Wednesday, August 11, 2010

Waktu Niat Berpuasa


Pemateri: Syaikh Abdullah Abdur-Rahmaan Al-Ghudyaan
Waktu: Sabtu, 30 September 2006
Sumber: Transkrip Al-Baseerah Forum

Syaikh kita tercinta, Syaikh Abdullah Abdur-Rahmaan Al-Ghudyaan memulai:
Assalamu’alaikum warahamtullah wabarakatuh

Setelah memulai dengan Basmalah dan Hamdalah, kemudian mengirimkan shalawat dan salam kepada Nabi kita shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa pelajaran malam ini adalah penjelasan mengenai Waktu Niat. Beliau menyebutkan bahwa dalil disyariatkannya niat adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّمَا لِكُلّ امرىءٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan...” (HR Bukhari Muslim)

Maka di dalam hadits ini menjelaskan bahwa amal diberi ganjaran berdasarkan niat, dan karena shiyam adalah amal, maka ia membutuhkan adanya niat.

Jenis-jenis Puasa

Kemudian syaikh menyebutkan bahwa puasa terdiri dari beberapa jenis:

Puasa jenis pertama adalah puasa wajib yang diwajibkan dan ditetapkan oleh Allah subhahanu wa ta’ala, dan itu adalah shiyam Ramadhan.

Dan puasa jenis kedua adalah yang juga diwajibkan Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi hamba Allah lah yang menyebabkannya menjadi wajib. Misalnya kafaratul yamin (كفارة اليمين) – kafarat karena melanggar sumpah) dan kaffaratuzh zhihaar [(كفارة الظهار) , kafarat karena mengatakan ‘isteriku seperti punggung ibuku’ (haram untuk didekati)] dan kaffaratul jima (كفارة الجماع) dan ini adalah tebusan karena melakukan jima’ dengan isteri ketika sedang berpuasa di bulan Ramadhan dan kaffaratul qatl khattan (كفارة القتل خطأ) yakni tebusan karena membunuh seseorang tanpa sengaja. Shiyam dari semua jenis ini adalah wajib dan Shiyam Ramadhan adalah fardhu.

Jenis shiyam lainnya adalah ketika seorang hamba mewajibkan shiyam bagi dirinya dan ini disebut puasa nazar (صيام النذر puasa karena bernazar untuk melakukannya).

Inilah ketiga jenis shiyam. Kategori yang pertama adalah yang Allah tetapkan dan wajibkan, kategori yang kedua adalah diwajibkan oleh Allah namun hamba lah yang menjadi penyebabnya dan kategori yang ketiga adalah hamba yang memulai dan mewajibkan bagi dirinya..

Waktu Niat

Pada semua kategori (shiyam) ini, disyaratkan adanya niat, dan niat harus dilakukan di waktu antara terbenamnya matahari dan terbitnya fajar.

Di antara dalil-dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan ashabus sunan dari Hafsah radhaillahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
"Barang siapa yang tidak mengumpulkan waktu puasa dengan waktu fajar, maka tidak sah puasanya." (Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6538)

Dan dalam riwayat lainnya oleh Daruquthni dan al-Baihaqi diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar maka tidak ada shiyam baginya.” (Diriwayatkan dalam Sunan an-Nasa’i kitab as-Siyam, dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Dan masih banyak dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang hendak berpuasa harus berniat sebelum fajar. Dan jika fajar telah terbit dan orang tersebut belum melakukan niat, atau orang tersebut berniat (untuk berpuasa) setelah fajar, maka puasanya tidak sah.

Asy-Syaikh menyebutkan bahwa:
Telah dibahas sebelumnya bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atas hamba-Nya, dan ada jenis puasa tertentu di mana hamba itu sendiri yang menjadikannya wajib atas dirinya – missalnya jika dia bernazar atau mengganti puasa Ramadhan. Dalam hal ini, ada beberapa perkara yang harus diingat – pertama adalah dia harus melakukan niatnya pada malam hari – ini untuk puasa yang wajib.

