Oleh : Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Ada orang yang berpendapat, bila telah ditakdirkan terjadi, semuanya pasti terjadi, baik seseorang berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, bila telah ditakdirkan tidak terjadi, segala sesuatu tidak akan terjadi, baik ia memohon ataupun tidak.
Orangorang yang berpendapat demikianmengira pendapatnya benar secara mutlak, sehingga ia tidak mau berdoa sama sekali. Ia senantiasa berkata, “Tidak ada faedahnya berdoa.” Kalau diikuti, pendapatnya akan melemahkan semua usaha.
Untuk mengoreksi sikap seperti ini, kita katakana, “Bila kenyang itu telah ditakdirkan dan pasti terjadi, Anda makan atau tidak makan pasti kenynag. Demikian pula sebaliknya, jika semua hal telah ditakdirkan tidak akan terjadi, gerak kehidupan ini tidak akan berkembang. Manusia tidak perlu kawin, berkeluarga, dan sebagainya.
Apakah manusia yang dikaruniai akal akan berbicara semacam itu? Sebenarnya binatang pun telah difitrakhkan untuk berusaha secara langsung memenuhi keperluan hidupnya. Padahal binatang-binatang tidak lebih berakal dan lebih faham daripada manusia yang bodoh sekalipun.
Sebagian mutakayyis, yakni orang-orang yang menyangka dirinya pintar, berpendapat bahwa doa adalah pintu peribadatan murni yang ditetapkan Allah untuk para da’i semata. Dengan kata lain, para da’i ditetapkan untuk tekun dalam ibadah do’a, tanpa terpengaruh oleh harapan-harapan yang muncul dari doa itu. Oleh karena itu, bagi mutakayyis, tidak ada perbedaan antara berdoa dan tidak, dengan hati maupun lidah. Menurut mereka, posisi doa adalah posisi berdiam diri. Dengan bahasa lain, kegiatan doa sama dengan kegiatan diam.
Kelompok lain yang merasa diri mereka lebih pintar daripada kelompok di atas mengatakan bahwa doa itu merupakan tanda yang diberikan oleh Allah SWT sebagai isyarat atas terlaksananya suatu keperluan. Bila Allah menyetujui doa seorang hamba, itu adalah tanda bahwa doa yang dipanjatkan tersebut pasti (dapat) terlaksana. Hal ini seperti awan hitam yang merupakan petunjuk datangnya hujan.
Mereka berkata, “Begitulah hukum ketaatan dan pahalanya, kekafiran dan maksiat beserta siksanya. Ini adalah tanda-tanda khusus yang menunjukkan akan terjadinya pahala dan siksa, bukan merupakan sebab-sebab terjadinya pahala dan siksa itu sendiri.
Begitulah dalam pandangan mereka. Sebab dan akibat dianggap tidak saling bertalian. Sebab tidak dianggap sebagai pemicu munculnya suatu akibat. Pendapat ini jelas bertentangan dengan akal, fitrah, dan agama. Orang-orang yang berakal akan menertawakannya.
Pendapat yang benar adalah, sesuatu ditakdirkan dengan berbagai sebab. Salah satu dari sebab tersebut adalah doa. Segala sesuatu ditakdirkan tidak lepas dari sebab-sebabnya. Oleh karena itu, bila seorang hamba membawa sebab tersebut, takdir pasti terjadi. Namun bila ia tidak membawa sebab tersebut, takdir tidak akan terjadi.
Takdir masuk surga seperti takdir tercabutnya nafas binatang yang disembelih. Seseorang masuk surga disebabkan oleh amal baik, dan masuk neraka disebabkan oleh amal buruk. Ini adalah haq (kebenaran). Hal seperti inilah yang sering tidak diperhatika noleh orang. Pada masalah ini, doa merupakan unsur sebab yang paling kuat.
Oleh karena itu tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa berdoa tidak bermanfaat, begitu pula makan, minum, dan perbuatan yang lain. Padahal, tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa untuk memperoleh sesuatu yang diaharapkan.
Para sahabar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah golongan umat yang paling mengetahui (ma’rifat) Allah maupun Rasul-Nyadan paling mengetahui agama-Nya yang haq. Oleh karena itu, disbanding golongan lain, merekalah yang paling konsisten berpegang pada perintah berdoa serta memenuhi syarat-syarat dan tata caranya.
Umar bin Khattab radiallahu anha memohon dengan berdoa ketika melawan musuh-musuhnya. Padahal, dialah yang paling besar jumlah pasukannya. Umar berkata, “Kalian menang bukan karena jumlah kalian banyak. Kalian menang karena bantuan dari langit.”
