Sunday, April 09, 2006

Gender Relation dalam Paradigma Islam

Sebuah Opini

Sebuah ketersinggungan yang tidak dapat dilupakan begitu saja ketika berada di ruang kelas bersama seorang dosen yang tengah mengusung topik GENDER. Dari beberapa contoh betapa kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, hampir semuanya diambil dari negara miskin/terbelakang yang kebetulan beragama islam. Mungkin jika penjelasan dapat diberikan secara proporsional, hal itu tidak terlalu menjadi masalah, namun akan menjadi masalah besar manakala membahas kondisi itu dan kemudian menarik kesimpulan bahwa agama islam sangat tidak menghargai wanita.

Sebut saja contoh yang diambil dari kalangan masyarakat Pakistan kelas bawah bernama Fatimah. Dia berkunjung ke rumah tetangganya dan mendapati rantai di dinding. Akhirnya dengan memberanikan diri dia bertanya, “Untuk apa rantai itu?” Si tetangga menjawab, “itu untuk mengikatku manakala aku mendurhakai suamiku.” Fatimah pulang ke rumah dan akhirnya bercerita kepada ayahnya dengan penuh kekaguman pada wanita itu, bahwa sudah semestinyalah seorang perempuan yang mengabdi pada suaminya bersikap ridha atas penyiksaan seperti itu untuk kesalahan yang dilakukannya.


Atau sebut saja contoh yang lain. Seorang wanita dari pelosok Ethiophia, juga beragama islam. Dia dikucilkan oleh masyarakat karena perjuangannya untuk berpisah dari suaminya, yang oleh para pemikir Barat diabadikan dalam sebuah film untuk studi kasus, yang menggambarkan kegigihan seorang perempuan lepas dari belenggu superioritas suaminya. Sebagai sebuah komunitas islam, pengabdian yang menjadikan seorang isteri menjadi menghamba kepada suaminya merupakan hal yang lazim. Laki-laki dalam keluarga hanya memikul tanggung jawab yang ringan. Kelompok wanitalah yang harus bekerja menggarap kebun atau beternak. Ketika hasil diperoleh, merekalah yang bersusah payah menjualnya ke pasar dan seterusnya. Namun hasil akhir dari semua itu dipersembahkan untuk sang Suami yang menangani semua pembagiannya. Begitu superioritasnya sang Suami, bahkan pada saat dia memutuskan untuk menikah, sang isteri menyetujui tanpa reserve, bahkan wajib melayani isteri muda. Pada saat sang suami meninggal maka harta selanjutnya akan jatuh ke tangan anak laki-laki, begitu seterusnya. Seumur hidup perempuan tidak mempunyai hak dan tetaplah sebagai pekerja.

Kembali pada kasus perempuan yang berjuang untuk lepas dari suaminya tadi. Dia tidak tahan menghadapi perlakuan seperti itu dan memutuskan untuk bercerai, meskipun memahami konsekuensi akan terkucil dari masyarakat. Dia, kemudian di dalam film itu, dijadikan sebagai seorang tokoh, pahlawan yang memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan merdeka.

Sungguh sayang mayoritas dari contoh-contoh kasus pada kelas-kelas Gender and Development, diambil dari masyarakat miskin yang notabene bergama islam. Akibat pengetahuan yang minim, jika bukan tidak ada sama sekali, agama islam akhirnya dituding sebagai agama yang tidak menghargai perempuan dan merendahkan martabanya. Masyarakat Barat, yang mengklaim diri mereka lebih beradab dan lebih menghargai wanita tidak perduli apakah kondisi yang terjadi itu murni akibat ajaran normatif islam atau karena pengaruh budaya. Karena sesungguhnya ajaran normatif islam itu baku dan hanya punya 2 sumber, Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan pada kenyataanya penerapan di berbagai negara yang dianggap mewakilii komunitas islam justru berbeda bahkan keluar dari ajaran normatif islam dan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat, seperti yang dijumpai dalam kedua contoh kasus tadi.

Jika saja mau mengkaji lebih dalam, akan ditemukan betapa islam telah memuliakan wanita, mengangkatnya dari derajat kehinaan dari jaman jahiliyah.

Islam tidak pernah mengajarkan penyiksaan suami atas isteri ketika sang isteri berbuat kesalahan. Tuntunannya jelas, dipisahkan dari tempat tidur, dan jika itu tidak berhasil maka boleh diberi pukulan dengan syarat tidak di wajah dan juga tidak menimbulkan bekas, apalagi sampai melukai.

Islam mewajibkan laki-laki atau suami lah yang mencari nafkah, bukan isteri. Adalah salah jika beban itu diambil alih oleh sang isteri / wanita dan membiarkan suami / laki-laki bertingkah seolah majikan.

Islam secara adil membagi warisan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berhak mendapat separuh dari bagian laki-laki tanpa kewajiban untuk menafkahi, sementara laki-laki dengan bagian yang lebih besar dibebani tanggung jawab untuk menafkahi keluarga.

Kerancuan dalam kelas-kelas Gender ini harusnya tidak terjadi jika komunitas yang berlabel islam itu tidak sekedar mengusung simbol yang hanya menodai ajaran islam itu sendiri. Ajaran islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah itu harusnya dijadikan budaya yang menghiasi kehidpan masyarakatnya, bukannya malah terkikis oleh budaya atau penafsiran keliru yang dijadikan tradisi turun-temurun, yang dipenuhi kerancuan dan diyakini sebagai ajaran normatif islam yang benar.

Ditinggikannya derajat laki-laki atas wanita dalam surat An Nisa, oleh golongan yang mengklaim diri mereka sebagai pembebas kaum perempuan dari ketertindasan dan dominasi laki-laki, dianggap sebagai salah satu contoh ketidakadilan islam dalam memperlakukan wanita. Padahal jika disimak dengan lebih jeli, hal itu tidak terjadi serta merta dengan gratis.

