh.
Usaha reformatif Ibnu Taimiyah dan pencarian ilmu meliputi tema yang luas, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Membangkitkan keimanan dalam ketaatan terhadap tauhid (pengesaan Allah)
2. Memberantas kepercayaan pantheis dan budaya
3. Kritik terhadap filsafat, pemikiran silogistik, dan berdebat dalam rangka menunjukkan superioritas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Memberantas kepercayaan anti Islam melalui penentangan terhadap Kristen dan Syi’ah
5. Pembaharuan pemikiran Islam dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya
Jumlah Total Karya Ibnu Taimiyah 621 yang mana banyak hasil karyanya telah hilang. Beberapa karya Ibnu Taimiyah berhubungan dengan tema sebagai berikut:
1. Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-Masih (jawaban atas kritik terhadap Islam oleh Kristen)
2. Radd ala al-Mantiqyyin (bantahan terhadap filsafat)
3. Kitab As-Siyasah As-Sar’iyyah (berhubungan dengan teori politik dan pemerintahan Islam)
4. Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah (bantahan terhadap keyakinan Syi’ah ditulis sebagai jawaban atas Minhaj Al-Karamah oleh Ibnu Al-Mutahhir Al-Hilli).
5. Ziyarah Al-Qubur (kritik terhadap pengagungan para wali, tawasul dan kepercayaan tahyul)
6. Majmu’at ar-Rasa’il al-Kubra (mencakup risalah dari berbagai disiplin ilmu)
7. Majmu’at al-Fatawa (kumpulan fatwa dalam berbagai perkara)
8. Majmu’at ar-Rasa’il wa Majmu’at al-Masa’il (kumpulan risalah dan fatwa dalam berbagai perkara)
9. Majmu’at Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah (berisi pemaparan jurispudensi Islam dan fatwa yang diucapkan Ibnu Taimiyah)
Kesimpulan
Untuk menyertakan dalam perkataan Maulana Abu Al-Hasan ‘Ali Nadwi yang telah yang telah memberikan penghormatan kepada Ibnu Taimiyah:
“Ibnu Taimiyah menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, menegakkan superioritas Islam atas kebid’ahan, konsep filsafat dan keyakinan lainnya dan memberikan kontribusi bagi pembaharuan agama yang murni, setelah melalui penelitian yang mendalam dan pertimbangan yang diperlukan bagi penerangan atas penyimpangan agama dan intelektual pada masa itu. Dalam rangka untuk mengalahkan musuh-musuhnya, ia menguasai metodologi yang digunakan mereka (musuh-musuhnya – pent.) untuk menyerang Islam. Bahkan, pembelajrannya, karya ilmiahnya, pencapaian intelektual dan ketabahan mentalnya membuat musuh-musuhnya mendapatkan serangan balik.(*)
Tidaklah mengherankan ketika para ulama pada zamannya dan setelahnya(2) menyatakan pujian terhadapnya sebagai: “Pemimpin spirit sepanjang masa”, “Mahkota para Ulama”, “Seorang Ulama Penerang”, “Sebuah tanda diantara Tanda-tanda Allah.”
(*) A.H.A. Nadawi, Penyelamat Spirit Islam, vol. 2, Akademi Penelitian dan Penerbitan Islam, Lucknow, India, 1974, hal. 24.
Sumber: Fatwa Online
_________
Catatan kaki tambahan (dikutip dari buku terjemahan: Ibnu Taimiyah, Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi karya Syaikh Dr. Said Abdul Azhim, Cetakan Pertama, 2005; Penerbit: Pustaka Al-Kautsar).
(1) Ibnu Rajab berpendapat, bahwa orang-orang Mesir-lah yang mendalangi semua itu. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin berdebat dengan Syaikhul Islam, tetapi akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan sebuah pertemuan yang menghadirkan Ibnu Taimiyah dan disaksikan oleh khalayak ramai. Panitia pelaksana pertemuan itu adalah Baibas al-Jashmakir dan Nashr al-Mambaji, seorang musuh Syaikhul Islam, serta Ibnu Makhluf qadhi madzhab Maliki. Pertemuan ini berakhir dengan dikeluarkannya keputusan menahan Ibnu Taimiyah. Kemudian dia dipenjarakan ke penjara yang dikenal dengan nama Al-Jubb. Di sana Ibnu Taimiyah tinggal selama 1 tahun beberapa bulan. Dia menolak dibebaskan dengan syarat melepaskan beberapa keyakinannya (dikutip dari buku terjemahan: Ibnu Taimiyah, Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi karya Syaikh Dr. Said Abdul Azhim, hal. 50; Penerbit: Pustaka Al-Kautsar).
(2) Kesaksian para ulama tentang Ibnu Taimiyah:
1. Ibnu Sawar As-Subki
Ibnu Sawar As-Subki pernah mengatakan kepada sebagian orang yang ditemuinya, “Demi Allah, tidak membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang bodoh atau orang yang menurut hawa nafsunya, Orang bodoh tidak mengerti apa yang diucapkannya dan orang yang menuruti hawa nafsunya akan terhalang baginya kebenaran setelah ia mengetahuinya.