Umar juga berkata, “Sesungguhnya aku tidak memikul beban yang mendesakkan ijabah, tetapi didorong oleh keinginan untuk bedoa.Maka camkanlah, bila kalian diilhami untuk berdoa. Sesungguhnya ijabah itu mengikutinya (bersamanya).” Dengan menyimpulkan perkataan Umar di atas, seorang penyair mengatakan:
Barangsiapa diilhami berdoa, berarti ia akan mendapatkan ijabah.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam surat Mu’min ayat 60:
Ada orang yang berpendapat, bila telah ditakdirkan terjadi, semuanya pasti terjadi, baik seseorang berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, bila telah ditakdirkan tidak terjadi, segala sesuatu tidak akan terjadi, baik ia memohon ataupun tidak.
Orangorang yang berpendapat demikianmengira pendapatnya benar secara mutlak, sehingga ia tidak mau berdoa sama sekali. Ia senantiasa berkata, “Tidak ada faedahnya berdoa.” Kalau diikuti, pendapatnya akan melemahkan semua usaha.
Untuk mengoreksi sikap seperti ini, kita katakana, “Bila kenyang itu telah ditakdirkan dan pasti terjadi, Anda makan atau tidak makan pasti kenynag. Demikian pula sebaliknya, jika semua hal telah ditakdirkan tidak akan terjadi, gerak kehidupan ini tidak akan berkembang. Manusia tidak perlu kawin, berkeluarga, dan sebagainya.
Apakah manusia yang dikaruniai akal akan berbicara semacam itu? Sebenarnya binatang pun telah difitrakhkan untuk berusaha secara langsung memenuhi keperluan hidupnya. Padahal binatang-binatang tidak lebih berakal dan lebih faham daripada manusia yang bodoh sekalipun.
Sebagian mutakayyis, yakni orang-orang yang menyangka dirinya pintar, berpendapat bahwa doa adalah pintu peribadatan murni yang ditetapkan Allah untuk para da’i semata. Dengan kata lain, para da’i ditetapkan untuk tekun dalam ibadah do’a, tanpa terpengaruh oleh harapan-harapan yang muncul dari doa itu. Oleh karena itu, bagi mutakayyis, tidak ada perbedaan antara berdoa dan tidak, dengan hati maupun lidah. Menurut mereka, posisi doa adalah posisi berdiam diri. Dengan bahasa lain, kegiatan doa sama dengan kegiatan diam.
Kelompok lain yang merasa diri mereka lebih pintar daripada kelompok di atas mengatakan bahwa doa itu merupakan tanda yang diberikan oleh Allah SWT sebagai isyarat atas terlaksananya suatu keperluan. Bila Allah menyetujui doa seorang hamba, itu adalah tanda bahwa doa yang dipanjatkan tersebut pasti (dapat) terlaksana. Hal ini seperti awan hitam yang merupakan petunjuk datangnya hujan.
Mereka berkata, “Begitulah hukum ketaatan dan pahalanya, kekafiran dan maksiat beserta siksanya. Ini adalah tanda-tanda khusus yang menunjukkan akan terjadinya pahala dan siksa, bukan merupakan sebab-sebab terjadinya pahala dan siksa itu sendiri.
Begitulah dalam pandangan mereka. Sebab dan akibat dianggap tidak saling bertalian. Sebab tidak dianggap sebagai pemicu munculnya suatu akibat. Pendapat ini jelas bertentangan dengan akal, fitrah, dan agama. Orang-orang yang berakal akan menertawakannya.
Pendapat yang benar adalah, sesuatu ditakdirkan dengan berbagai sebab. Salah satu dari sebab tersebut adalah doa. Segala sesuatu ditakdirkan tidak lepas dari sebab-sebabnya. Oleh karena itu, bila seorang hamba membawa sebab tersebut, takdir pasti terjadi. Namun bila ia tidak membawa sebab tersebut, takdir tidak akan terjadi.
Takdir masuk surga seperti takdir tercabutnya nafas binatang yang disembelih. Seseorang masuk surga disebabkan oleh amal baik, dan masuk neraka disebabkan oleh amal buruk. Ini adalah haq (kebenaran). Hal seperti inilah yang sering tidak diperhatika noleh orang. Pada masalah ini, doa merupakan unsur sebab yang paling kuat.
Oleh karena itu tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa berdoa tidak bermanfaat, begitu pula makan, minum, dan perbuatan yang lain. Padahal, tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa untuk memperoleh sesuatu yang diaharapkan.
Para sahabar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah golongan umat yang paling mengetahui (ma’rifat) Allah maupun Rasul-Nyadan paling mengetahui agama-Nya yang haq. Oleh karena itu, disbanding golongan lain, merekalah yang paling konsisten berpegang pada perintah berdoa serta memenuhi syarat-syarat dan tata caranya.
