Oleh : Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Yang pertama merupakan pertanyaan tentang sebab dan cara memperolehnya, yang kedua merupakan pertanyaan tentang cara penyaluran dan pemanfaatannya, seperti yang disebutkan di dalam Jami'At-Tmmdzy, dari hadits Atha' bin Abu Rabbah, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
Dari Abu Barzah, dia berkata, 'Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits shahih. Di dalam Jami’ At-Tirmidzy juga disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Dari hadits Az-Zubair bin Al-Awwam Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Ketika turun ayat, 'Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan’, maka Az-Zubair bertanya, 'Wahai Rasulullah, kenikmatan macam apakah yang ditanyakan kepada kami, karena dua kenikmatan itu hanya ada dua macam yang bewama hitam, yaitu korma dan air?' Beliau menjawab, 'Hal itu pun akan terjadi'."
Menurut At-Tirmidzy, ini hadits hasan. Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah yang semisal dengan hadits ini, dia berkata, "Kenikmatan itu hanya dua macam, yaitu musuh yang datang sementara pedang ada di pundak kami." Beliau menjawab, "Hal itu pun akan terjadi."
Sabda beliau, "Hal itu pun akan terjadi", boleh jadi yang dimaksudkan, kenikmatan itu akan terjadi dan diberikan kepada kalian. Jika dikembalikan kepada pertanyaan, maka pertanyaan akan disampaikan berkenaan dengan hal itu, karena korma dan air termasuk kenikmatan.
Hal ini ditunjukkan sabda beliau yang lain dalam hadits shahih, ketika para shahabat sedang memakan buah korma segar dan daging serta me-minum air yang dingin lagi segar, "Ini termasuk kenikmatan, yang kalian akan ditanya tentang hal ini pada hari kiamat." Ini merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan mensyukurinya dan melaksanakan haknya.
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Anas, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal/am, beliau bersabda,
Di dalam riwayat At-Tirmidzy juga disebutkan dari hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhuma, keduanya berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Segolongan mufasir berpendapat bahwa pemyataan ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang kafir, dan merekalah yang akan ditanya tentang kenikmatan itu. Mereka juga menyebutkan pendapat ini dari Al-Hasan dan Muqatil. Al-Wahidy juga memilih pendapat ini. Dia berhujjah dengan hadits Abu Bakar, "Ketika ayat ini turun, maka dia bertanya kepada Rasulullah ShattallahuAlaihi wa Sallam bersabda, "Apa pendapat engkau tentang makanan yang pernah kumakan bersama engkau di rumah Abul-Haitsam bin At-Taihan, yaitu berupa roti dari gandum dan daging, dengan air yang dingin lagi segar, apakah engkau takut bahwa ini termasuk kenikmatan yang kita akan ditanya tentang kenikmatan itu?" Beliau menjawab, "Pertanyaan itu hanya ditujukan kepada orang-orang kafir." Kemudian beliau membaca ayat, "Dan, Kami tidak menjatuhkan adzab melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. "(Saba': 17).
Menurut Al-Wahidy, zhahirnya menguatkan pendapat ini, sebab semua kandungan pemyataan di dalam surat memang tertuju kepada orang-orang musyrik dan sekaligus merupakan ancaman bagi mereka. Dari sisi makna juga menguatkan pendapat ini, bahwa orang-orang kafir tidak pernah memenuhi hak kenikmatan yang diberikan kepada mereka, karena mereka menyekutukan Rabb mereka dan menyembah selain-Nya. Karena itu mereka layak ditanya tentang kenikmatan yang pernah dianugerahkan kepada mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai teguran bagi mereka, apakah mereka sudah melaksanakan kewajiban dalam kenikmatan itu ataukah mereka menyia-nyiakan hak kenikmatan itu? Kemudian mereka disiksa karena tidak bersyukur, dengan cara mengesakan Pemberi nikmat.
Menurut Al-Wahidy, inilah makna dari perkataan Muqatil dan juga Al-Hasan. Dia berkata, "Tidak ada pertanyaan yang diajukan tentang kenikmatan kecuali kepada para penghuni neraka."
Kami katakan, di dalam lafazh ini dan tidak pula di dalam As-Sunnah yang shahih, tidak pula dalam dalil-dalil akal yang mengharuskan pengkhususan pemyataan terhadap orang-orang kafir. Bahkan menunat zhahir lafazh dan menurut As-Sunnah yang sudah jelas maknanya, menunjukkan keumuman pernyataan bagi siapa pun yang disifati sebagai orang yang dilalaikan kemegah-megahan. Jadi tidak ada alasan untuk mengkhususkan pernyataan kepada sebagian orang yang digambarkan dengan sifat itu.
Hal ini ditunjukkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ketika membawakan surat ini, "Hartaku, hartaku. Apakah kamu mempunyai harta selain dari apa yang engkau shadaqahkan lalu berlalu, atau yang kamu makan lalu habis, atau pakaian yang kamu kenakan lalu lusuh?" Yang berkata seperti itu bisa orang Muslim dan bisa juga orang kafir.
Hal ini juga ditunjukkan beberapa hadits di atas dan pertanyaan para shahabat kepada Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam dan pemahaman mereka secara umum, hingga mereka berkata kepada beliau, "Kenikmatan macam apakah yang ditanyakan kepada kami? Kenikmatan itu hanya dua hal yang berwarna hitam." Sekiranya pernyataan hanya tertuju kepada orang-orang kafir semata, tentunya beliau menjelaskan hal itu kepada mereka. Para shahabat memahaminya secara umum, dan beberapa hadits juga sudah jelas menunjukkan keumuman. Beliau yang mendapat wahyu Al-Qur'an pun menetapkan kepada mereka tentang pemahaman secara umum itu.