Adapun untuk puasa tambahan (nafil), seseorang juga harus bersniat untuk berpuasa sebelum fajar yang sebenarnya terbit. Jika dia ingin berpuasa di siang hari (puasa sunnah), ia diperbolehkan untuk berniat di siang hari; namun dengan syarat bahwa sebelumnya dia tidak mengambil (atau melakukan) apapun yang dapat membatalkan puasanya. Dalilnya adalah riwayat Aisyah rahdiallahu anha:

“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar. Tak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi seorang tamu mengunjungi kami--. Aisyah berkata; Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali saya pun berkata, "Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untuk Anda." Beliau bertanya: "Makanan apa itu?" saya menjawab, "Hais (yakni terbuat dari kurma, minyak samin dan keju)." Beliau bersabda: "Bawalah kemari." Maka hais itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, "Sungguh dari pagi tadi aku puasa." Thalhah berkata; Saya menceritakan hadits ini kepada Mujahid, lalu ia berkata, "Hal itu seperti halnya seorang laki-laki yang mengeluarkan sedekah. Jika ingin, ia akan mengeluarkannya, dan jika tidak, maka ia akan menahannya." (HR Muslim dalam Kitab as-Shiyam no. 1154).

Dalam riwayat lain dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata;

“Pada suatu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemui dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" kami menjawab, "Tidak." Beliau bersabda: "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka beliau pun bersabda: "Bawalah kemari, sungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa." Kemudian beliau makan.” (HR Muslim dalam Kitab as-Shiyam)

Terdapat banyak dalil berkenaan dengan hal ini, yakni jika seseorang bermaksud untuk melakukan puasa tambahan, dia harus berniat sejak malam sebelumnya atau dia diperbolehkan melakukan niat di siang hari dengan syarat dia tidak memakan makanan atau minuman apapun sebelumnya dan tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa. Orang ini juga memiliki pilihan – dalam keadaan ini – untuk tetap berpuasa atau membatalkannya. Dan dia dapat melakukan ini (membatalkan puasa nafil) jika ada kebutuhan untuk melakukannya dan jika dia melakukannya, ia tidak dipandang melakukan suatu perbuatan dosa.

Sesi Tanya Jawab

Pertanyaan: Manakah waktu yang paling akhir untuk sahur? Apakah waktu ketika adzan Subuh dikumandangkan ataukah seseorang dapat tetap makan dan minum sampai Muadzin selesai adzan?

Jawaban: Syaikh menyebutkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS Al-Baqarah [2[ : 187)

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan tanda ini sebagai petunjuk yang semuanya bergantung kepadanya dalam menentukan waktu kapan seseorang harus menahan diri dari segala makanan atau minuman yang dapat membatalkan puasa. Beberapa orang mengumandangkan adzan sebelum fajar yang sebenarnya, yang lainnya mengumandangkan adzan setelahnya. Dimungkinkan untuk merujuk pada kalender yang kita miliki untuk menentukan waktu fajar yang sebenarnya. Jika seseorang sedang berada di KSA, dia dapat merujuk pada kalender Ummul Qura; jika dia berada di luar, dia dapat merujuk pada kalender di tempatnya berada. Namun demikian, kita harus ingat bahwa Allah telah menjadikan munculnya fajar yang sebenarnya sebagai tanda di langit (yang menunjukkan) kapan seseorang harus menahan diri dari makan dan minum.

Pertanyaan: Bolehkan berpuasa tanpa melakukan sahur? Jika saya tidak terbangun pada saat sahur atau fajar, haruskah saya makan atau berpuasa pada hari itu?

Jawaban Syaikh: Wajib baginya untuk menahan diri dari makan dan minum – (dan) melanjutkan puasanya. Dan wajib baginya untuk mengganti hari tersebut karena dia tidak melakukan niat pada waktunya, (yakni) sebelum terbitnya fajar. Namun, apabila seseorang tidur setelah qiyamul lail dan telah berniat untuk berpuasa keesokan harinya, dan dia terbangun setelah terbitnya matahari, maka puasa orang ini sah karena dia telah berniat sebelum fajar.

Pertanyaan: Di masjid kami, Imam melakukan sering melakukan kesalahan dalam bacaannya dalam shalat tarawih. Apa yang harus kami lakukan dalam situasi yang demikian?

Jawaban Syaikh: Jika kesalahan yang dilakukan orang tersebut merubah makna, maka tidak sah baginya berada dalam posisi sebagai imam dan anda harus memilih/mencari seseorang yang tidak melakukan kesalahan seperti ini. Namun jika orang tersebut telah menyempurnakan bagian tertentu dari al-Qur’an, - bagian akhir misalnya - maka dia shalat dengan membaca bagian al-Qur’an yang telah dia sempurnakan tersebut dan mengimami manusia shalat dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an yang telah dia sempurnakan (bacaannya dengan baik).