Umar bin Khattab radiallahu anha memohon dengan berdoa ketika melawan musuh-musuhnya. Padahal, dialah yang paling besar jumlah pasukannya. Umar berkata, “Kalian menang bukan karena jumlah kalian banyak. Kalian menang karena bantuan dari langit.”
Umar juga berkata, “Sesungguhnya aku tidak memikul beban yang mendesakkan ijabah, tetapi didorong oleh keinginan untuk bedoa.Maka camkanlah, bila kalian diilhami untuk berdoa. Sesungguhnya ijabah itu mengikutinya (bersamanya).” Dengan menyimpulkan perkataan Umar di atas, seorang penyair mengatakan:
Barangsiapa diilhami berdoa, berarti ia akan mendapatkan ijabah.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam surat Mu’min ayat 60:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan.”
Dalam surat Al-Baqarah ayat 186 :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku,”
Dalam hadits riwayat Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَسْأَ لِ اللهِ يَغْضَبُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.”
Semua ini menunjukkan bahwa Allah akan senang apabila ada orang meminta, memohon, dan taat kepada-Nya. Bila Allah ridha, kebaikan akan senantiasa ada di dalam keridhaan-Nya, sebagaimana musibah berada dalam amarah-Nya.
Dalam kitab Az-Zuhd, Imam Ahmad menyebutkan hadits qudsi yang terkenal yang berbunyi, “Akulah Allah, tiada tuhan selain Aku. Bila ridha, Aku akan memberi berkah, dan tiada lagi batas berkah-Ku. Bila marah, Aku akan melaknat, dan laknat-Ku mencapai tujuh turunan.”
Sebenarnya akal telah memberikan suatu pengakuan. Begitu pula dalil naqli (dalil-dalil al-qur’an), fitrah manusia, dan berbagai pengalaman dalam urusan agama manapun. Yakni mendekat kepad aAllah, Tuhan Pencipta alam semesta, memohon keridhaan-Nya, dan berbuat kebaikan kepada sesame hamba-Nya merupakan sebab mendapatkan kebaikan, sementara kebalikannya adalah sebab yang mendatangkan bahaya atau keburukan. Oleh sebab itu, apabila hendak mencari nikmat Allah dan menolak amarah-Nya, Anda mesti menaati-Na, bertaqarrub kepada-Nya, dan berbuat ihsan kepada sesama hamba-Nya.
Allah telah mengatur hasil, memprogram kebaikan dan keburukan dunia dan akhirat yang hendak didapatkan oleh seseorang. Semua sudah disusun dalam kitab berdasarkan amal yang diperbuat oleh setiap orang.
Tertib hokum mengenai kebajikan maupun perkara-perkara syar’I ‘keagamaan’ disebutkan secara jelas di dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakana kepadanya: Jadilah kamu kera yang hina.” (QS Al-A’raaf : 166)
فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka.”(QS Az-Zukhruf : 55)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.”(QS Al-Ma’idah : 38).
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab : 35)
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kadangkala firman Allah disebutkan dengan isyarat suatu pahala disertai dengan sesuatu yang menjadi syaratnya, seperti dalam surat Al-Anfal : 29, At-Taubah : 11, Al-Jin : 16, Shad : 29 dan Al-Baqarah : 143.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu” (QS Al-Anfaal : 29)
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama”(QS At-Taubah : 11)
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لأسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”(QS Al-Jin : 16)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS Shadd : 29)
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143)
Seringkali Allah mengurutkan hal itu dengan kata “jika” dan “suapaya” misalnya surat Al-Hasyr ayat 7:
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”(QS Al-Hasyr : 7)
Kadangkala diurutkan menurut sebab-musababnya, seperti:
ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ
“ (Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Al-Imran : 182)
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Atas apa yang Telah kamu kerjakan.”(QS Al-Maidah : 105)
بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ
“Atas perbuatan yang Telah kamu lakukan". (QS Al-A’raaf : 39)
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
“Yang demikian itu[ karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah.” (QS Al-Imran : 112)
Kadangkala diurutkan menurut tujuan suatu amal secara jelas maupun secara implicit, seperti:
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,” (QS Al-Baqarah : 282)
أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"(QS Al-A’raaf : 172)
أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا
“(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami.” (QS Al-An’am : 156)
Kadang-kadang pula ditandai oleh huruf fa’ ashababiyah yaitu yang berarti “maka” atau “lalu” sebagai akibat, seperti:
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا
“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” (QS Asy-Syams : 14)
Sepeeti juga Al-Haaqah ayat 10
فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَابِيَةً
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.”(Al-Haqqah : 10)
Dalam ayat-ayat lain, kadang muncul dengan kata-kata “setelah” atau “maka” dan “sesudah” yang menunjukkan balasan, seperti pada ayat berikut:
فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami menghukum mereka .” (QS Az-Zukhruf : 55)
Sering pula dengan menyertakan kata “inna” yang berarti sesungguhnya, seperti dalam surat Al-Anbiya ayat 90:
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik.” (QS Al-Anbiyaa : 90)
وَنَصَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, Maka kami tenggelamkan mereka semuanya.” (QS Al-Anbiyaa : 77)
Kadang pula menyertakan kata “laula” yang berarti sekiranya tidak, seperti dalam surat Ash-Shafaat:
فَلَوْلا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”(QS Ash-Shafaat : 143-144)
Kadang diikuti kata “lau” yang berarti sekiranya, seperti dalam surat An-Nisa :
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka “ (QS An0-Nisaa : 66)
Kesimpulannya, Al-Qur’an dari awal sampai akhir menerangkan balasan amal kebaikan maupun kejahatan dan keadaan penyebabnya dengan amat jelas. Bahkan sampai pada tertib hokum dunia akhirat dengan latar belakang kemaslahatannya maupun kerusakan yang ditimbulkannya.
