Thursday, October 25, 2007

Ya Ukhty, Kita Mulia dengan Islam

Menyikapi pergerakan perempuan yang semakin marak belakangan ini, ditambah dengan kampanye mengenai hak-hak perempuan, kebebasan perempuan, kesempatan dan kesetaraan untuk berkiprah di segala bidang yang diteriakkan oleh sekian banyak aktivis perempuan dan sebagian kecil laki-laki. Kita perlu menarik batas.

Salah satu celah besar tempat masuknya musuh-musuh Islam dalam melaksanakan makarnya adalah wanita, merusak pemahaman wanita, yang pada gilirannya merusak tatanan kehidupan rumah tangga yang merupakan inti kehidupan masyarakat, madrasah dini bagi generasi berikutnya.

Adalah sayang bahwa sebagian muslimah justru tidak menyadari, telah terseret arus yang di lancarkan oleh musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam melalui kaum wanita.

Kita tidak menyadari betapa pemikiran kuffar telah membius diri kita. Lihatlah betapa banyak wanita yang kemudian berangan-angan meraih kebebasan dan kesamaan hak dengan kaum pria sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum pergerakan. Lihat bagaimana mereka melancarkan opini mengenai hijab yang katanya menghambat kebebasan dan ruang gerak wanita, yang membuat wanita sangat tertutup, terbelakang dan terabaikan. Lihat bagaimana mereka melancarkan opini dengan gaya retorika yang handal tentang indahnya kehidupan dimana ada kesetaraan dan kesamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang. Sesuatu yang telah jelas dalam agama, mengenai hak dan kewajiban wanita, kini perlu dibuatkan sebuah mata kuliah khusus dengan nama Kajian Wanita, yang nota bene mengarah pada pemahaman-pemahaman kuffar, karena yang dibahas tidak lain adalah teori-teori femenis, gender, dan seterusnya. Adapun jika ada pembahasan dari sisi agama Islam yang kebetulan masuk dalam kajian, yang menjadi titik perhatian adalah sebagian ayat-ayat yang telah jelas, ditafsirkan menurut makna yang mendukung garis pergerakan perempuan.

Tak dapat dipungkiri bahwa perhatian yang begitu besar terhadap nasib kaum perempuan bukannya tanpa sebab. Kondisi perempuan yang terpinggirkan, yang karena kelemahannya menjadi objek kekerasan, pelecehan, eksploitasi bahkan perdagangan, khususnya di negara-negara dunia ketiga yang nota bene sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, mengundang keprihatinan berbagai pihak. Sebuah pintu masuk bagi musuh-musuh Islam untuk melancarkan serangannya, menghembuskan keraguan kepada kaum perempuan akan ajaran agama mereka, bahwa hal tersebut merupakan pengaruh dari ajaran agama yang cenderung lebih menguntungkan kaum laki-laki, dan bahwa perlunya merubah paradigma berpikir dari pembagian hak dan kewajiban yang dengan jelas digariskan dalam agama Islam, ke arah gender relation yang harmonis, yang lahir dari kesamaan, kesetaraan dan emansipasi. Sesuatu yang kemudian mendorong beberapa pihak, bahkan dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri, untuk melakukan re-interpretasi terhadap nash yang telah jelas sah kedudukannya.

Sungguh sayang bahwa dikalangan kaum muslimin sendiri, sebagiannya justru mengambil pemikiran Barat (kuffar) sebagai rujukukan untuk meraih kemajuan seperti yang diangan-angakannya.

Kenapa mesti berkiblat ke dunia Barat? Jika saat ini kaum wanita di Barat begitu gigih memperjuangkan hak-hak wanita, kebebasan wanita dan kesetaraannya dengan kaum pria, hal tersebut didorong oleh kondisi dalam agama dan budaya mereka, dimana wanita sama sekali tidak mempunyai tempat atau menempati porsi yang sangat kecil. Bahkan pada permulaan abad ini, kaum wanita tidak mempunyai hak untuk memiliki harta pribadi, tidak memiliki hak untuk mewarisi, sementara ketika keadaan memaksa mereka untuk bekerja di luar rumah, mendapatkan upah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kaum pria. Lihat bagaimana di kalangan agama Nasrani (baca: Kristen) wanita dianggap hina sebagai sumber dosa yang menyebabkan bapak manusia, Adam alaihis-salam, terusir dari surga berikut keturunannya. Bahkan dalam budaya yunani dan romawi keberadaannya dianggap setara dengan binatang.

Wanita Mulia dengan Islam!