Tentang hadits Abu Bakar yang dijadikan dalil pendapat di atas, adalah hadits tidak shahih. Sementara hadits shahih yang berkaitan dengan kisah ini menunjukkan kebatilannya. Kami akan sampaikan lafazh-lafazhnya.
Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Pada suatu siang atau malam hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar, yang kemudian beliau berpapasan dengan Abu Bakar dan Umar. Beliau bertanya, "Apa yang menyebabkanmu keluar dari rumah kalian berdua pada saat-saat seperti ini?"
Abu Bakar dan Umar menjawab, "Rasa lapar wahai Rasulullah."
Beliau bersabda, "Adapun aku, demi diriku yang ada di Tangan-Nya, benar-benar keluar seperti yang menyebabkan kalian berdua keluar. Sekarang bangkitlah!"
Maka Abu Bakar dan Umar bangkit bersama beliau. Beliau menemui seseorang dari kalangan Anshar, yang ternyata shahabat yang dimaksud tidak berada di rumahnya. Ketika istrinya melihat kedatangan beliau, maka dia berkata, "Marhaban wa ahlan ".
Beliau bertanya, "Dimana Fulan?"
Wanita itu menjawab, "Dia pergi untuk mencari air tawar yang segar bagi kami."
Pada saat itu orang Anshar yang dimaksudkan datang. Dia me-mandang Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam dan dua orang rekannya. Dia berkata, "Segala puji bagi Allah, pada hari ini aku tidak mendapatkan tamu-tamu yang lebih mulia selain diriku."
Lalu orang Anshar itu beranjak lalu datang lagi sambil membawa tandan yang di dalamnya ada korma segar dan korma yang sudah dikeringkan. Dia berkata, "Makanlah hidangan ini!" Lalu dia akan mengambil tempat minum.
Beliau bersabda, "Tak perlu engkau memerah air susu."
Lalu orang Anshar itu menyembelih domba dan mereka pun makan dan minum. Setelah mereka kenyang, beliau bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, "Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah, kemudian kalian tidak kembali melainkan setelah mendapat kenikmatan ini."
Hadits shahih ini sudah jelas menunjukkan keumuman pernyataan dan tidak ditujukan hanya kepada orang-orang kafir semata. Kenyataan pun menguatkan tidak adanya pengkhususan itu. Di samping itu, kelalaian karena bermegah-megahan juga banyak terjadi di kalangan orang-orang Muslim, bahkan mayoritas di antara mereka dilalaikan oleh bermegah-megahan. Pernyataan Al-Qur'an ini bersifat umum bagi siapa pun yang mendengarnya. Apa yang berlaku bagi orang-orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga berlaku bagi orang-orang setelah itu. Hal ini sudah sama-sama diketahui sebagai urgensi agama, meskipun ditentang sebagian orang yang tidak memahami sabda beliau dari kalangan muta'akhirin.
Kita pada hari ini, orang-orang sebelum kita dan orang-orang sesudah kita, masuk dalam firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa ". (Al-Baqarah: 183). Begitu pula ayat-ayat yang lain, sebagaimana para shahabat yang juga termasuk dalam ma'lumat agama.
Firman Allah, "Bermegah-megahan telah melalaikan kalian "merupakan pernyataan yang ditujukan kepada setiap orang yang digambarkan dengan sifat ini. Banyak tingkatan kelalaian mereka karena bermegah-megahan itu, yang hanya bisa dihitung oleh Allah semata.
Boleh jadi ada yang bertanya, "Orang-orang Mukmin tidak dilalaikan oleh bermegah-megahan. Karena itu mereka tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan bagi orang yang lalai karenanya."
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut: Pernyataan seperti inilah yang mendorong orangnya untuk mengkhususkan ancaman itu hanya bagi orang-orang kafir, karena tidak memungkinkan bagi mereka untuk menakwilinya secara umum. Menurut mereka, orang-orang kafirlah yang lebih berhak menerima ancaman, sehingga mereka mengkhususkannya ancaman itu bagi orang-orang kafir.
Jawaban lebih lugas, pernyataan yang ditujukan kepada manusia karena keberadaannya sebagai manusia, seperti halnya cara yang ditempuh Al-Qur'an ketika menyampaikan celaan karena keberadaannya sebagai manusia, seperti firman-Nya,
Ayat-ayat lain yang senada cukup banyak.
Karena manusia itu terlepas dari segala kebaikan yang berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, maka hanya Allahlah yang dapat menyempurnnakannya dan menganugerahinya. Kebaikan itu tidak berasal dari dirinya sendiri. Sebab yang berasal dari dirinya hanyalah kebodohan yang bertentangan dengan ilmu dan kezhaliman yang bertentangan dengan keadilan. Setiap ilmu, keadilan dan kebaikan berasal dari Rabbnya, bukan dari dirinya. Jadi lalai karena bermegah-megahan merupakan tabiat dan karakterisuknya, yang sifat ini berasal dari dirinya. Dia tidak dapat keluar dari sifat ini kecuali ada pensucian Allah terhadap dirinya dan Allahlah yang menjadikannya berkehendak terhadap akhirat serta mementingkannya daripada bermegah-megahan di dunia. Hal ini terjadi jika Allah menganugerahinya. Jika tidak, maka dia kembali ke kebiasaannya semua di dunia yang suka bermegah-megahan.[1]
Tentang alasan mereka dengan ancaman yang dikhususkan bagi orang-orang kafir, maka dapat ditanggapi sebagai berikut: Ancaman yang disebutkan di sini merupakan persekutuan, yaitu pengetahuan ketika melihat apa yang ada di akhirat. Hal ini akan dialami setiap orang, yang tidak terjadi ketika di dunia. Firman Allah, "Kelak kalian akan mengetahui" tidak mengandung satu pun indikasi yang mengharuskan masuk neraka, apalagi kekal di dalamnya. Begitu pula tentang melihat neraka Jahim yang tidak mengharuskan orang yang melihatnya untuk masuk ke dalamnya. Sebab para nabi juga melihat neraka itu dengan mata kepala sendiri. Bahkan Allah sudah bersumpah bahwa semua makhluk, yang kafir dan yang Mukmin, yang baik dan yang jahat akan melihatnya.
