Friday, January 19, 2007

Sisi HItam Demokrasi Ala Kuffar

Bagian pertama dari (rencananya) 2 tulisan

Belajar dari pengalaman, mungkin itu lebih tepatnya. Kekaguman pada seorang tokoh nasioanl terbaik saat itu, yang kemudian tersingkir oleh sebagian besar orang yang tidak menyukainya – mungkin lebih tepat mengincar kedudukannya – hingga akhirnya digantikan oleh tokoh lain yang dikatakan lebih kecil mudharatnya namun terbukti malah lebih buruk.

Itu, adalah proses tersingkirnya seorang hebat BJ. Habibie dari kursi kepresidenan atau bahkan panggung politik Indonesia. Orang-orang yang tadinya bahkan sepakat mendukungnya justru berbalik menjadi lawan. Yang lebih menyedihkan lagi, adab para anggota majelis yang konon berisi wakil-wakil rakyat yang berpendidikan, orang-orang pilihan, justru bertingkah seperti masyarakat kelas bawah dengan teriakan dan cemoohan riuh rendah, benar-benar tidak mengesankan orang-orang pilihan yang terpelajar.

Ya, cukup satu peristiwa saja yang membuatku mengerti satu hal, bahwa politik dan demokrasi ala kuffar itu KOTOR!

Tidak pernah terpikirkan sebuah penjelasan yang lebih masuk akal dari peristiwa beberapa tahun silam yang menghasilkan alergi itu.
Lalu kemudian bermunculan penjelasan lain.yang membuat yakin bahwa alergi terhadap politik dan demokrasi ala kuffat itu benar-benar punya hujjah yang kuat..

Orang-orang menyanjung demokrasi sebagai jalan keluar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menungndang seluruh warga masyarakat bermusyawah dalam satu pesta besar yang berlabel Demokrasi, dengan hak yang sama, satu orang satu suara.

Ya, Hak yang sama. Suara laki-laki dan perempuan sama, suara orang berilmu dan orang bodoh sama, suara penguasa dan suara rakyat jelata sama, seorang ulama adalah sama dengan suara seorang penjahat..Di satu sisi orang akan menilainya sangat baik, karena ada kesetaraan dan kesamaan hak di berbagai lapisan masyarakat.

Sekarang mari kita coba mrlihat dari sisi yang lain, bagaimana Islam memandang persamaan itu.

Jika demokrasi menyamaratakan antara suara orang berilmu sama dengan suara orang bodoh, maka Allah membantahnya dalam firmanNya:

"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran."
(QS Az Zumar : 9).

Jika suatu keputusan diserahkan kepada seluruh masyarakat untuk mengambil keputusan penting yang akan menjadi pengagan seperti udang-undang misalnya, maka suara orang-orang berilmu akan kalah dengan orang-orang bodoh, karena orang-orang berilmu selalu menjadi kalangan minoritas diantara sejumlah besar manusia.

Sungguh penghinaan kepada orang-orang beriman dan berilmu pada saat suara mereka disamakan dengan suara orang yang tidak berilmu diambah lagi tidak beriman, padahal Allah telah mengatakan dalam surat Al Mujadalah ayat 58 akan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat.

Jika demokrasi menyamaratakan orang yang sempurna dengan orang yang cacat, maka Allah membantahnya dalam pengandainNya:

"Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (QS Al An’am : 50)

Jika demokrasi menyamaratakan suara gemobong penjahat dengan seorang seorang yang teguh keimanannya, maka Allah membantahnya dengan firmanNya:

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ?” (QS Fathir : 35).

Bahkan demokrasi menyamakan suara muslim dengan orang-orang kafir jelas-jelas menyalahi ketentuan Allah dalam firmanNya:

”Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? ”(QS Al Qalam : 35 – 36).

Lalu dimana sisi baik demokrasi itu?

