Sunday, December 09, 2007

Hukum Berdiam di Masjid bagi Wanita Haidh


Apa yang saya alami ini mungkin pernah dialami ukhty muslimah lainnya. Ketika sedang menghadiri kajian di masjid, diliputi rasa was-was kalau-kalau waktu haidh tiba, yang berarti terpaksa meninggalkan kajian sebelum berakhir. Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat selama ini yang banyak beredar adalah anggapan bahwa wanita haidh tidak boleh tinggal di dalam masjid.

Membaca sebuah risalah singkat “Tiga Hukum Wanita Haidh dan Junub” menimbulkan kelegaan. Alhamdulillah, seorang wanita yang memiliki semangat untuk menuntut ilmu syar’i dengan menghadiri majelis ilmu di masjid-masjid tidak lagi perlu khawatir memasuki periode menstruasi bersamaan dengan berlangsungnya kajian, karena sesungguhnya dalil yang dijadikan hujjah pelarangan wanita haidh berdiam di masjid adalah lemah, sebagaimana yang akan dipaparkan melalui kutipan dari risalah tersebut di atas.

Hukum Diam atau Tinggal di Masjid bagi Perempuan Haid

oleh: Abdul Hakim bin Amir Abdat


"... sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi perempuan yang haidh dan orang yang junub."

DHA'IF. Riwayat Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no. 1327), Baihaqiy (2/442-443) dan Ad Duulaabiy di kitabnya Al Kuna wal Asmaa' (1/150-151), dan jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, dari 'Aisyah marfu' (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di atas)

Berkata Bukhari, "Pada Jasrah ter¬dapat keanehan-keanehan." (Yakni, pada riwayat-riwayatnya terdapat keanehan-keanehan).1 Berkata Baihaqiy, "Hadits ini tidak kuat."2 Berkata Al Khathaabiy, "Hadits ini telah dilemahkan oleh jama'ah (ahli hadits)."3 Berkata Abdul Haq, "Hadits ini tidak tsabit (kuat) dari jurusan isnadnya." Berkata Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhallah (2/186) tentang seluruh jalan hadits ini, "Semuanya ini adalah batil."
Syaikhul Imam Al Albani telah melemahkan hadits ini di kitabnya Irwaaul Ghalil (no. 193). Dan beliau pun mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan atau perbedaan di dalam sanadnya. Di atas Aflat meriwayatkan dari Jasrah dari 'Aisyah. Dalam riwayat yang lain Jasrah meriwayatkan dari Ummu Salamah sebagaimana riwayat di bawah ini:
"Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan perempuan haidh."
DHA'IF. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 645) dari jalan Ibnu Abi Gha-niyyah, dari Abil Khaththaab Al Hajariy, dari Mahduh Adz Dzuhliy, dari Jasrah ia berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ummu Salamah, marfu' (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di atas).

Imam Abu Zur'ah Ar Raaziy berkata, "Yang benar adalah riwayat Jasrah dari Aisyah."4 Berkata Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla (2/186), "Adapun Mahduh telah gugur riwayatnya, ia telah meriwayatkan dari Jasrah riwayat-riwayat yang mu'dhal. Sedangkan Abul Khaththaab Al Hajariy majhul."

Saya berkata: Abul Khaththaab dan Mahduh dua orang rawi yang majhul sebagaimana diterangkan Al Hafizh Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/231 dan 417). Saya berkata: Selain dua riwayat dha'if di atas dan yang kedua lebih lemah dari yang pertama, yang mereka jadikan dalil tentang haramnya bagi orang yang junub dan perempuan haidh dan nifas untuk tinggal atau diam di masjid.

Dalil yang membolehkan wanita haidh untuk tinggal di masjid:

1. Dari 'Aisyah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, "Ambilkanlah untukku sajadah kecil5 di masjid." Jawabku, "Sesungguhnya aku sedang haidh." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu."

Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad dan Iain-lain. Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan 'Aisyah masuk ke dalam masjid walaupun sedang haidh. Dan ketegasan jawaban beliau kepada 'Aisyah menunjukkan bahwa haidhmu tidak menghalangimu masuk ke dalam masjid karena haidhmu tidak berada di tanganmu.

Ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas hanya menunjukkan bolehnya bagi perempuan haidh sekedar masuk ke dalam masjid atau melewatinya untuk satu keperluan kemudian segera keluar dari dalam masjid bukan untuk diam dan tinggal lama di dalam masjid.

Saya jawab: Subhaanallah! Inilah ta'thil, yaitu menghilangkan sejumlah faedah yang ada di dalam hadits 'Aisyah di atas. Kalau benar apa yang dikatakannya tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian kepada 'Aisyah bahwa dia hanya boleh masuk ke dalam masjid dalam waktu yang singkat atau melewatinya sekedar mengambil sajadah kecil beliau dan tidak boleh diam dan tinggal lama di dalam masjid. Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda secara umum masuk ke dalam masjid tanpa satupun pengecualian. Padahal saat itu 'Aisyah sangat membutuhkan penjelasan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkannya masuk ke dalam masjid dalam keadaan haidh. Sedangkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul yang telah disepakati. Oleh karena itu wajib bagi kita menetapkan dan mengamalkan keumuman sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu diper¬bolehkan bagi perempuan haidh untuk masuk ke dalam masjid secara mutlak, baik sebentar atau lama bahkan tinggal atau menetap di dalamnya sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan keempat.

2. Dan' Aisyah (ia berkata), "Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka..."

Berkata 'Aisyah, "Lalu perempuan itu datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan masuk Islam."

Berkata 'Aisyah, "Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid (yakni sebagai tempat tinggalnya)..."

Shahih riwayat Bukhari (no. 439).

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang boleh-nya bagi perempuan haidh untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasu¬lullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah untuk dia tidur dan menurut dalil keempat perempuan itu bekerja sebagai pembersih masjid, bahwa 'kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan tinggal di masjid.' Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di masjid bahkan mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haidh.
Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini merupakan setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haidh dan nifas untuk diam dan tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas di kitab shahihnya telah memberikan bab dengan judul:

"Bab: Tidurnya perempuan di masjid"

Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah, "Tinggal atau diamnya perempuan di dalam masjid."

3. Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam —atau seorang perempuan hitam—6 yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, "la telah mati." Beliau bersabda, "Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya." Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu —atau kubur perempuan itu-kemudian beliau menshalatinya.

Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337).

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini sama dengan yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu Islam kemudian tinggal dan menetap di masjid dan bekerja sebagai pembersih.

____________
Catatan kaki:
1 Tahdzibut Tahdzib (12/406) dan Nasbur Raayah (1/194).
2 (2/160) oleh Imam An Nawawi.
3 Tafsir Ibnu Katsir (1/501) dan Nasbur raayah (1/144) dan (2/160).
4 Tafsir Ibnu Katsir (1/501). Talkhisul Habir (1/140). NasburRaayah (1/194-195). 5 Al Khumrah ialah sajadah kecil yang cukup hanya untuk sujud.
6 Yang benar adalah seorang perempuan hitam yang tinggal di masjid dan pekerjaannya membersihkan masjid sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan bebe-rapa riwayat yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam mensyarahkan hadits ini (no.458) di Fathul Baari.

Sumber: Tiga Hukum Wanita Haidh dan Junub, oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit: Al-Qalam

No comments:

Post a Comment