Islam telah memuliakan kedudukan wanita, jauh sebelum agama dan budaya lain melakukannya. Jika pada agama dan budaya lain wanita memiliki derajat yang sangat rendah bahkan ada yang lebih buruk dari binatang, maka dalam Islam kedudukan wanita setara dengan pria, yang membedakan mereka adalah derajat ketakwaannya. Ketika agama dan budaya lain tidak menempatkan wanita sebagai ahli waris sedikitpun, Islam telah memasukkan wanita dalam daftar mereka yang berhak menerima warisan. Sebelum agama dan budaya lain merubah paradigmanya untuk lebih menghargai kaum wanita, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah memerintahkan seseorang untuk bergaul lebih baik dengan ibunya (wanita) tiga kali lebih utama, sebelum kepada bapak (pria) dan kerabat setelahnya (Lihat dalam kitab shahih Adabul Mufrad hadits no. 3). Sebelum agama dan budaya lain menempatkan wanita sebagai patner laki-laki yang saling mendukung dalam mengarungi kehidupan, Allah telah menegaskan dengan firman-Nya:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 71)

Kembali pada persoalan yang melingkupi kaum perempuan, yang menyebabkan posisi mereka rentan dan lebih sering menjadi objek dalam berbagai kasus pelecehan dan kekerasan. Gerakan penyadaran akan kebebasan dan hak-hak kaum perempuan, mengerahkan kaum perempuan untuk berjuang meraih hak-hak dan kebebasannya, kesetarannya dengan kaum pria, sungguh bukan sebuah penyelesaian seluruh persoalan tersebut. Untuk kasus per kasus dalam lingkup yang sangat terbatas mungkin dapat dicapai, tetapi menyelesaikan seluruh persoalan yang melingkupi kaum perempuan tersebut dengan pendekatan ini adalah sebuah hayal!

Pengalaman menghadiri sebuah seminar sehari beserta dialog pembahasan terhadap UU Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sebuah seminar yang ditujukan agar kaum perempuan, para isteri dan ibu rumah tangga tahu akan haknya, bahwa mereka berhak melaporkan kekerasan dalam rumah tangga baik yang bersifat fisik, psikis ataupun ekonomi. Ada banyak kegiatan kampanye yang diadakan untuk tujuan serupa di negeri ini oleh pergerakan perempuan. Yang terbetik kemudian adalah sebuah jeritan, “aduhai, apakah kita kaum wanita, wanita muslimah, akan menyarankan pada saudara-saudara kita muslimah lainnya, untuk membuka aibnya di depan umum? Menceritakan rahasia suami isteri, urusan dapurnya, kamar tidurnya kepada orang-orang yang tidak dikenal, yang tidak terjamin sifat amanahnya?” Betapa tidak, seorang wanita yang didatangkan sebagai saksi korban kemudian bercerita tentang keadaan rumah tangganya, perlakuan suaminya, di depan umum sambil meneteskan air mata mengundang simpati dari para peserta seminar. Padahal sekembalinya wanita itu kerumah, dia akan kembali bergaul dengan suaminya, tidur sekasur dengan suaminya, setelah membuka aibnya di hadapan umum!

Lalu apa dampak yang dirasakan, jika dari berbagai kegiatan serupa hanya dihadiri oleh segelintir laki-laki yang justru sebagian besarnya berasal dari para aktivis dan aparat penegak hukum dan bukannya masyarakat biasa? Gerakan penyadaran terhadap kaum perempuan akan hak-haknya tidak akan berdampak banyak jika kaum pria yang seharusnya menjadi target sasaran tidak banyak terlibat, padahal kasus-kasus tersebut justu lahir dari sikap mereka dalam memperlakukan kaum wanita!

Hal-hal di atas sebenarnya tidak akan terjadi jika masing-masing kita kembali kepada ajaran agama yang haq. Penguatan perempuan dan kelembagaan perempuan yang berusaha dilakukan oleh kaum pemerhati perempuan dengan pendekatan fasilitasi, konsultasi, advokasi atau memperjuangkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tidak akan banyak merubah nasib kaum wanita keseluruhannya jika tidak disertai perubahan tatanan dan pola pikir masyarakat. Bahwa masing-masing kita memulai dari lingkup keluarga, melakukan penyadaran akan hak dan kewajiban pria dan wanita sebagaimana yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang sah.

Bukanlah kaum perempuan yang patut disadarkan akan hak-hak asasinya, sebagaimana yang telah diratifikasi oleh badan dunia yang justru tak punya daya ketika berhadapan dengan negara-negara besar yang hipokrit dan menentang Islam. Tetapi mendidik umat ini agar memahami agamanya dengan benar. Karena kemuliaan umat ini, termasuk di dalamnya kaum wanita, hanya akan dicapai dengan kembali kepada agama yang haq. Wallahu a’lam.

Menguatkan kaum perempuan dari posisi rentannya, menghindarkannya dari sekedar menjadi objek pelecehan dan kekerasan, menaikkan perannya didalam perbaikan masyarakat secara keseluruhan, tidak akan pernah tercapai jika hanya diperjuangkan oleh kaum wanita. Kesemuanya itu butuh dukungan kaum pria, agar hak-hak kaum wanita dapat terpenuhi sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam, dan di sisi lain dapat memenuhi hak orang lain yang menjadi kewajibannya.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 71)

Wallahu bit taufiq

No comments:

Post a Comment