Disadari atau tidak, sedikit atau banyak, saat ini pemikiran sebagian besar kita terus dipengaruhi bahkan terbawa arus pemikiran sekuler. Gencarnya kaum kafir mempropagandakan pemikiran mereka tentang hak-hak kaum wanita, kesetaraan Gender dan seterusnya, seolah memberikan gambaran bahwa Islam telah menindas kepentingan kaum wanita. Memperdebatkan kedudukan wanita dalam Islam yang jelas-jelas telah dimuliakan dengan begitu banyak nash dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih yang tidak pernah ditemukan dalam agama dan budaya lain sebelumnya bahkan beberapa abad sesudahnya[1], sebagai sesuatu yang mengungkung dan memenjarakan wanita, membatasi hak-haknya dan menjadikan mereka terbelakang.
Mengikuti pemahaman kapitalis, bahwa seseorang baru akan dipandang bernilai ketika dia bisa berproduksi di sektor public, menjadikan posisi wanita yang mendominasi sektor domestic tidak lagi diperhitungkan. Peran wanita sebagai isteri dan ibu rumah tangga yang mendidik anaknya, mendampingi suaminya membina keluarganya tidak lagi dianggap penting atau menduduki prioritas utama. Seorang wanita yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi seorang anak shaleh, berakhlak mulia dan berbakti kepada orang tuanya saat ini hanya menempati urutan kesekian dari kriteria keberhasilan seorang wanita. Betapa pandangan itu telah bergeser, bahkan oleh sebagian muslimah sekalipun, bahwa seorang wanita mempunyai ‘nilai’ di mata masyarakat ketika dia berhasil dalam pendidikan, karier, anak-anak yang berpendidikan tinggi, meski pincang dalam urusan agamanya.
Merenungkan kembali keadaan di zaman jahiliyah ketika Islam diturukan, dimana para orang tua menguburkan anak perempuannya hidup-hidup karena malu atau takut kekurangan rizki, hingga membandingkannya dengan masa sekarang ini, dimana anak perempuan memiliki lebih banyak kesempatan dan kebebasan untuk menempuh kehidupannya seperti layaknya kaum lelaki, justru telah menjerumuskan kaum perempuan pada sebuah jurang baru yang kelam. Alih-alih dari menguburkannya hidup-hidup di zaman jahiliyah, saat ini dengan segala kebebasan dan modernitas kehidupan, seorang perempuan jadi memiliki lebih banyak peluang untuk ‘berekspresi’ (sebagaimana yang dipahami kaum pembaharu) yang bahkan jauh meninggalkan nilai-nilai agamanya, bahkan cenderung sadar atau tidak telah dieksploitasi untuk kepentingan kaum kapitaslis, sosok objek yang punya nilai jual untuk mengeruk keuntungan materi. Entah prilaku orang tua yang mana yang lebih buruk, menguburkan anaknya hidup-hidup, atau membiarkannya hidup dalam keadaan salah asuhan, terjerat dalam kehidupan yang serba bebas, tidak mengenal ajaran agamanya yang haq hingga menelusuri jalan-jalan maksiat?
Wanita, yang begitu mulia menempati posisi ibu rumah tangga, yang dianggap tidak produktif karena hanya berkutat dengan masalah rumah tangganya (domestik); melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anaknya, mengabdi pada keluarganya sejak dini hari hingga larut malam. Padahal jika ingin dihitung dengan nilai uang, tak ternilai jasa seorang ibu rumah tangga yang bekerja lebih dari 8 jam kerja sehari, bahkan tidak mengenal hari libur. Bagaimanakah menghitung jasa seorang ibu rumah tangga seperti ibu Imam Malik, yang mendidik anaknya seorang diri dengan pendidikan yang terbaik, mendorong anaknya hingga menjadi seorang hafizh pada usia 5 tahun, terus mendukungnya untuk menimba ilmu dari para ulama hingga menjadi seorang imam besar di zamannya? Bagaimanakah menghargakan jasa seorang ibu yang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anaknya, menyusuinya, menjaganya, mendidiknya hingga dewasa dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pembayaran apapun? Untuk apa mengekor tolak ukur buatan kaum kuffar, bahwa keberhasilan kaum wanita diukur dengan angka-angka statistik peran serta mereka dalam ekonomi dan pembangunan, yang justru mengeluarkan mereka dari wilayah domestiknya ke wilayah publik?
Cukuplah hadits Nabi sallallahu alaihi wasallam untuk para wanita muslimah menjadi percaya diri, bahwa meski hanya menjadi ibu rumah tangga pun, seorang wanita menempati kedudukan mulia dan utama:
Dari Bahaz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, aku berkata:
“Wahai Rasulullah, siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” Saya bertanya lagi, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Lalu saya bertanya, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Saya bertanya, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab: “Bapakmu, kemudian kerabat yang terdekat, kemudian kerabat yang terdekat.” (HR Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani).
