Sebuah kilas balik perjalanan beragama
Bukan sebuah kebetulan belaka, tetapi menemui sebuah kebenaran adalah suatu anugerah, nikmat yang patut disyukuri. Menjawab tudingan sebagian orang yang mungkin mengira perubahan karena pergaulan (meskipun ini sangat besar kemungkinan terjadi) atau karena ada semacam proses cuci otak, doktrinasi terhadap sebuah nilai menjadikan berubah secara drastics. Sungguh tidak demikian. Karena hidup penuh dinamika, setiap perubahan yang terjadi pasti melalui proses yang sampai pada tahap tertentu melahirkan perubahan.
Benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Seperti itulah yang terjadi.
Mengenal kata Salaf atau Salafy pertama kali mengingatkan kepada sekolompok orang yang tinggal disekitar mesjid di kampungku. Dan karena ketidaktahuan itulah yang menyebabkan begitu kata ‘Salafy’ disebut, menimbulkan rasa tidak enak, bahkan cenderung alergi. Menyepakati pendapat orang lain, “Oh ya, salafy itu begini dan begitu,” membuat diri cukup puas dengan diri sendiri sambil bergumam di dalam hati, “Untung saya bukan bagian dari mereka.”
Bisa dikatakan terobsesi pada sebuah nilai ilmiah – mudah-mudah bukan karena kesombongan berpkir - menjadikan semacam kepuasan tersediri ketika membaca buku-buku seorang Murtadha Muthahari, tanpa pernah mengenal dari kelompok mana dia berasal. Gaya bahasa terkesan ilmiah itu pula (mungkin karena pengaruh terjemahan atau memang begitulah adanya) yang kemudian mendorong untuk gandrung pada sebuah diskusi yang memeras otak, mengolah kemampuan berpikir. Namun tetap saja terasa ada yang kurang. Agama bagiku adalah berusaha melaksanakan rukun Islam secara makslimal, memahami rukun Iman, ditambah dengan membaca Al-Qur’an. Hanya sebatas itu.
Tinggal beberapa saat di negeri asing, dimana muslim adalah minoritas menumbuhkan keinginan kuat untuk mempertahankan identitas diri. Sadar bahwa pengetahuan pas-pasan yang dimiliki selama ini sungguh sangat tidak memadai untuk tetap bertahan ditengah arus kehidupan serba bebas di negeri kafir. Yang terjadi kemudian adalah berusaha mencari saudara seiman yang dapat selalu mengingatkan dan meneguhkan keyakinan untuk tetap istiqamah.
Lalu suatu hari seorang teman bertanya: “Kamu sunni apa syiah?” Kebingungan melanda. Sungguh tak pernah terlintas suatu saat akan ada pertanyaan seperti ini. Pun tak pernah terpikirkan – meskipun pernah mendengar kedua istilah itu berkali-kali – dikelompok mana diri berada. Bahkan ketika ditanya pengikut mazhab apa, jawabannya hanyalah, “Saya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,” tanpa mengerti makna yang sebenarnya dari perkataan itu. Penasaran karena pertanyaan seperti itu seolah mendorong dan mewajibkan untuk memilih salah satu dari keompok atau madzhab tersebut, menumbuhkan keingintahuan yang besar. Dimanakah saya berada? Sebuah pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban untuk menenangkan diri dari segala kebingungan. Dan proses itu pun dimulai secara perlahan.
Kegandrungan akan dunia maya (internet) secara tidak sengaja membawa hikmah tersendiri, ketika pada suatu hari mendengarkan kajian audio oleh salah seorang user di room. Dari mendengar tak sengaja berubah kepada menyimak dengan serius. MasyaAllah, betapa agama ini lengkap sampai soal tata cara membersihkan diri – bahkan yang paling rahasia – diajarkan, lengkap dengan pembahasan hadits dengan merunut sanad yang menjelaskan keshahihan hadits tersebut. Yang pertama kali terlintas adalah kepandaian sang ustadz, mengetahui dan mampu menjelaskan hal tersebut secara mendetail lengkap dengan dalilnya. Di sisi lain, terlihat bahwa pembahasan itu begitu ilmiah, karena tidak satupun pembahasan lewat tanpa disertai dalil Al-qur’an dan sunnah beserta derajat haditsnya. Inilah dia! Pemahaman dari sebuah nasihat bapak beberapa tahun yang lalu, “dalam beragama tidak boleh taklid, ikut-ikutan. JIka kamu mengetahui sebuah kebenaran yang didukung oleh dalil yang shahih, ikuti itu meskipun kamu hanya sendirian.”
