Oelh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Firman Allah,
Allah mengabarkan bahwa bermegah-megahan merupakan kesibukan para penghuni dunia, yang membuat mereka lalai terhadap Allah dan hari akhirat, hingga kematian menghampiri mereka dan mereka masuk ke liang kubur, tapi toh mereka belum juga sadar dari bermegah-megahan yang melalaikan itu.
Firman Allah,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
"Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakjn, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya de¬ngan 'ainul-yaqin, kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu). " (At-Takatsur: 1-8).
Allah mengabarkan bahwa bermegah-megahan merupakan kesibukan para penghuni dunia, yang membuat mereka lalai terhadap Allah dan hari akhirat, hingga kematian menghampiri mereka dan mereka masuk ke liang kubur, tapi toh mereka belum juga sadar dari bermegah-megahan yang melalaikan itu.
Allah menjadikan puncaknya adalah masuk ke liang kubur dan bukan kematian. Hal ini dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak selamanya berada di dalam kubur, tapi mereka di sana hanya sekedar me-ngunjungi dan melalauinya. Sekali waktu mereka mengunjunginya ke¬mudian mereka dipindahkan dari sana, sebagaimana mereka di dunia yang mengunjunginya dan tidak menetap di sana selamanya. Sementara tempat yang kekal adalah surga atau neraka.
Allah tidak menetapkan siapa orang yang bermegah-megahan itu, tapi Dia membiarkan begitu saja tanpa menyebutkannya. Boleh jadi karena yang tercela adalah perbuatan bermegah-megahan dengan sesuatu itu sendiri dan bukan pelakunya, seperti jika dikatakan, "Canda dan bermain-main menyibukkanmu." Di sini tidak disebutkan apa jenis canda dan main-main itu. Boleh jadi yang dimaksudkan adalah kehendak yang tak terbatas, yaitu segala sesuatu yang dibuat bermegah-megahan oleh hamba, berupa berbagai sebab keduniaan, berupa harta, kedudukan, wanita, anak-anak, tanaman atau simbol-simbol yang tidak dimaksudkan untuk mencari Wajah Allah atau amalan yang tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semua ini termasuk bermegah-megahan yang melalaikan dari Allah dan hari akhirat. Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Abdullah bin Asy-Syikhkhir, bahwa dia berkata, "Aku mendekat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau sedang membaca alhaakum at-takaatsur. Lalu beliau bersabda, "Anak Adam berkata, 'Hartaku, hartaku. Apakah kamu mempunyai harta selain dari apa yang engkau shadaqahkan lalu berlalu, atau yang kamu makan lalu habis, atau pakaian yang kamu kenakan lalu lusuh?'"
Kemudian Allah memberikan ancaman yang kuat terhadap orang yang dilalaikan bermegah-megahan, ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kemegah-megahannya itu lenyap laksana debu yang beterbangan dan dia tahu bahwa dunia yang dia megah-megahkan itu ternyata hanyalah tipuan dan dusta belaka. Dia mendapatkan akibat kemegah-megahan itu memberatkannya dan tidak menguntungkannya. Dia pun menyesali kemegah-megahannya di sana sebagaimana dia menyesali perbuatan lain yang serupa. Dia mendapatkan siksaan dari Allah yang tidak pernah dibayangkannya, dan temyata kemegah-megahan yang membuatnya melalaikan Allah dan hari akhirat merupakan sebab yang paling besar dari siksa yang diterimanya. Dia disiksa di dunia dengan kemegah-megahannya, kemudian dia disiksa di Barzakh, kemudian dia disika lagi pada hari akhirat karena kemegah-megahan itu. Maka jadilah dia orang yang paling menderita karena kemegah-megahan itu. Sebab yang dia terima hanyalah kebinasaan tanpa ada keselamatan dan keuntungan. Dengan kemegah-megahannya itu dia tidak mendapatkan hasil apa pun kecuali hanya sedikit sekali, dan dia tidak mendapatkan bagian dari ketinggiannya di dunia selain dari kedudukan yang paling bawah di akhirat.