"Dan, tidak ada seorang pun daripada kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb kalian adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. "(Maryam: 71).
Di dalam kalimat ayat ini tidak ada sesuatu pun yang menafikan keumuman pernyataan.
Tentang apa yang disebutkan dari Al-Hasan, "Tidak ada pertanyaan yang diajukan tentang kenikmatan kecuali kepada para penghuni neraka", jelas batil, entah kebatilan itu riwayat yang dinisbatkan kepadanya atau perkataan yang memang berasal dari dirinya. Sebab hadits-hadits shahih yang jelas menyanggahnya.
Tidak diragukan bahwa semacam surat ini dengan keagungan kedudukan dan kekerasan ancamannya, kandungannya yang berupa peringatan bagi manusia agar tidak bermegah-megahan yang melalaikan dan kesesuaian maknanya dengan mayoritas keadaan manusia, rasanya tidak mungkin hanya dikhususkan bagi orang-orang kafir, semenjak awal hingga akhirnya. Jelas hal itu tidak sesuai. Hal ini cukup dengan mengamati hadits-hadits marfu' yang berkaitan dengan masalah ini. Wallahu a 'lam.
Sekarang perhatikan celaan yang ditujukan kepada orang yang terus-menerus dilalaikan oleh bermegah-megahan selama hidupnya, hingga dia masuk ke dalam kubur, yang tidak pernah terbangun dari kelalaian. Bahkan bermegah-megahan itu telah menidurkan hatinya dan tidak membuatnya sadar, hingga dia berada dalam suasana mabuk karena kematian.
Keadaan-keadaan ini sangat sesuai dengan keadaan mayoritas manusia, yang berarti mengharuskan keumumannya.
Kemudian perhatikan pengaitan celaan dan ancaman dengan kemutlakan bermegah-megahan, tanpa ada pembatasan tentang siapa yang bermegah-megahan itu, agar bermegah-megahan masuk di dalamnya dengan seluruh sebab di dunia, dengan berbagai jenis dan ragamnya.
Di samping itu, lafazh at-takaatsur berdasarkan bentuk tafaa 'ul, yang mengharuskan pencarian setiap orang dari orang-orang yang bermegah-megahan, agar pelakunya bertambah banyak, sehingga orangnya menjadi lebih banyak dan sesuatu yang dijadikan bermegah-megahan. Yang mendorongnya berbuat begitu ialah anggapannya bahwa kemuliaan hanya bagi orang yang bermegah-megahan, seperti yang dikatakan dalam syair,
Tidaklah lebih banyak dalam kekayaan daripada mereka kemuliaan hanya milik orang yang merasa banyak kekayaannya
Kalaupun seseorang merasa hartanya banyak namun dia tidak bermegah-megahan, maka tidak membahayakan dirinya, seperti yang terjadi pada diri beberapa shahabat yang memang hartanya banyak, yang tidak membahayakan diri mereka, selagi mereka tidak bermegah-megahan dengan harta kekayaan itu. Siapa pun yang membanggakan kekayaannya kepada orang lain di dunia atau membanggakan kedudukannya atau apa pun, maka tindakannya itu akan membuatnya sibuk lalu lalai untuk lebih menonjolkan sisi akhirat. Jiwa yang mulia dan tinggi, yang memiliki keinginan yang luhur hanya merasa banyak kekayaannya karena sesuatu yang lebih kekal manfaatnya, sempurna dan suci, sehingga ia menjadi keberuntungan. Ia tidak suka menganggapnya banyak untuk selain itu. Bahkan dia akan berlomba dengan yang lain dalam hal ini. Ini merupakan kebanggaan yang mendatangkan kebahagiaan hamba.
Kebalikannya adalah saling bermegah-megahan di antara para penghuni dunia dengan sebab-sebab keduniaan. Ini merupakan bermegah-megahan yang melalaikan Allah dan hari akhirat, yang menyeret kepada kesialan. Akibat dari tindakan ini ialah kemiskinan dan kekecewaan.
Saling bermegah-megahan dengan sebab-sebab yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat merupakan bermegah-megahan yang masih disertai dzikir kepada Allah dan mengingat nikmat-Nya. Akibatnya keberuntungan yang kekal dan tidak akan sirna. Orang yang melakukannya tidak merasa hina ketika melihat orang lain lebih baik dari dirinya dalam perkataan, perbuatan dan lebih mendalam ilmunya. Jika dia melihat orang lain lebih banyak hasil kebaikan yang dipetiknya, yang tidak mampu dia lakukan sementara orang lain mampu, maka bermegah-megahan semacam ini tidak tercela dan tidak pula mengurangi keikhlasan hamba. Bahkan itu merupakan kompetisi yang sebenarnya dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Seperti inilah keadaan Aus dan Khazraj dalam persaingan mereka di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang sebagian saling membanggakan terhadap sebagian yang lain dalam sebab-sebab yang diridhai beliau dan untuk menolong beliau.