Seolah dalam jarak yang begitu singkat perubahan pemahaman itu datang. Bahwa setelah mengakui keimanan kepada Allah dengan persaksian laa ilaha illa Allah, dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, juga mewujudkan kesaksian bahwa Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya dengan ittiba’ kepadanya sebagai konsekuensinya.
Bukan sebuah kebetulan belaka, tetapi menemui sebuah kebenaran adalah suatu anugerah, nikmat yang patut disyukuri. Menjawab tudingan sebagian orang yang mungkin mengira perubahan karena pergaulan (meskipun ini sangat besar kemungkinan terjadi) atau karena ada semacam proses cuci otak, doktrinasi terhadap sebuah nilai menjadikan berubah secara drastics. Sungguh tidak demikian. Karena hidup penuh dinamika, setiap perubahan yang terjadi pasti melalui proses yang sampai pada tahap tertentu melahirkan perubahan.
Benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Seperti itulah yang terjadi.
Mengenal kata Salaf atau Salafy pertama kali mengingatkan kepada sekolompok orang yang tinggal disekitar mesjid di kampungku. Dan karena ketidaktahuan itulah yang menyebabkan begitu kata ‘Salafy’ disebut, menimbulkan rasa tidak enak, bahkan cenderung alergi. Menyepakati pendapat orang lain, “Oh ya, salafy itu begini dan begitu,” membuat diri cukup puas dengan diri sendiri sambil bergumam di dalam hati, “Untung saya bukan bagian dari mereka.”
Bisa dikatakan terobsesi pada sebuah nilai ilmiah – mudah-mudah bukan karena kesombongan berpkir - menjadikan semacam kepuasan tersediri ketika membaca buku-buku seorang Murtadha Muthahari, tanpa pernah mengenal dari kelompok mana dia berasal. Gaya bahasa terkesan ilmiah itu pula (mungkin karena pengaruh terjemahan atau memang begitulah adanya) yang kemudian mendorong untuk gandrung pada sebuah diskusi yang memeras otak, mengolah kemampuan berpikir. Namun tetap saja terasa ada yang kurang. Agama bagiku adalah berusaha melaksanakan rukun Islam secara makslimal, memahami rukun Iman, ditambah dengan membaca Al-Qur’an. Hanya sebatas itu.
Tinggal beberapa saat di negeri asing, dimana muslim adalah minoritas menumbuhkan keinginan kuat untuk mempertahankan identitas diri. Sadar bahwa pengetahuan pas-pasan yang dimiliki selama ini sungguh sangat tidak memadai untuk tetap bertahan ditengah arus kehidupan serba bebas di negeri kafir. Yang terjadi kemudian adalah berusaha mencari saudara seiman yang dapat selalu mengingatkan dan meneguhkan keyakinan untuk tetap istiqamah.
Lalu suatu hari seorang teman bertanya: “Kamu sunni apa syiah?” Kebingungan melanda. Sungguh tak pernah terlintas suatu saat akan ada pertanyaan seperti ini. Pun tak pernah terpikirkan – meskipun pernah mendengar kedua istilah itu berkali-kali – dikelompok mana diri berada. Bahkan ketika ditanya pengikut mazhab apa, jawabannya hanyalah, “Saya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,” tanpa mengerti makna yang sebenarnya dari perkataan itu. Penasaran karena pertanyaan seperti itu seolah mendorong dan mewajibkan untuk memilih salah satu dari keompok atau madzhab tersebut, menumbuhkan keingintahuan yang besar. Dimanakah saya berada? Sebuah pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban untuk menenangkan diri dari segala kebingungan. Dan proses itu pun dimulai secara perlahan.