Sungguh itu merupakan kemegah-megahan yang hanya mendatangkan dosa, bukan kekayaan bagi orang fakir dan bukan kebaikan yang menghantarkan kepada kejahatan. Jika tabir sudah terkuak, maka pelakunya akan berkata, "Aduhai sekiranya aku dihidupkan kembali, sehingga aku dapat beramal dalam ketaatan kepada Allah sebelum aku meninggal. Hal ini telah dijelaskan Allah,
"Ya Rabbi, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. "(Al-Mukminun: 100).
Lalu perkataannya ini dijawab Allah dalam ayat yang sama,
"Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang di-ucapkannya saja."
Itu hanya sekedar ucapan di bibir semata. Allah tidak peduli dengan ucapan itu. Ketika mereka meminta lagi hal yang sama, maka jawaban yang sama juga disampaikan kepada mereka.
Perhatikan perkataan orang kafir ini, yang dimulai dengan "Ya Rabbi". Dia memohon pertolongan kepada Rabb-nya, kemudian berpaling kepada para malaikat yang diperintahkan untuk menghadirkan dirinya di hadapan Allah, seraya berkata, "Kembalikanlah aku". Kemudian dia menyampaikan alasan atas permohonannya agar dikembalikan lagi ke du¬nia dan dihidupkan kembali, bahwa dia akan melakukan amal shalih di masa mendatang sebagai ganti dari apa yang telah dia lakukan sebelum itu dengan harta, kedudukan, kekuasaan dan kekuatannya. Lalu dikatakan kepadanya, "Sekali-kali tidak. Tidak ada jalan bagimu untuk dikembalikan lagi ke dunia. Kamu telah diberi umur yang di dalamnya ada pelajaran yang dapat diambil bagi orang yang mau mengambil pelajaran."
Keadaan Allah Yang Mahamulia dan Maha pemurah dapat saja memenuhi permohonannya itu dan memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya, agar dia mengambil pelajaran dari masa lalunya. Tapi Allah mengabarkan bahwa permohonannya untuk dikembalikan lagi ke dunia hanya sekedar perkataan yang diucapkannya, tidak sungguh-sungguh dan tidak ada hakikat di dalamnya. Sebab karakter dan tabiatnya enggan untuk melakukan amal shalih, sekiranya permintaannya itu dipenuhi. Sebab itu hanya sekedar ucapan di bibir semata. Sekiranya dia diberi kesempatan sekali lagi dan dihidupkan kembali, maka dia akan melakukan lagi apa yang dilarang darinya dan dia termasuk para pendusta.
Hikmah Dzat Yang Paling Bijaksana dari segala yang bijaksana, kemuliaan, ilmu dan pujian-Nya, enggan untuk memenuhi apa yang dia pinta, karena tidak ada manfaatnya. Sekiranya dia dikembalikan lagi ke dunia, maka keadaannya yang kedua kali sama dengan keadaannya yang pertama kali, sebagaimana firman-Nya,
"Dan, jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, 'Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Rabb kami, serf a menjadi orang-orang yang beriman', (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. "(Al-An'am: 27-28).
Firman Allah, "Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin", jawaban syarat dari kalimat ini tidak tampak, yang menunjukkan kepada apa yang sudah disebutkan sebelum itu, yaitu kemegah-megahan yang melalaikan kalian. Sebab adanya kemegah-megahan ini dan akibatnya yang melalaikan dari apa yang mestinya diperhatikan ini terjadi ketika ilmul-yaqiin hilang dari diri kalian. Ilmul-yaqiin ialah ilmu yang menghantarkan orangnya kepada hukum yang penting, yang tidak diragukannya dan yang diterima kebenarannya. Sekiranya hakikat ilmu ini sampai ke hati dan menyatu dengannya, niscaya dia tidak akan dibuat lalai oleh sesuatu apa pun dari keharusannya. Sebab sekedar pengetahuan tentang keburukan sesuatu dan keburukan akibatnya, tidak cukup sebagai pendorong untuk meninggalkan sesuatu itu. Jika dia memiliki ilmul-yaqiin, maka dorongan yang ditimbulkan ilmu ini untuk meninggalkannya lebih kuat. Jika berupa ainul-yaqiin, seperti sejumlah hal-hal yang kasat mata, maka meninggalkan keharusan-keharusannya jarang terjadi.