Begitu pula keadaan Umar dan Abu Bakar. Ketika Umar menyadari keunggulan Abu Bakar, maka dia berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah dapat lebih cepat darimu untuk mengerjakan sesuatu."
Siapa yang memperhatikan secara seksama kedudukan lafazh كَلاَّ /kallaa di dalam surat ini, maka sesungguhnya lafazh ini mengandung penghadangan terhadap mereka, teguran terhadap kemegah-megahan mereka dan penafian terhadap angan-angan mereka tentang manfaat yang diperoleh dari bermegah-megahan itu, kemuliaan dan kesempurnaan diri mereka karenanya. Lafazh ini mengandung larangan dan penafian. Allah mengabarkan kepada mereka bahwa mereka harus mengetahui akibat dari kemegah-megahan mereka dengan pengetahuan yang terus-menerus. Mereka harus melihat tempat tinggal bagi orang-orang bermegah-megahan dengan keduniaan, yang membuat mereka lalai terhadap akhirat, dengan penglihatan yang terus-menerus, karena Allah akan menanyai mereka tentang sebab-sebab kemegah-megahan mereka, dari mana mereka mendapatkannya dan untuk apa mereka membelanjakannya?
Demi Allah, alangkah agungnya surat ini dan alangkah besarnya manfaat serta alangkah nyatanya peringatan yang disampaikan di sini, peringatan yang lebih keras di akhirat, agar tidak ada orang yang lebih mementingkan dunia dan mengalahkan tujuan yang lebih tinggi, meskipun surat ini singkat, namun lafazh-lafazhnya agung dan susunan kalimatnya bagus. Mahasuci Allah yang telah menyatakannya dan menyampaikannya kepada Rasul sebagai wahyu.
Perhatikan bagaimana Allah menjadikan diri mereka sampai ke tempat yang menjadi tempat kembali setiap makhluk hidup, yang tidak tinggal selamanya di sana (dalam kubur), tapi mereka menetap hanya sementara waktu saja. Sementara di hadapan mereka masih ada tempat tinggal yang abadi. Jika mereka sampai di tempat persinggahan ini sebagai pengunjung, lalu bagaimana nasib mereka dalam perjalanan di tempat tinggal ini? Mereka tak lain hanya seperti orang yang sedang melalui jembatan untuk sampai ke tempat persinggahan, lalu dari sana mereka berpindah ke tempat lain lagi yang kekal.
Jadi di sini ada tiga hal: Melewati jembatan di dunia ini, tujuannya mengunjungi kubur, kemudian berpindah ke tempat tinggal yang abadi.[2]
__________
1 Telah disebutkan di beberapa tempat di dalam Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an menyamakan manusia dan penciptaan asalnya dengan Dua Tangan-Nya, Dia meniupkan kepadanya dari Roh-Nya dan menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, zhahir dan batinnya, memuliakan dan melebihkannya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan suatu kelebihan. Firman-Nya,
"Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur." (An-Nahl: 78).
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang kufur dan ada pula yang kafir." (Al-Insan: 2-3).
Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya di dalam diri manusia ada kesiapan untuk menerima kebaikan dan ketaatan serta mensyukuri nikmat. Karena alasan ini pula Allah memilihnya menjadi khalifah di bumi, lalu mengujinya dengan berbagai macam kenikmatan, agar dengan kenikmatan-kenikmatan itu dia bisa mencapai derajat kesempurnaan, jika dia sabar dan bersyukur, atau dengan kenikmatan itu dia turun ke tingkatan yang paling rendah, yaitu j ika dia buta dan berpaling dari ayat-ayat Allah serta mengufurinya.
2. Udatush-Shaabirin hal 197 - 208
***Disalin dari At-Tafsiru Al-Qayyimu, oleh : Syaikh Muhammad Uwais an-Nadwi, penerbit: Darul Falah
Yang pertama merupakan pertanyaan tentang sebab dan cara memperolehnya, yang kedua merupakan pertanyaan tentang cara penyaluran dan pemanfaatannya, seperti yang disebutkan di dalam Jami'At-Tmmdzy, dari hadits Atha' bin Abu Rabbah, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمُ بْنِ آدمَ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسَ عَنْ أُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَ عَلِمَ
"Tidaklah kedua kaki anak Adam terayun pada hari kiamat di sisi Rabbnya hingga dia ditanya tentang lima perkara: Tentang umurnya, untuk apa dia menghabiskannya? Tentang masa mudanya, untuk apa dia melusuhkannya? Tentang hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan untuk apa dia membelanjakannya? Tentang orang yang berilmu, untuk apa dia mengajarkannya?"
Dari Abu Barzah, dia berkata, 'Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ أُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ عَمَلِ فِيْهِ وَعَنْ مَالِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَبْلاَهُ
"Tidaklah kedua kaki hamba terayun pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang umurnya, untuk apa dia menghabiskannya? Tentang ilmunya, untuk apa dia mengamalkannya? Tentang hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan untuk apa dia menghabiskannya?"
Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits shahih. Di dalam Jami’ At-Tirmidzy juga disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya pertanyaan yang pertama kali diajukan kepada hamba pada hari kiamat, ialah tentang kenikmatan, yang ditanyakan kepadanya, 'Bukankah Kami sudah membuat badanmu sehat dan memberimu minum berupa air yang dingin?'"