2. Ibnu Hariri Al-Hanafi
Ibnu Hariri Al-Hanafi berkata, “Jika Ibnu Taimiyah bukan syaikhul Islam, lantas siapa lagi yang disebut Syaikhul Islam itu?” Pada saat sidang penghakiman Ibnu Taimiyah ia menulis, “Sejak tiga ratus tahun silam, saya belum pernah melihat/menyaksikan ulama sekaliber Ibnu Taimiyah.”
3. Kamaluddin Az-Zamlakani
Kamaluddin Al-Zamlakani berkata: “Sejak lima ratus tahun silam belum pernah didapati orang yang paling hafal terhadap hadits selain dari Ibnu Taimiyah.”
Lanjut Al-Zamlakani, “Ia merupakan guru kami, teladan kami, ulama yang cerdas, al-hafizh, ahli zuhud, wira’i, teladan yang sempurna. Taqiyuddin Syaikhul Islam, pemimpin para ulama, teladan bagi ulama-ulama terdahulu, pembela As-Sunnah, pembasmi bid’ah, hujjah Allah bagi hamba-hamba-Nya, orang yang membantah kelompok-kelompok yang menyimpang, orang yang memuji para ulama, Mujahid kontemporer, Abu Al-Abbas Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdussalam Ibnu Taimiyah Al-Harani. Semoga Allah memuliakan derajatnya dan mengokohkan ajaran-ajaran agama-Nya melalui perantaraannya.
4. Ibnu Daqiq Al-Ied
Ibnu Daqiq Al-Ied ketika berjumpa dengan Ibnu Taimiyah berkata, “Saya tidak pernah mengira kalau Allah masih menciptakan orang sehebat kamu.”
5. I bnu Al-Wardi
Ibnu Al-Wardi berkata: “Saya pernah menghadiri forum-forum pengajian Ibnu Taimiyah. Para ulama di masanya adalah laksana orbit dan dia adalah porosnya, atau mereka adalah laksana tubuh dan dia adalah jiwanya. Ia menambah wawasan mereka laksana matahari memberi sinar bagi bulan. Pada suatu hari saya menghadap kepadanya dalam rangka menanyakan jawaban tentang suatu persoalan. Jawaban yang diberikan sungguh sangat tepat. Setelah itu ia memberi gelar kepada saya dan mencium kening saya, tepatnya di atas kedua mata kanan saya, lalu saya melantunkan syair untuknya:
“Ibnu Taimiyah, dalam semua bidang ilmu, adalah orang yang paling pakar
Wahai Ahmad (Ibnu Taimiyah), Engkau telah menghidupkan kembali
Agama dan syari’at yang dibawakan oleh Ahmad (Nabi Muhammad)”
6. Abu Al-Hajjaj Yusuf Ibnu Az-Zakki Al-Mizzi Asy-Syafi’i
Beliau pernah berkata, “Saya belum pernah menjumpai orang yang sehebat Ibnu Taimiyah, dan dia sendiri belum pernah menjumpai orang yang sehebat dirinya. Saya belum pernah menjumpai orang yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan orang yang paling patuh dengan keduanya, selain Ibnu Taimiyah.
7. Syaikh Ibrahim Ar-Raqqi
Beliau berkata, “Syaikh Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah adalah ulama yang dapat diserap/diambil ilmunya dan diteladani di berbagai disiplin ilmu. Seandainya umurnya panjang niscaya ia akan mengisi bumi ini dengan ilmu. Dia selalu menegakkan kebenaran sehingga ada sebagian orang memusuhinya, dan dia adalah ulama yang tergolong pewaris para nabi.
8. Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ibnu Hajar berkata, “Popularitas Ibnu Taimiyah lebih bersinar daripada matahari. Pemberian gelar “Syaikhul Islam” kepada Ibnu Taimiyah tetap abadi sampai sekarang dan gelar itu akan selalu abadi di masa yang akan datang, sebagaimana gelar itu abadi di masa yang silam. Tidak ada orang yang akan mengingkari gelar itu kecuali orang yang tidak mengetahui tentang kapasitas dirinya.
9. Syaikh Imaduddin Al-Wasithi
Al-Wasithi menguraikan tentang pesan para murid Ibnu Taimiyah: “Ketahuilah wahai saudara-saudaraku tentang nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kalian semua! Ketahuilah jalan yang benar untuk mencapainya. Dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah dianugerahkannya! Allah telah mengutus kepada kita di zaman sekarang ini seorang ulama yang membuka pintu-pintu hati yang tertutup, dan menegakkan agama dari segala syubhat dan penyelewengan! Ketahuilah hak dan kehormatan orang ini (Ibnu Taimiyah) dan orang tidak akan mengetahui hak dan kapasitas/ukuran dirinya kecuali ia mengetahui ajaran agama Rasulullah, hak dan kehormatannya. Hendaklah kalian menjaga etika terhadapnya, mengerjakan apa yang diperintahkannya, menjaga kehormatannya, mencintai orang yang dicintainya dan membenci orang yang dibencinya! Jika kalian telah mengetahui semua itu, mudah-mudahan Allah mengokohkan pendirian kalian. Dengan demikian jagalah hatinya, sebab orang seperti dia merupakan orang yang agung di kerajaan langit.”
No comments:
Post a Comment