Tentang makna ini Hassan bin Tsabit Radhiyallahu Anhu pernah berkata dalam syairnya, ketika menggambarkan Perang Badar,
sekiranya ada ilmul-yaqiin, mereka takkan berangkat ke sana
Firman Allah,
"Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui", ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan penguatan pengetahuan seperti firman-Nya, "Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. "(An-Naba': 4-5).
"Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui", ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan penguatan pengetahuan seperti firman-Nya, "Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. "(An-Naba': 4-5).
Ada pula yang berpendapat, itu bukan penguatan, tapi merupakan pengetahuan pertama ketika melihat akibat dan ketika kematian datang. Sedangkan ilmu kedua ada di alam kubur. Ini merupakan pendapat Al-Hasan dan Muqatil. Atha' juga meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Abbas. Ada beberapa hal yang menguatkan kebenaran pendapat ini:
- Faidah yang baru dan pengembalian kepada yang dasar merupa¬kan makna asalnya. Ada kemungkinan pengungkapan semacam ini, yang disertai dengan keagungan maknanya, namun tidak ada celah dalam kefasihan bahasanya. Penyelaan lafazh ثُمَّ /tsumma di antara dua pengetahuan, yang menggambarkan peningkatan antara dua tingkatan dalam waktu dan kedudukan.
- Pendapat ini sesuai dengan kenyataan. Orang yang ajalnya datang akan melihat dengan mata kepala sendiri hakikat keadaannya sebelum itu, kemudian dia mengetahui dengan ilmu-yaqiin ketika di dalam kubur dan sesudahnya. Ilmu ini lebih tinggi daripada ilmu yang pertama (ketika ajal datang).
- Ali bin Abu Thalib Radhiyalfahu Anhu dan lain-lainnya dari kalangan salaf memahami ayat ini sebagai siksa kubur. At-Tirmidzy berkata, "Kami diberitahu Abu Kuraib, kami diberitahu Hikam bin Sulaim Ar-Razy, dari Amr bin Abu Qais, dari Al-Hajjaj bin Minhal bin Amr, dari Zirr, dari Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, 'Kami senantiasa masih ragu tentang siksa kubur hingga turun alhaakum at-takaatsur'." Menurut Al-Wahidy, makna firman Allah, "Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui", ialah siksa di dalam kubur.
- Pendapat ini sesuai dengan firman Allah setelah itu, "Niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ainul-yaqin ". Melihat kali ini tidak sama dengan melihat yang pertama, yang dapat dilihat dari dua sisi: Tidak adanya pembatasan yang pertama dan pembatasan yang kedua dengan ainul-yaqiin, didahulukannya yang pertama dan penyertaan yang kedua.
Kemudian Allah mengakhiri surat ini dengan pengabaran yang menguatkan, yang disertai dengan huruf wawu untuk sumpah dan lam taukiid serta nun penguat bersyaddah yang menggambarkan pertanyaan tentang kenikmatan yang digunakan untuk bermegah-megahan. Setiap orang akan ditanya tentang nikmat yang diterimanya selagi di dunia, apakah dia menerimanya dari yang halal dan cara yang sewajamya ataukah tidak? Jika dia lolos dari pertanyaan ini, maka dia akan diberi pertanyaan berikutnya, apakah dia bersyukur kepada Allah dan digunakannya untuk menaati-Nya ataukah tidak?
...bersambung
...bersambung
No comments:
Post a Comment