Dari hadits Az-Zubair bin Al-Awwam Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Ketika turun ayat, 'Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan’, maka Az-Zubair bertanya, 'Wahai Rasulullah, kenikmatan macam apakah yang ditanyakan kepada kami, karena dua kenikmatan itu hanya ada dua macam yang bewama hitam, yaitu korma dan air?' Beliau menjawab, 'Hal itu pun akan terjadi'."
Menurut At-Tirmidzy, ini hadits hasan. Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah yang semisal dengan hadits ini, dia berkata, "Kenikmatan itu hanya dua macam, yaitu musuh yang datang sementara pedang ada di pundak kami." Beliau menjawab, "Hal itu pun akan terjadi."
Sabda beliau, "Hal itu pun akan terjadi", boleh jadi yang dimaksudkan, kenikmatan itu akan terjadi dan diberikan kepada kalian. Jika dikembalikan kepada pertanyaan, maka pertanyaan akan disampaikan berkenaan dengan hal itu, karena korma dan air termasuk kenikmatan.
Hal ini ditunjukkan sabda beliau yang lain dalam hadits shahih, ketika para shahabat sedang memakan buah korma segar dan daging serta me-minum air yang dingin lagi segar, "Ini termasuk kenikmatan, yang kalian akan ditanya tentang hal ini pada hari kiamat." Ini merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan mensyukurinya dan melaksanakan haknya.
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Anas, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal/am, beliau bersabda,
يُجَاءُ بِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَأَنَّهُ بَذَجٌ فَيُوقَفُ بَيْنَ يَدَيِ اللهُ فَيَقُولُ اللهُ أَعْطَيْتُكَ وَخَوَّلْتَكَ عَلَيْكَ فَمَاذَا صَنَعْتَ فَيَقُولُ يَارَبِّ جَمَعتُهُ وَثَمَّرْتُهُ فَتَرَكْتُهُ أَكْثَرَ مَا كَانَ فَرْجِعْنِي آتِكَ بِهِ فَإِذَا أُعِيْدَ لَمْ يُقَدِّمْ خَيْرًا فَيُمْضَى بِهِ إِلَى النَارِ
"Seorang hamba didatangkan pada hari kiamat seakan-akan dia anak domba. Dia diberdirikan di hadapan Allah, lalu Allah befirman, Aku sudah memberimu, menganugerahimu dan melimpahkan nikmat kepadamu. Lalu apa yang kamu lakukan?' Hamba itu menjawab, 'Ya Rabbi, aku menghimpunnya beserta buah-buahannya, lalu aku membiarkannya menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Maka kembalikan lagi aku (ke dunia) agar aku mengeluarkannya untuk-Mu'. Jika dia dikembalikan ke dunia, maka dia tidak akan melakukan satu kebaikan pun, maka dia digiring ke neraka. "
Di dalam riwayat At-Tirmidzy juga disebutkan dari hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhuma, keduanya berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Hamba didatangkan pada hari kiamat, lalu Allah befirman, 'Bukankah Aku sudah memberikan bagimu pendengaran, penglihatan, harta, anak dan Aku sudah menundukkan bagimu binatang-binatang ternak dan tanaman, Aku meninggalkan berkuasa dan hidup berkecukupan. Apakah kamu mengira bahwa kamu terbebas dari hari ini?' Hamba itu menjawab, 'Tidak'. Allah befirman, 'Hari ini aku melupakanmu sebagaimana kamu dulu sudah melupakan Aku'."
Segolongan mufasir berpendapat bahwa pemyataan ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang kafir, dan merekalah yang akan ditanya tentang kenikmatan itu. Mereka juga menyebutkan pendapat ini dari Al-Hasan dan Muqatil. Al-Wahidy juga memilih pendapat ini. Dia berhujjah dengan hadits Abu Bakar, "Ketika ayat ini turun, maka dia bertanya kepada Rasulullah ShattallahuAlaihi wa Sallam bersabda, "Apa pendapat engkau tentang makanan yang pernah kumakan bersama engkau di rumah Abul-Haitsam bin At-Taihan, yaitu berupa roti dari gandum dan daging, dengan air yang dingin lagi segar, apakah engkau takut bahwa ini termasuk kenikmatan yang kita akan ditanya tentang kenikmatan itu?" Beliau menjawab, "Pertanyaan itu hanya ditujukan kepada orang-orang kafir." Kemudian beliau membaca ayat, "Dan, Kami tidak menjatuhkan adzab melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. "(Saba': 17).
Menurut Al-Wahidy, zhahirnya menguatkan pendapat ini, sebab semua kandungan pemyataan di dalam surat memang tertuju kepada orang-orang musyrik dan sekaligus merupakan ancaman bagi mereka. Dari sisi makna juga menguatkan pendapat ini, bahwa orang-orang kafir tidak pernah memenuhi hak kenikmatan yang diberikan kepada mereka, karena mereka menyekutukan Rabb mereka dan menyembah selain-Nya. Karena itu mereka layak ditanya tentang kenikmatan yang pernah dianugerahkan kepada mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai teguran bagi mereka, apakah mereka sudah melaksanakan kewajiban dalam kenikmatan itu ataukah mereka menyia-nyiakan hak kenikmatan itu? Kemudian mereka disiksa karena tidak bersyukur, dengan cara mengesakan Pemberi nikmat.
Menurut Al-Wahidy, inilah makna dari perkataan Muqatil dan juga Al-Hasan. Dia berkata, "Tidak ada pertanyaan yang diajukan tentang kenikmatan kecuali kepada para penghuni neraka."