Kegandrungan akan dunia maya (internet) secara tidak sengaja membawa hikmah tersendiri, ketika pada suatu hari mendengarkan kajian audio oleh salah seorang user di room. Dari mendengar tak sengaja berubah kepada menyimak dengan serius. MasyaAllah, betapa agama ini lengkap sampai soal tata cara membersihkan diri – bahkan yang paling rahasia – diajarkan, lengkap dengan pembahasan hadits dengan merunut sanad yang menjelaskan keshahihan hadits tersebut. Yang pertama kali terlintas adalah kepandaian sang ustadz, mengetahui dan mampu menjelaskan hal tersebut secara mendetail lengkap dengan dalilnya. Di sisi lain, terlihat bahwa pembahasan itu begitu ilmiah, karena tidak satupun pembahasan lewat tanpa disertai dalil Al-qur’an dan sunnah beserta derajat haditsnya. Inilah dia! Pemahaman dari sebuah nasihat bapak beberapa tahun yang lalu, “dalam beragama tidak boleh taklid, ikut-ikutan. JIka kamu mengetahui sebuah kebenaran yang didukung oleh dalil yang shahih, ikuti itu meskipun kamu hanya sendirian.”
Seolah dalam jarak yang begitu singkat perubahan pemahaman itu datang. Bahwa setelah mengakui keimanan kepada Allah dengan persaksian laa ilaha illa Allah, dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, juga mewujudkan kesaksian bahwa Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya dengan ittiba’ kepadanya sebagai konsekuensinya.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Imran : 31).
Sebagai seorang awam yang baru membuka cakrawala pandangnya, mempertahankan sesuatu kebenaran yang baru diperolehnya bukanlah hal yang mudah. Terlebih jika berhadapan dengan mereka yang telah lama berkecimpung dan membawa pemikiran berbeda, yang mempunyai lebih banyak hujjah yang tidak atau belum saya ketahui. Perselisihan yang tidak jarang menimbulkan tudingan, meski akhirnya berusaha diredam sebagai wujud saling menghargai pemahaman masing-masing, atau mungkin lebih tepat, menghindari bentrok lebih lanjut.
Mengikuti perintah Allah untuk selalu merenung dan berpkir yang banyak tersebar dialam Al-Qur’an-nul Karim, secara logika, ayat tersebut di atas sesungguhnya sudah cukup untuk menjadi hujjah untuk ittiba kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Yang sungguh mengherankan adalah, sebagian orang ketika dibawakan hadits yang jelas sah, justru menolak atau menghindar dengan berbagai alasan yang mereka sebut lebih ilmiah, atau lebih mendekati kemaslahatan. Lupa bahwa Allah Subhanahu Wata'ala telah menegaskan dalam Al-Qur’an:
Sebagai seorang awam yang baru membuka cakrawala pandangnya, mempertahankan sesuatu kebenaran yang baru diperolehnya bukanlah hal yang mudah. Terlebih jika berhadapan dengan mereka yang telah lama berkecimpung dan membawa pemikiran berbeda, yang mempunyai lebih banyak hujjah yang tidak atau belum saya ketahui. Perselisihan yang tidak jarang menimbulkan tudingan, meski akhirnya berusaha diredam sebagai wujud saling menghargai pemahaman masing-masing, atau mungkin lebih tepat, menghindari bentrok lebih lanjut.
Mengikuti perintah Allah untuk selalu merenung dan berpkir yang banyak tersebar dialam Al-Qur’an-nul Karim, secara logika, ayat tersebut di atas sesungguhnya sudah cukup untuk menjadi hujjah untuk ittiba kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Yang sungguh mengherankan adalah, sebagian orang ketika dibawakan hadits yang jelas sah, justru menolak atau menghindar dengan berbagai alasan yang mereka sebut lebih ilmiah, atau lebih mendekati kemaslahatan. Lupa bahwa Allah Subhanahu Wata'ala telah menegaskan dalam Al-Qur’an:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتّٰى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisaa : 65)
Sementara sebagian lainnya untuk hal yang sama agar mengikuti sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam justru membawakan ayat lain seolah menuding bahwa itttiba’ us-sunnah adalah suatu bentuk taklid.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS Al-Baqarah : 170).
Padahal jika menggunakan pemikiran yang jernih, ayat di atas justru menuding mereka yang hanya ikut-ikutan terhadap tradisi nenek moyang tanpa pengetahuan dan di dasari nash yang jelas, sebagaimana di katakan diakhir ayat tersebut, “walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat pentunjuk.”