Siapaun yang mendalami persoalan ini dan merenungkannya dengan sungguh-sungguhakan mendapatkan manfaat yang besar. Ia tidak akan bersandar pada takdir secara membabi buta sehingga tidak menjadikan ketaqwaan hanya sebagai wujud ketidakmampuan semata.
Orang yang pandai (dalam agama menolak takdir dengan takdir, mendorong takdir dengan takdir, dan menghalangi takdir dengan takdir. Lebih dari itu ia tidak dapat hidup kecuali dengan takdir. Maka lapar, haus, dingin, dan lain-lain yang menakutkan dan mengkhawatirkan berasal dari takdir pula. Manusia pada umumnya lupa untuk menolak takdir dengan takdir.
Orang yang dikaruniai kepandaian oleh Allah dan diilhami petunjuk-Nya akan dapat menolak dan mencegah takdir. Ia akan dapat mencegah takdir hukuman akhirat dengan takdir taubat, iman dan amal shaleh. Inilah imbangan takdir. Tuhan Pemilik dua tempat (dunia dan akhirat) adalah satu, kebijaksanaan—Nya adalah satu, yang sebagian tidak mengurangi dan tidak membatalkan yang lain. Permasalahan yang paling utama adalah memelihara takdir dengan sebaik-baiknya. Allah adalah pemberi petunjuk dan pertolongan.
Selain perjalanan tersebut ada dua lagi permasdalahan mengenai takdir. Yang pertama, mengetahui rincian sebab-sebab kebaikan dan keburukan. Jika kita mengetahui rincian ini, terbukalah kesadaran kita mengenai takdir yang terjadi di alam semesta, apa yang kita alami, dan kabar yang kita dengar dari umat terdahulu dan sekarang. Yang kedua, supaya kita selalu waspada untuk mengintrospeksi diri berkaitan dengan sebab musabab takdir ini.
Yang paling utama dalam mengkaji takdir ini adalah dengan mengkaji Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an memberikan landasan yang cukup mendasar dengan berbagai sudut pandang mengenaqi takdir. Di dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan mengenai penyebab keburukan maupun kebaikan yang terperinci dan jelas. Kajian berikutnya ditujukan kepada sunnah, karena sunnah merupakan pendamping Al-Qur’an. Ia bagaikan wahyu kedua. Oleh karena itu, bila diperhatikan, dua pedoman itu sudah mencukupi. Kedua sumber hokum itulah yang akan menunjukkan kebaikan dan keburukan takdir serta penyebabnya. Dengan kata lain, takdir dapat dilihat dengan jelas.
Selain itu, bila memahami berita umat terdahulu, janji, pahala dan siksa dari Allah bagi umat yang taat atapun mendustakan-Nya, anda akan menjumpainya sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah. Anda akan mendapatkan secara rinci semua yang dikabarkan dan dijanjikan oleh Allah. Selain itu, Anda akan mendapati ayat-ayat Allah dari segala penjuru alam menunjukkan kebenaran Al-Qur’an, Rasulullah dan janji-Nya. Bukan hal yang mustahil apabila sejarah merupakan perincian dari bagian-bagian yang diberitahukan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan segala sebab musababnya, baik yang buruk maupun yang baik.
*Dikutip dari Terapi Penyakit Hati terjemahan kitab Ad-Da’u wa ad-Dawa’ Penerbit : Qisthi Press.
No comments:
Post a Comment