Kami katakan, di dalam lafazh ini dan tidak pula di dalam As-Sunnah yang shahih, tidak pula dalam dalil-dalil akal yang mengharuskan pengkhususan pemyataan terhadap orang-orang kafir. Bahkan menunat zhahir lafazh dan menurut As-Sunnah yang sudah jelas maknanya, menunjukkan keumuman pernyataan bagi siapa pun yang disifati sebagai orang yang dilalaikan kemegah-megahan. Jadi tidak ada alasan untuk mengkhususkan pernyataan kepada sebagian orang yang digambarkan dengan sifat itu.
Hal ini ditunjukkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ketika membawakan surat ini, "Hartaku, hartaku. Apakah kamu mempunyai harta selain dari apa yang engkau shadaqahkan lalu berlalu, atau yang kamu makan lalu habis, atau pakaian yang kamu kenakan lalu lusuh?" Yang berkata seperti itu bisa orang Muslim dan bisa juga orang kafir.
Hal ini juga ditunjukkan beberapa hadits di atas dan pertanyaan para shahabat kepada Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam dan pemahaman mereka secara umum, hingga mereka berkata kepada beliau, "Kenikmatan macam apakah yang ditanyakan kepada kami? Kenikmatan itu hanya dua hal yang berwarna hitam." Sekiranya pernyataan hanya tertuju kepada orang-orang kafir semata, tentunya beliau menjelaskan hal itu kepada mereka. Para shahabat memahaminya secara umum, dan beberapa hadits juga sudah jelas menunjukkan keumuman. Beliau yang mendapat wahyu Al-Qur'an pun menetapkan kepada mereka tentang pemahaman secara umum itu.
Tentang hadits Abu Bakar yang dijadikan dalil pendapat di atas, adalah hadits tidak shahih. Sementara hadits shahih yang berkaitan dengan kisah ini menunjukkan kebatilannya. Kami akan sampaikan lafazh-lafazhnya.
Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Pada suatu siang atau malam hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar, yang kemudian beliau berpapasan dengan Abu Bakar dan Umar. Beliau bertanya, "Apa yang menyebabkanmu keluar dari rumah kalian berdua pada saat-saat seperti ini?"
Abu Bakar dan Umar menjawab, "Rasa lapar wahai Rasulullah."
Beliau bersabda, "Adapun aku, demi diriku yang ada di Tangan-Nya, benar-benar keluar seperti yang menyebabkan kalian berdua keluar. Sekarang bangkitlah!"
Maka Abu Bakar dan Umar bangkit bersama beliau. Beliau menemui seseorang dari kalangan Anshar, yang ternyata shahabat yang dimaksud tidak berada di rumahnya. Ketika istrinya melihat kedatangan beliau, maka dia berkata, "Marhaban wa ahlan ".
Beliau bertanya, "Dimana Fulan?"
Wanita itu menjawab, "Dia pergi untuk mencari air tawar yang segar bagi kami."
Pada saat itu orang Anshar yang dimaksudkan datang. Dia me-mandang Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam dan dua orang rekannya. Dia berkata, "Segala puji bagi Allah, pada hari ini aku tidak mendapatkan tamu-tamu yang lebih mulia selain diriku."
Lalu orang Anshar itu beranjak lalu datang lagi sambil membawa tandan yang di dalamnya ada korma segar dan korma yang sudah dikeringkan. Dia berkata, "Makanlah hidangan ini!" Lalu dia akan mengambil tempat minum.
Beliau bersabda, "Tak perlu engkau memerah air susu."
Lalu orang Anshar itu menyembelih domba dan mereka pun makan dan minum. Setelah mereka kenyang, beliau bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, "Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah, kemudian kalian tidak kembali melainkan setelah mendapat kenikmatan ini."
Hadits shahih ini sudah jelas menunjukkan keumuman pernyataan dan tidak ditujukan hanya kepada orang-orang kafir semata. Kenyataan pun menguatkan tidak adanya pengkhususan itu. Di samping itu, kelalaian karena bermegah-megahan juga banyak terjadi di kalangan orang-orang Muslim, bahkan mayoritas di antara mereka dilalaikan oleh bermegah-megahan. Pernyataan Al-Qur'an ini bersifat umum bagi siapa pun yang mendengarnya. Apa yang berlaku bagi orang-orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga berlaku bagi orang-orang setelah itu. Hal ini sudah sama-sama diketahui sebagai urgensi agama, meskipun ditentang sebagian orang yang tidak memahami sabda beliau dari kalangan muta'akhirin.
Kita pada hari ini, orang-orang sebelum kita dan orang-orang sesudah kita, masuk dalam firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa ". (Al-Baqarah: 183). Begitu pula ayat-ayat yang lain, sebagaimana para shahabat yang juga termasuk dalam ma'lumat agama.
Firman Allah, "Bermegah-megahan telah melalaikan kalian "merupakan pernyataan yang ditujukan kepada setiap orang yang digambarkan dengan sifat ini. Banyak tingkatan kelalaian mereka karena bermegah-megahan itu, yang hanya bisa dihitung oleh Allah semata.
Boleh jadi ada yang bertanya, "Orang-orang Mukmin tidak dilalaikan oleh bermegah-megahan. Karena itu mereka tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan bagi orang yang lalai karenanya."
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut: Pernyataan seperti inilah yang mendorong orangnya untuk mengkhususkan ancaman itu hanya bagi orang-orang kafir, karena tidak memungkinkan bagi mereka untuk menakwilinya secara umum. Menurut mereka, orang-orang kafirlah yang lebih berhak menerima ancaman, sehingga mereka mengkhususkannya ancaman itu bagi orang-orang kafir.
Jawaban lebih lugas, pernyataan yang ditujukan kepada manusia karena keberadaannya sebagai manusia, seperti halnya cara yang ditempuh Al-Qur'an ketika menyampaikan celaan karena keberadaannya sebagai manusia, seperti firman-Nya,
"Dan, adalah manusia bersifat tergesa-gesa. "(Al-Isra': 11).
"Dan, manusia adalah selalu tidak berterima kasih. "(Al-Isra': 67).
"Dan, dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusiaitu amat zhalim dan amat bodoh. "(Al-Ahzab: 72).
Ayat-ayat lain yang senada cukup banyak.
Karena manusia itu terlepas dari segala kebaikan yang berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, maka hanya Allahlah yang dapat menyempurnnakannya dan menganugerahinya. Kebaikan itu tidak berasal dari dirinya sendiri. Sebab yang berasal dari dirinya hanyalah kebodohan yang bertentangan dengan ilmu dan kezhaliman yang bertentangan dengan keadilan. Setiap ilmu, keadilan dan kebaikan berasal dari Rabbnya, bukan dari dirinya. Jadi lalai karena bermegah-megahan merupakan tabiat dan karakterisuknya, yang sifat ini berasal dari dirinya. Dia tidak dapat keluar dari sifat ini kecuali ada pensucian Allah terhadap dirinya dan Allahlah yang menjadikannya berkehendak terhadap akhirat serta mementingkannya daripada bermegah-megahan di dunia. Hal ini terjadi jika Allah menganugerahinya. Jika tidak, maka dia kembali ke kebiasaannya semua di dunia yang suka bermegah-megahan.[1]
Tentang alasan mereka dengan ancaman yang dikhususkan bagi orang-orang kafir, maka dapat ditanggapi sebagai berikut: Ancaman yang disebutkan di sini merupakan persekutuan, yaitu pengetahuan ketika melihat apa yang ada di akhirat. Hal ini akan dialami setiap orang, yang tidak terjadi ketika di dunia. Firman Allah, "Kelak kalian akan mengetahui" tidak mengandung satu pun indikasi yang mengharuskan masuk neraka, apalagi kekal di dalamnya. Begitu pula tentang melihat neraka Jahim yang tidak mengharuskan orang yang melihatnya untuk masuk ke dalamnya. Sebab para nabi juga melihat neraka itu dengan mata kepala sendiri. Bahkan Allah sudah bersumpah bahwa semua makhluk, yang kafir dan yang Mukmin, yang baik dan yang jahat akan melihatnya.
"Dan, tidak ada seorang pun daripada kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb kalian adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. "(Maryam: 71).
Di dalam kalimat ayat ini tidak ada sesuatu pun yang menafikan keumuman pernyataan.
Tentang apa yang disebutkan dari Al-Hasan, "Tidak ada pertanyaan yang diajukan tentang kenikmatan kecuali kepada para penghuni neraka", jelas batil, entah kebatilan itu riwayat yang dinisbatkan kepadanya atau perkataan yang memang berasal dari dirinya. Sebab hadits-hadits shahih yang jelas menyanggahnya.
Tidak diragukan bahwa semacam surat ini dengan keagungan kedudukan dan kekerasan ancamannya, kandungannya yang berupa peringatan bagi manusia agar tidak bermegah-megahan yang melalaikan dan kesesuaian maknanya dengan mayoritas keadaan manusia, rasanya tidak mungkin hanya dikhususkan bagi orang-orang kafir, semenjak awal hingga akhirnya. Jelas hal itu tidak sesuai. Hal ini cukup dengan mengamati hadits-hadits marfu' yang berkaitan dengan masalah ini. Wallahu a 'lam.
Sekarang perhatikan celaan yang ditujukan kepada orang yang terus-menerus dilalaikan oleh bermegah-megahan selama hidupnya, hingga dia masuk ke dalam kubur, yang tidak pernah terbangun dari kelalaian. Bahkan bermegah-megahan itu telah menidurkan hatinya dan tidak membuatnya sadar, hingga dia berada dalam suasana mabuk karena kematian.
Keadaan-keadaan ini sangat sesuai dengan keadaan mayoritas manusia, yang berarti mengharuskan keumumannya.
Kemudian perhatikan pengaitan celaan dan ancaman dengan kemutlakan bermegah-megahan, tanpa ada pembatasan tentang siapa yang bermegah-megahan itu, agar bermegah-megahan masuk di dalamnya dengan seluruh sebab di dunia, dengan berbagai jenis dan ragamnya.
Di samping itu, lafazh at-takaatsur berdasarkan bentuk tafaa 'ul, yang mengharuskan pencarian setiap orang dari orang-orang yang bermegah-megahan, agar pelakunya bertambah banyak, sehingga orangnya menjadi lebih banyak dan sesuatu yang dijadikan bermegah-megahan. Yang mendorongnya berbuat begitu ialah anggapannya bahwa kemuliaan hanya bagi orang yang bermegah-megahan, seperti yang dikatakan dalam syair,
Tidaklah lebih banyak dalam kekayaan daripada mereka kemuliaan hanya milik orang yang merasa banyak kekayaannya
Kalaupun seseorang merasa hartanya banyak namun dia tidak bermegah-megahan, maka tidak membahayakan dirinya, seperti yang terjadi pada diri beberapa shahabat yang memang hartanya banyak, yang tidak membahayakan diri mereka, selagi mereka tidak bermegah-megahan dengan harta kekayaan itu. Siapa pun yang membanggakan kekayaannya kepada orang lain di dunia atau membanggakan kedudukannya atau apa pun, maka tindakannya itu akan membuatnya sibuk lalu lalai untuk lebih menonjolkan sisi akhirat. Jiwa yang mulia dan tinggi, yang memiliki keinginan yang luhur hanya merasa banyak kekayaannya karena sesuatu yang lebih kekal manfaatnya, sempurna dan suci, sehingga ia menjadi keberuntungan. Ia tidak suka menganggapnya banyak untuk selain itu. Bahkan dia akan berlomba dengan yang lain dalam hal ini. Ini merupakan kebanggaan yang mendatangkan kebahagiaan hamba.