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka“ (An Nisa : 34)

Disitu tertera dengan jelas bahwa pemberian itu karena dibebankannya kewajiban terhadap laki-laki sebagai pemberi nafkah bagi wanita / keluarganya, sedangkan wanita tidak dikenai kewajiban itu.

Islam dengan sempurna mengatur Gender Relation diantara umatnya. Masing-masing golongan, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak dan keajibannya. Tidak dapat dibantah bahwa secara fitrah, penciptaan laki-laki dan perempuan berbeda secara physiologic dan phsycologic, sehingga sangat logis bila perbedaan hak diberikan serta kewajiban yang dibebankan menurut fitrahnya masing-masing. Perbedaan ini tidak menjadikan salah satu lebih superior dibandingkan yang lain, karena setiap mahluk diciptakan berpasang-pasangan seperti juga pada penciptaan siang dan malam. Dimata Allah, satu-satunya Illah, Rabb tempat kembali, semuanya sama, dan yang membedakannya hanyalah derajat ketakwaannya. Seperti pada firman Allah berikut ini.

"Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab“ (Al Mu’mun : 40)

Atau firmanNya:

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan“ (AnNahl : 97)

Keduanya mempunyai kedudukan yang sama dalam penerapan hukum seperti firmanNya :

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (Al Maidah : 5)

Ataupun firmanNya:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman" (An Nur : 2)

Jadi sekali lagi, perbedaan hak dan kewajiban itu tidak berakibat pada perbedaan derajat mereka dihadapan Allah Rabbul Alamin. Bagaimana usaha mereka, laki-laki dan perempuan, secara sungguh-sungguh dalam memenuhi hak dan kewajibannya itulah yang akan jadi penentu derajat takwanya sebagaimana termaktub dalam firman Allah :

"…Dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar " (Al Lail : 3-10)

Dari ayat diatas jelas bahwa yang membedakan antar manusia, baik laki-laki mamupun perempuan, adalah usaha mereka. Kewajiban Allah lah yang memberi petunjuk, dan yang membedakan manusia, laki-laki maupun perempuan, adalah usahanya memperoleh petunjuk itu, untuk mengantarkannya kepada derajat kemuliaan yang tinggi. Masing-masing telah disiapkan bagiannya menurut usahanya

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (An Nisa : 32)

Islam adalah agama yang proporsional dan mengatur umatnya dengan hukum-hukum yang proporsional pula. Dialah Allah, Rabb semesta alam yang menciptakan sesuatu menurut kadarnya masing-masing. Dia Maha Bijaksana dan Maha mengetahui segala apa yang Dia ciptakan. Adalah sia-sia jika mencoba menggugat aturan yang digariskanNya dengan penalaran akal pikiran manusia yang sangat terbatas. Bagaimana mungkin manusia, mahluk yang diciptakan termasuk akal pikirannya, meragukan kebijaksanaan Dia yang menciptakan? Bagaimana mungkin manusia dengan masa hidup yang sangat singkat mengkritisi Dia Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus mahluknya? Bagaimana mungkin manusia yang diciptakan dari setitik air yang hina mampu menandingi kebijaksanaan Dia yang menguasai setiap kehidupan?

Sesungguhnya tidak akan ada persoalan mengenai kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, jika semua pihak berpegang teguh pada aturan yang ditetapkan Allah SWT. Namun jika yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kedudukan yang sama, peran yang sama, dan kesetaraan di segala bidang antara laki-laki dan perempuan di setiap sendi kehidupan dunia, dan bukannya keridhaan Allah SWT, maka yakinlah keburukan akan menimpa.

Kesetaraan gender yang didengung-dengungkan di dunia Barat telah menghancurkan institusi keluarga, sebagai madrasah pertama bagi generasi berikutnya. Dampaknya sangat jelas terlihat dengan meningkatnya angka perceraian dan orang tua tunggal. Kebejatan moral semakin merajalela dimana-mana, karena keharmonisan keluarga yang seharunya menjadi benteng pertahanan pertama dan terakhir telah hancur dan digantikan oleh individualisme. Pendidikan usia dini yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalam keluarga digantikan oleh pendidikan sekuler yang cenderung kapitalis yang nyaris mengikis habis rekat-rekat kekerabatan.

Sungguh sayang, bahwa sebagian aktivis perempuan di negeri ini, yang mengaku beragama islam, justru mengadopsi pemikiran rancu ini. Sebagai seorang muslimah, seharusnya menggali kedalam khasanah islam itu sendiri. Jika ada kesetaraan gender dalam islam, maka kesetaran itu adalah dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban dalam islam menurut cara-cara yang ma’ruf, dan bukannya kesetaraan dalam hak dan kewajiban itu sendiri. Kesetaraan pelaksanaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan prempuan akan melahirnkan gender relation yang harmonis, yang penuh pengertian dan saling menghargai akan posisi masing-masing baik itu didalam keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat. Sehingga akan tercipta keluarga utuh dan masyarakat yang harmoni,, yang menjadi wadah pertumbuhan generasi yang berakhlak mulia. Sebaliknya kesetaraan dalam hak dan kewajiban antara pria dan wanita justru akan memicu konflik, persaingan, dan rasa superioritas dan dominasi satu pihak atas pihak lainnya.

Sungguh, jika manusia menjadikan akal pikirannya yang serba terbatas untuk menuruti hawa nafsunya yang tidak terbatas sebagai hujjah, maka akan semakin tergelincir jauh dari kebenaran.

Hanya kepada Allah kita memohon hidayah agar tetap berada di jalan yang lurus.

1 comment: