Thursday, December 20, 2007

Penetapan Sengsara dan Bahagia Lebih Awal tidak Menuntut Ditinggalkannya Usaha dan Amal


Oleh : Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Banyak orang yang mengemukakan jika qadha' dan qadar itu telah ditetapkan lebih awal dari penciptaan makhluk ini, maka dengan demikian tidak ada lagi manfaat dan faidah semua usaha dan amal perbuatan. Apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta 'ala sudah pasti akan terjadi, sehingga hal itu menyebabkan amal perbuatan tidak lagi membawa manfaat.

Mengenai hal ini telah dikemukakan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallama. Maka beliau pun memberikan jawaban kepada mereka bahwa dalam hal itu terdapat hikmah dan petunjuk.

Sedangkan dalam buku Shahih Bakhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia menceritakan, kami pernah mengurus seorang jenazah di Baqi'il Gharqad[1], lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallama datang dan duduk, maka kami pun ikut duduk di sekelilingnya. Di tangan beliau terdapat sebatang kayu, lalu beliau membaliknya dan menghentak-hentakkan ke tanah seraya bersabda, "Tidaklah salah seorang di antara kalian, tidak ada jiwa yang ditiupkan kecuali telah dituliskan tempatnya di surga dan neraka. Jika tidak, telah ditetapkan seng-sara atau bahagia."

Kemudian salah seorang bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar saja pada kitab kita dan meninggalkan amal? Barangsiapa di antara kita yang termasuk orang-orang yang berbahagia, maka ia akan mengerjakan amal orang-orang yang berbahagia. Sedangkan siapa di antara kita yang termasuk orang-orang sengsara, maka ia akan mengerjakan amal orang-orang yang sengsara."

Maka beliau bersabda, "Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka diberikan kemudahan untuk mengerjakan amal orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan baginya menuju pada amal orang-orang yang sengsara."

Kemudian beliau membaca ayat:

"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adanya orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cakup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. " (Al-Lail: 5-10)[2]

Sedangkan pada sebagian thuritq Bukhari disebutkan, "Mengapa kita tidak bersandar pada kitab (catatan) kita saja dan meninggalkan amal, karena orang yang termasuk golongan yang berbahagia akan diarahkan kepada amal orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang yang termasuk golong¬an sengsara akan diarahkan kepada amal orang-orang yang sengsara."'[3]

Diriwayatkan dari Abu Zubair bin Abdullah, ia menceritakan, Suraqah bin Malik bin Ju'syam datang dan berkata, "Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami mengenai agama kami, sehingga seolah-olah kami diciptakan sekarang. Lalu untuk apa amal perbuatan sekarang ini, apakah untuk sesuatu yang telah dituliskan (ditetapkan) oleh pena dan telah menjadi ketetapan takdir ataukah untuk perbuatan yang akan dikerjakan?" Lebih lanjut ia bertanya, "Lalu untuk apa amal perbuatan?" Beliau menjawab, "Berbuatlah, karena masing-masing akan diberikan kemudahan."[4]

Dan dari Imran bin Hushain, ia bercerita, pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallama,"Ya Rasulullah, apakah penghuni surga mengetahui siapa penghuni neraka itu?" Beliau menjawab, "Ya." Ke¬mudian ditanyakan lagi, "Lalu untuk apa orang-orang itu berbuat?" Beliau menjawab, "Masing-masing telah dimudahkan mencapai apa yang diciptakan baginya."[5] (Muttafaqun 'alaih)

Dan pada sebagian jalan Bukhari disebutkan, "Masing-masing me¬ngerjakan apa yang telah diciptakan untuknya, atau dimudahkan untuknya."[6]

Juga diriwayatkan Imam Abu Dawud, ia menceritakan, dari Shafwan bin Isa dari Urwah bin Tsabit dari Yahya bin Aqil dari Abu Na'im dari Abu Aswad Al-Du'ali, ia menceritakan, pada suatu hari aku pernah mendatangi Imran bin Hasin. lalu ia menceritakan, ada seseorang dari suku Juhainah atau Muzinah datang kepada Nabi Shallallahn 'alaihi wa sallama dan bertanya. "Bagaimana menurut pendapatmu mengenai apa yang dikerjakan dan diusahakan manusia pada hari ini. Apakah hal itu karena takdir yang sudah ditentukan bagi mereka lebih dahulu dari pada apa yang akan mereka kerjakan dan usahakan tersebut?" Kemudian kujawab, "Benar, sudah ada takdir yang ditetapkan dan mendahului usaha mereka." Lalu ia bertanya, "Jika demikian halnya, untuk apa mereka itu berusaha dan beramal, ya Rasululah?" Beliau bertutur, "Barangsiapa yang oleh Allah Azza waJalla telah diciptakan baginya salah satu dari dua tempat (surga dan neraka), maka Dia telah menyiapkan pula amalan untuk mendapatkan salah satu tempat tersebut. Hal itu dibenarkan dalam
Al-Qur'an melalui firman-Nya:

"Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. " (Al-Syam 7-8)[7]

Al-Muhamali menceritakan, dari Ahmad bin Miqdam dari Mu'tamar bin Sulaiman, ia menceritakan, aku pernah mendengar Abu Sufyan memberi-tahukan sebuah hadits dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar. Ra-sulullah Shallallahu 'alaihi wa sallama pernah menuturkan, telah turun ayat. "Maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia." Lalu Umar berkata,"Wahai nabiyulah, atas dasar apa kita berbuat, atas suatu hal yang telah ditetapkan Allah atau yang belum ditetapkan-Nya?" Maka beliau pun menjawab, "Atas dasar suatu hal yang telah dituliskan qalam (pena). tetapi masing-masing diberikan kemudahan:

"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan ber-takwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan)yang sulit. (Al-Lail 5-10) "[8]

Hadits-hadits tersebut di atas secara sepakat menetapkan bahwa takdir yang telah ditetapkan lebih awal sebelum penciptaan manusia tidak menghalangi adanya usaha dan amal serta tidak juga mengharuskan manusia bersandar pada takdir itu sendiri. Tetapi sebaliknya, hal itu mengharuskan untuk be¬rusaha dan bersungguh-sungguh beramal. Oleh karena itu, sebagian sahabat yang mendengar hal itu berkata, "Aku tidak pernah merasa lebih serius dan bersungguh-sungguh berbuat dan berusaha dari sekarang ini."

Yang demikian itu menunjukkan pemahaman dan pengertian para sahabat yang cukup mendalam serta kebenaran ilmu mereka. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallama sendiri telah memberitahukan kepada mereka bahwa takdir yang ditetapkan lebih awal dan pemberlakuannya kepada umat manusia ini melalui sebab-sebab. Dengan demikian, seorang hamba akan mendapatkan apa yang telah ditetapkan baginya sesuai dengan sebab yang telah ditetapkan dan dipersiapkan baginya. Jika ia telah memunculkan sebab itu, maka Allah Tabaraka wa ta 'ala menyampaikannya pada takdir yang telah ditetapkan baginya dalam lauhul mahfuz. Dan setiap kali usaha dan kesungguhannya bertambah dalam mencapai sebab itu, maka kesampaiannya pada takdir tersebut lebih dekat pula dengannya.

Demikianlah, jika seseorang ditakdirkan sebagai seorang ilmuwan, maka ia tidak akan memperolehnya kecuali dengan usaha dan kesungguhan belajar dan memenuhi unsur-unsur yang mendukungnya mencapai hal itu. Dan jika ditakdirkan baginya mendapatkan keturunan, maka ia tidak akan memperoleh keturunan itu melainkan dengan cara nikah atau hubungan badan. Demikian juga jika ditakdirkan baginya mengolah sebidang tanah, maka ia tidak akan mendapatkannya kecuali dengan melalui sebab-sebab yang mengantarkannya kepada bercocok tanam. Jika ia ditakdirkan kenyang, maka ia tidak akan merasakannya kecuali dengan makan dan minum. Demikian itulah wujud dan keadaan hidup dan penghidupan.

Dengan demikian, orang yang tidak mau berbuat dan berusaha serta hanya bersandar pada takdir tersebut, maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak makan, minum, dan bergerak karena bersandar pada takdir yang telah ditetapkan baginya.

Dan Allah Subhanahu wa ta 'ala sendiri telah menciptakan fitrah umat manusia untuk berusaha dan bekerja keras mencapai sebab-sebab yang telah ditetapkan dalam kehidupan duniawi mereka, bahkan hal itu telah diciptakan Allah Azza waJalla bagi seluruh binatang. Demikian itulah sebab-sebab yang dengannya tercapai kemaslahan akhirat mereka. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Tuhan pemelihara dunia dan akhirat. Dan Dia Mahabijaksana atas sebab-sebab yang telah ditetapkan-Nya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan masing-masing makhluk-Nya telah diberikan kemudahan untuk mencapai apa yang telah ditetapkan baginya di dunia dan di akhirat.

Jika seorang hamba telah mengetahui bahwa kemaslahatan akhirat sangat erat kaitannya dengan sebab-sebab yang menghantarkan padanya, maka ia akan menjadi giat dan bersungguh-sungguh beramal mencapai sebab-se¬bab dan kemaslahatannya yang telah ditetapkan baginya di dunia. Dan orang yang mengatakan, "Aku tidak pernah merasakan keseriusan dan kesungguh¬an melebihi apa yang kurasakan saat ini," adalah orang yang benar-benar memahami hal tersebut.