Tentu saja hal ini berbeda dengan mengikuti Rasulullah. Bukankah Al-Qur’an yang mulia adalah petunjuk untuk alam semesta yang diturunkan kepada beliau? Bukankah sebagai manusia pilihan terbaik utusan Rabbul Alamain, beliau adalah orang yang paling tahu dan memahami isi Al-Qur’an sekaligus mengamalkannya? Dan sebagai konsekuensinya mengikuti ajarannya mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, pengikut Rasulullah sallallahu alaihi wasallam terdahulu, mereka yang terdidik langsung oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam, ashabikunal awwalun, merupakan suatu kemestian yang tidak bisa ditawar untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu Wata'ala, sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. “ (QS At-Taubah : 100).
Membandingkan objek yang disebutkan pada kedua ayat di atas tentu saja jelas bagi kita. Yang satu adalah pengikut agama nenek moyang yang tidak didasari pengetahuan dan petunjuk, inilah yang disebut taklid, sedangkan pada ayat lainnya adalah orang-orang yang diridhai Allah karena mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.
Selanjutnya mengikuti pemahaman para sahabat dengan baik, para pendahulu ‘salafus-shaleh’, merupakan sebuah keharusan, karena merekalah sebaik-baik manusia yang mengambil langsung petunjuk dan didikan dari Nabi Allah Subhanahu Wata'ala. Pada masa mereka lah Al-Qur’an di turunkan, dan kepada mereka lah Rasulullah menjelaskan maknanya. Mengingkari mereka –hasil tarbiyah langsung Rasulullah sallallahu alaihi wasallam - juga berarti mengingkari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam,
Dalam kitab Al-I’tisam disebutkan bahwa Umar bin Khaththab radiallahu anhu pernah memanggil Ibnu Abbas radiallahu anhu dan bertanya mengenai penyebab perselisihan yang menyebabkan terpecahnya umat ini menjadi beberapa golongan, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam beberapa hadits beliau, padahal kitab mereka satu, kiblat mereka satu. Sebuah jawaban yang sangat tinggi nilainya dan patut dicatat dengan tinta emas dari Ibnu Abbas radillahu anhu yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada para sahabat, mereka membacanya dan memahaminya serta mengamalkannya. HIngga akan datang suatu masa ketika umat ini membaca Al-Qur’an dan memahaminya dengan cara masing-masing, yang pada akhirnya mereka berselisih dikarenakan perbedaan pemahaman tersebut. Padahal Allah telah melarang dengan tegas hal itu sebagaimana firman-Nya:
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum : 31-32)
Fenomena perpecahan itulah yang terjadi sekarang ini. Perbedaan pemahaman yang kental dan begitu banyak, dimana masing-masing berpegang teguh pada pemahamannya dan mengikuti hawa nafsunya, tidak lagi bertahkim kepada nash dan ittiba sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 65 di atas, karena bagi sebagian orang itu akan berarti kekalahan, hal itu akan menyebabkan mereka meninggalkan sebentuk pemahaman atau ajaran yang telah dibangun sejak lama, ataupun khawatir mendapat celaan manusia.
Fenomena perpecahan itulah yang terjadi sekarang ini. Perbedaan pemahaman yang kental dan begitu banyak, dimana masing-masing berpegang teguh pada pemahamannya dan mengikuti hawa nafsunya, tidak lagi bertahkim kepada nash dan ittiba sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 65 di atas, karena bagi sebagian orang itu akan berarti kekalahan, hal itu akan menyebabkan mereka meninggalkan sebentuk pemahaman atau ajaran yang telah dibangun sejak lama, ataupun khawatir mendapat celaan manusia.
عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح]
“Abu Najih, Al 'Irbad bin Sariyah "Rasulullah telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan membuat airmata bercucuran". kami bertanya, "Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah selamanya (meninggal), maka berilah kami wasiat" Rasulullah bersabda, "Saya memberi wasiat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Alloh yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar dan ta'at walaupun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan berpeganglah kamu dengan kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)
Sebuah ajakan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman salafush-shaleh, para pendahulu, para sahabat yang bertemu dan mengambil pelajaran langsung dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, dari golongan Muhajin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ikhsan, untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu Wata'ala.
Wallahu bit-taufiq
Subhanallah
ReplyDeleteSaya banyak banget mendapat pengetahuan dari blog mbak Khayla ini.
Saya mohon izin, mencuplik dan mengedarkan, serta me-link artikel2 mbak Khayla kepada temen2 saya.
Semoga Allah merahmati kita semua dalam ilmu kebenaran dan hidayahnya.