Kalau dikatakan bahwa demokrasi mengakomodasi kepentingan orang banyak, dalam artian suara mayoritaslah yang menetukan suatu kebijakan atau yang memutuskan terhadap suatu perkara. Lihat apa hasilnya!
Didunia barat, meskipun praktek aborsi ditentang oleh para gerejawan, toh undang-undang yang membolehkan aborsi tetap diberlakukan di beberapa negara bagian Amerika Serikat karena mayoritas masyarakatnya menginginkannya.
Lihat ke Denmark, meskipun ditentang kaum agawaman toh undang-undang tetap membolehkan wanita menikah dengan wanita dan sebaliknya.
Lalu tengok ke dalam negeri sendiri, Indonesia yang katanya negara dengan jumlah muslim terbanyak di seluruh dunia. Apa yang dicapai dengan jumlah mayoritas itu?
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tidak dapat disahkan karena anggota DPR yang mengesahkan UU lebih banyak yang memilih tidak setuju karena berbagai alasan yang tidak syar’i. Padahal mayoritas anggota dewan yang terhormat itu beragama Islam!
Akankah kita mengambil contoh sebagaimana yang terjadi di dunia barat, semakin jauh keluar dari ajaran islam yang benar hanya karena mengikuti sebagian besar orang yang telah tersesat jalannya?

Apa jadinya jika demokrasi yang merupakan seistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ini kemudian menghasilkan keputusan mayoritas golongan manusia yang mengikuti hawa nafsunya seperti contoh diatas?

Sungguh sebuah malapetaka
!

3 comments:

  1. Diskursus seputar demokrasi dan Islam memang selalu menarik di bahas dan seru... LOL..di satu sisi..akibat dari "long experience" or maybe nightmare ... membuat kita dan barangkali mayoritas dari kita selalu melihat dengan pandangan negatif dari demokrasi ..sehingga apa apa yang muncul dari hasil interaksi sebagian umat islam hampir selalu di nilai/ditanggapi dengan kaca mata negatif, seolah olah tolak ukur dari sebuah penilaian adalah hanya, 'agree with me otherwise you are wrong' ..lolz
    Demokrasi tidak bisa semata mata di pahami sebagai sebuah konsep dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat saja, tapi yang lebih penting dari itu dan barangkali lebih esensial di kedepankan oleh kita adalah bagaimana ikut berperan serta dalam 'islah' perbaikan, amar ma'ruf .. nasihat .. dan tolak ukurnya tentu saja tidak semata mata hanya sukses dan tidaknya sebuah peraturan di tetapkan menjadi sebuah undang-undang. karena pada intinya yang selalu di tegaskan dan di perintahkan oleh Tuhan adalah perintah bekerja dan beramal, sedangkan soal hasil, itu bukan tugas dan bagian kita, ia adalah bagian dari urusan Tuhan, Kalo misalkan nilai sebuah kebenaran di tinjau hanya dari sisi berhasil dan tidaknya, barangkali bisa di katakan tugas dakwah nabi nuh adalah GAGAL karena dari dakwah selama 1000 tahun kurang 50 th, ternyata pengikutnya hanya segelintir saja,...
    mari kita diskusikan lebih lanjut.... di tunggu responsnya..heheh

    ReplyDelete
  2. Abu baca di tulisan bagian kedua aja sebagai respon panjang lebar.. :d

    ReplyDelete
  3. @abukoe:
    Bisakah Bapak memberikan contoh real Umat Islam ini berjaya karena mengamalkan demokrasi? Adakah Negara Islam yang makmur dari segi Aqidah dan Ibadah serta amaliahnya karena Demokrasi ini?
    Sementara itu, apakah telah tertutup mata Bapak (atau gak tau?) Sejarah/Shirah umat Islam dari Nabi Muhammad SAW hingga masa2 khilafah Utsmani Turki yang jaya dan mulia karena komitmen mereka dengan Islam?

    ReplyDelete