Kebalikannya adalah saling bermegah-megahan di antara para penghuni dunia dengan sebab-sebab keduniaan. Ini merupakan bermegah-megahan yang melalaikan Allah dan hari akhirat, yang menyeret kepada kesialan. Akibat dari tindakan ini ialah kemiskinan dan kekecewaan.
Saling bermegah-megahan dengan sebab-sebab yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat merupakan bermegah-megahan yang masih disertai dzikir kepada Allah dan mengingat nikmat-Nya. Akibatnya keberuntungan yang kekal dan tidak akan sirna. Orang yang melakukannya tidak merasa hina ketika melihat orang lain lebih baik dari dirinya dalam perkataan, perbuatan dan lebih mendalam ilmunya. Jika dia melihat orang lain lebih banyak hasil kebaikan yang dipetiknya, yang tidak mampu dia lakukan sementara orang lain mampu, maka bermegah-megahan semacam ini tidak tercela dan tidak pula mengurangi keikhlasan hamba. Bahkan itu merupakan kompetisi yang sebenarnya dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Seperti inilah keadaan Aus dan Khazraj dalam persaingan mereka di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang sebagian saling membanggakan terhadap sebagian yang lain dalam sebab-sebab yang diridhai beliau dan untuk menolong beliau.
Begitu pula keadaan Umar dan Abu Bakar. Ketika Umar menyadari keunggulan Abu Bakar, maka dia berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah dapat lebih cepat darimu untuk mengerjakan sesuatu."
Siapa yang memperhatikan secara seksama kedudukan lafazh كَلاَّ /kallaa di dalam surat ini, maka sesungguhnya lafazh ini mengandung penghadangan terhadap mereka, teguran terhadap kemegah-megahan mereka dan penafian terhadap angan-angan mereka tentang manfaat yang diperoleh dari bermegah-megahan itu, kemuliaan dan kesempurnaan diri mereka karenanya. Lafazh ini mengandung larangan dan penafian. Allah mengabarkan kepada mereka bahwa mereka harus mengetahui akibat dari kemegah-megahan mereka dengan pengetahuan yang terus-menerus. Mereka harus melihat tempat tinggal bagi orang-orang bermegah-megahan dengan keduniaan, yang membuat mereka lalai terhadap akhirat, dengan penglihatan yang terus-menerus, karena Allah akan menanyai mereka tentang sebab-sebab kemegah-megahan mereka, dari mana mereka mendapatkannya dan untuk apa mereka membelanjakannya?
Demi Allah, alangkah agungnya surat ini dan alangkah besarnya manfaat serta alangkah nyatanya peringatan yang disampaikan di sini, peringatan yang lebih keras di akhirat, agar tidak ada orang yang lebih mementingkan dunia dan mengalahkan tujuan yang lebih tinggi, meskipun surat ini singkat, namun lafazh-lafazhnya agung dan susunan kalimatnya bagus. Mahasuci Allah yang telah menyatakannya dan menyampaikannya kepada Rasul sebagai wahyu.
Perhatikan bagaimana Allah menjadikan diri mereka sampai ke tempat yang menjadi tempat kembali setiap makhluk hidup, yang tidak tinggal selamanya di sana (dalam kubur), tapi mereka menetap hanya sementara waktu saja. Sementara di hadapan mereka masih ada tempat tinggal yang abadi. Jika mereka sampai di tempat persinggahan ini sebagai pengunjung, lalu bagaimana nasib mereka dalam perjalanan di tempat tinggal ini? Mereka tak lain hanya seperti orang yang sedang melalui jembatan untuk sampai ke tempat persinggahan, lalu dari sana mereka berpindah ke tempat lain lagi yang kekal.
Jadi di sini ada tiga hal: Melewati jembatan di dunia ini, tujuannya mengunjungi kubur, kemudian berpindah ke tempat tinggal yang abadi.[2]
__________
1 Telah disebutkan di beberapa tempat di dalam Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an menyamakan manusia dan penciptaan asalnya dengan Dua Tangan-Nya, Dia meniupkan kepadanya dari Roh-Nya dan menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, zhahir dan batinnya, memuliakan dan melebihkannya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan suatu kelebihan. Firman-Nya,
"Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur." (An-Nahl: 78).
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang kufur dan ada pula yang kafir." (Al-Insan: 2-3).
Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya di dalam diri manusia ada kesiapan untuk menerima kebaikan dan ketaatan serta mensyukuri nikmat. Karena alasan ini pula Allah memilihnya menjadi khalifah di bumi, lalu mengujinya dengan berbagai macam kenikmatan, agar dengan kenikmatan-kenikmatan itu dia bisa mencapai derajat kesempurnaan, jika dia sabar dan bersyukur, atau dengan kenikmatan itu dia turun ke tingkatan yang paling rendah, yaitu j ika dia buta dan berpaling dari ayat-ayat Allah serta mengufurinya.
2. Udatush-Shaabirin hal 197 - 208
***Disalin dari At-Tafsiru Al-Qayyimu, oleh : Syaikh Muhammad Uwais an-Nadwi, penerbit: Darul Falah
Artikel yang menarik dan mendidik
ReplyDelete