Seorang hamba yang mengetahui bahwa menempuh jalan tersebut akan mengantarkannya kepada taman surga, tempat yang nyaman, kenikmatan yang melimpah, maka ia tidak akan mengenal kata lelah dan bahkan usaha dan keseriusannya semakin bertambah. Hal itu tergantung pada pengetahuannya akan hakikat hal tersebut.

Oleh karena itu, Abu Usman AI-Nahdi pernah mengatakan kepada Salman, "Terhadap penentuan takdir itu lebih menjadikanku lebih gembira." Yang demikian itu, karena jika telah ditetapkan baginya suatu takdir dan di-persiapkan baginya pahala serta dimudahkan baginya mencapai hal itu, maka kegembiraannya atas apa yang telah ditetapkan Allah Azza waJalla baginya itu lebih besar daripada kegembiraannya atas sebab-sebab yang akan dicapainya. Dengan demikian, seorang mukmin lebih gembira atas hal itu karena ia telah ditetapkan mendapatkan semuanya itu. Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama salaf, "Demi Allah, aku tidak menyukai jika semua urusanku diserahkan kepadaku, karena jika semuanya itu berada di tangan Allah, maka yang demikain itu lebih baik daripada berada di tanganku sendiri."

Dengan demikian takdir yang telah ditetapkan lebih awal itu sejalan dan seiring dengan amal-amal perbuatan serta apa yang ditentukan untuk itu, dan sama sekali tidak bertentangan. Barangsiapa yang telah meneguhkan pendiriannya, maka ia akan mendapatkan keuntungan berupa kenikmatan abadi. Dan barangsiapa tidak teguh pendiriannya, maka ia akan dicampakkan ke neraka jahim.

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallama sendiri telah membimbing umatnya dalam hal takdir ini kepada dua hal, yang kedua-duanya menjadi penyebab tercapainya kebahagiaan, yaitu: iman kepada takdir, yang demikian itu merupakan aturan tauhid. Dan kedua adalah mencapai sebab-sebab yang mengantarkan kepada kebaikan dan menjauhkan dari kejahatan, yang demiki¬an itu merupakan aturan syari'at. Selanjutnya beliau memerintahkan mereka untuk mentaati aturan tauhid tersebut namun para penentangnya menolak. Dan Allah Subhanahu wa ta 'ala telah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberikan petunjuk ke jalan yang lurus kepada yang dikehendaki-Nya.

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallama berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyatukan antara kedua hal tersebut kepada umatnya. Telah dikemukakan sebelumnya sabda beliau, "Kejarlah apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah serta janganlah kamu melemahkan diri." Karena orang yang melemahkan diri tidak memberikan keluasan pada dirinya untuk menerima kedua hal tersebut.




_______________
[]] Sebuah pemakaman di Madinah, tempat di mana penduduk Madinah dimakamkan. Di dalam pemakaman tersebut terdapat pohon Gharqad.
[2] Diriwayatkan Imam Bukhari (III/1362). Muslim (IV/2039/VI). Dan Abu Dawud (IV/4694)
[3] Diriwayatkan Imam Bukhari (VHI/4946) dari hadits Ali bin Abi Thalib.
[4] Diriwayatkan Imam Muslim (IV/Qadar/2040/8).
[5] Diriwayatkan Imam Bukhari (XIII/7551). Muslim (IV/2041/IX). Abu Dawud (IV/4709). Dan Imam Ahmad dalam Musnadnya. (IV/431)
[6] Diriwayatkan Imam Bukhari (XI/6596) dari hadits Imran bin Hashin.
[7] Diriwayatkan Imam Tirmidzi (IV/2141). Imam Ahmad (11/167). Disebutkan juga oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' (88), ia mengatakan hadits ini shahih.
[8] Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam buku Majma 'uz Zawaid (VII/194) hadits dari Umar bin Khatthab. Ia mengatakan hadits ini diriwayatkan Imam Thabrani dan Al-bazzar dan nya/nya shahih.

Sumber: Qadha dan Qadar (terjemahan Indonesia) cetakan pertama, hal. 57 - 61; Penerbit: Pustaka Al-Kautsar


2 comments:

  1. waaaahhh...blog-nya makin bagus :)
    sekarang cara penulisannya sudah sesuai dg penulisan ilmiah, pakai referensi dan sistem penomoran :)
    salut utk Kakak Rahma :)

    ReplyDelete
  2. aiiihh... mam, ini nyanjung pa nyandung..?? Itu bukan tulisan kk tapi Ibnu Qayyim.. yg nomorin pentahqiqnya, kk cuma nyalin doank... ~_~

    ReplyDelete