_______
[1] Baca juga artikel sebelumnya Kedudukan Wanita dalam Islam, karya Dr. Jamal A. Badawy
Mengikuti pemahaman kapitalis, bahwa seseorang baru akan dipandang bernilai ketika dia bisa berproduksi di sektor public, menjadikan posisi wanita yang mendominasi sektor domestic tidak lagi diperhitungkan. Peran wanita sebagai isteri dan ibu rumah tangga yang mendidik anaknya, mendampingi suaminya membina keluarganya tidak lagi dianggap penting atau menduduki prioritas utama. Seorang wanita yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi seorang anak shaleh, berakhlak mulia dan berbakti kepada orang tuanya saat ini hanya menempati urutan kesekian dari kriteria keberhasilan seorang wanita. Betapa pandangan itu telah bergeser, bahkan oleh sebagian muslimah sekalipun, bahwa seorang wanita mempunyai ‘nilai’ di mata masyarakat ketika dia berhasil dalam pendidikan, karier, anak-anak yang berpendidikan tinggi, meski pincang dalam urusan agamanya.
Merenungkan kembali keadaan di zaman jahiliyah ketika Islam diturukan, dimana para orang tua menguburkan anak perempuannya hidup-hidup karena malu atau takut kekurangan rizki, hingga membandingkannya dengan masa sekarang ini, dimana anak perempuan memiliki lebih banyak kesempatan dan kebebasan untuk menempuh kehidupannya seperti layaknya kaum lelaki, justru telah menjerumuskan kaum perempuan pada sebuah jurang baru yang kelam. Alih-alih dari menguburkannya hidup-hidup di zaman jahiliyah, saat ini dengan segala kebebasan dan modernitas kehidupan, seorang perempuan jadi memiliki lebih banyak peluang untuk ‘berekspresi’ (sebagaimana yang dipahami kaum pembaharu) yang bahkan jauh meninggalkan nilai-nilai agamanya, bahkan cenderung sadar atau tidak telah dieksploitasi untuk kepentingan kaum kapitaslis, sosok objek yang punya nilai jual untuk mengeruk keuntungan materi. Entah prilaku orang tua yang mana yang lebih buruk, menguburkan anaknya hidup-hidup, atau membiarkannya hidup dalam keadaan salah asuhan, terjerat dalam kehidupan yang serba bebas, tidak mengenal ajaran agamanya yang haq hingga menelusuri jalan-jalan maksiat?
Wanita, yang begitu mulia menempati posisi ibu rumah tangga, yang dianggap tidak produktif karena hanya berkutat dengan masalah rumah tangganya (domestik); melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anaknya, mengabdi pada keluarganya sejak dini hari hingga larut malam. Padahal jika ingin dihitung dengan nilai uang, tak ternilai jasa seorang ibu rumah tangga yang bekerja lebih dari 8 jam kerja sehari, bahkan tidak mengenal hari libur. Bagaimanakah menghitung jasa seorang ibu rumah tangga seperti ibu Imam Malik, yang mendidik anaknya seorang diri dengan pendidikan yang terbaik, mendorong anaknya hingga menjadi seorang hafizh pada usia 5 tahun, terus mendukungnya untuk menimba ilmu dari para ulama hingga menjadi seorang imam besar di zamannya? Bagaimanakah menghargakan jasa seorang ibu yang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anaknya, menyusuinya, menjaganya, mendidiknya hingga dewasa dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pembayaran apapun? Untuk apa mengekor tolak ukur buatan kaum kuffar, bahwa keberhasilan kaum wanita diukur dengan angka-angka statistik peran serta mereka dalam ekonomi dan pembangunan, yang justru mengeluarkan mereka dari wilayah domestiknya ke wilayah publik?
Cukuplah hadits Nabi sallallahu alaihi wasallam untuk para wanita muslimah menjadi percaya diri, bahwa meski hanya menjadi ibu rumah tangga pun, seorang wanita menempati kedudukan mulia dan utama:
يَا رَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَبَرُّ ؟ قَالَ : أُمُّكَ قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قَالَ : أُمُّكَ قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ : أُمُّكَ قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قَالَ : أَبَاكَ ثُمَّ اْلأَقْرَبَ فَاْلأَقْرَبَ
Dari Bahaz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, aku berkata:
“Wahai Rasulullah, siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” Saya bertanya lagi, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Lalu saya bertanya, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Saya bertanya, “Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab: “Bapakmu, kemudian kerabat yang terdekat, kemudian kerabat yang terdekat.” (HR Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani).
_______
[1] Baca juga artikel sebelumnya Kedudukan Wanita dalam Islam, karya Dr. Jamal A. Badawy
No comments:
Post a Comment