Pertanyaan: Jika seorang wanita hamil meninggal sebelum mengganti puasanya, apa hukumnya di dalam Islam? Apakah puasa yang ditinggalkannya harus diganti oleh anak laki-lakinya atau suaminya?

Jawaban Syaikh: Jika wanita yang hamil ini tidak dapat berpuasa dan dia meninggal sebelum mampu membayar puasanya, jika alasannya tidak berpuasa karena menghindari bahaya bagi dirinya, maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengganti puasa baginya. Jika (dia tidak berpuasa) disebabkan oleh (khawatir akan) dirinya dan karena janin yang dikandungnya, maka puasa dilakukan baginya, dan juga kafarat harus dibayarkan – satu setengah kilo gandum, beras atau kurma, untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Pertanyaan: Saya mengidap penyakit asma kronis dan sepanjang hari saya harus menggunakan inhaler (obat atau serbuk (obat asma). Apakah hal itu akan membatalkan puasaku?

Jawaban Syaikh: Itu (inhaler dan selainnya) harus digunakan pada malam hari dan tidak pada siang hari. Jika digunakan pada siang hari maka hal itu membatalkan puasanya.

Pertanyaan: Jika seorang wanita menemui ginekolog dan diperiksa pada saat berpuasa. Apakah ini membatalkan puasa?

Jawaban Syaikh: Jika tidak ada sesuatu yang masuk yang dipandang sebagai makanan atau minuman, yakni yang masuk ke perut, maka jenis pemeriksaan ini tidak membatalkan puasa.

Pertanyaan: Di masjid kami, seorang imam yang memimpin shalat tarawih pertama 8 raka’at kemudian mereka beristirahat agar orang-orang yang meyakini bahwa seseorang hanya boleh shalat 11 raka’at dapat meninggalkan (masjid). Mereka tidak shalat witr, hanya 8 raka’at lalu pergi. Dan kemudian imam lain maju dan menyelesaikan hingga 21 raka’at. Kami telah mendengar hadits bahwa orang yang memulai dan mengakhiri shalat dengan imam mendapatkan pahala shalat sepanjang malam. Maka dalam keadaan ini, jika seseorang berhenti pada raka’at ke 8, apakahh ini dianggap selesai (shalat) bersama imam ataukah harus menyelesaikan hingga 21 raka’at untuk mendapatkan pahala shalat sepanjang malam?

Jawaban Syaikh: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إنه من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya orang yang shalat bersama imam sampai imam selesai dicatat baginya shalat sepanjang malam.” (Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2417)

Ini termasuk shalat tarawih dan juga witr. Maka orang-orang yang meninggalkan shalat dan tidak tidak shalat bersama imam, mereka tidak akan mendapatkan pahala ini (shalat sepanjang malam).

Sebagai tamahban tidak patut bagi kita memperhatikan perebedaan-perbedaan ini di antara kita. Seseorang berkata bahwa anda harus shalat 11 rakaat, 13 raka’at dan yang lainnya berkata anda harus shalat 23 raka’at. Kita mengetahui, misalnya, mereka shalat 23 raka’at di Masjidil Haram. Dan sebagian orang melihat pada bilangan raka’ar, 11, 13 – dan mereka tidak melihat pada cara shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat. Berapa banyak orang yang shalat seperti cara shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam, cara beliau memanjangkan berdirinya, memanjangkan ruku’nya, cara beliau memanjangkan sujudnya – ini adalah sesuatu yang diabaikan manusia. Mereka melihat pada jumlah raka’at dan tidak memperhatikan bagaimana cara shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang sebenarnya.

Umar radhiallahu anhu mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih dengan 23 raka’at. Maka jika seseorang shalat 11 raka’at, dia tidak semestinya diingkari, jika dia shalat 13 raka’at, dia tidak seharusnya diingkari, dan orang-orang yang shalat 23 raka’at tidak seharusnya diingkari.

Pertanyaan: Haruskan seorang musafir di bulan Ramadhan melanjutkan shalat rawatib, dan adakah pahala melakukannya pada waktu ini?

Jawaban Syaikh: Musafir di bulan Ramadhan; ia shalaat Dzuhur dan Ashar dengan menggabungkan (jama’) dan memendekkannya (qashr). Adapun Maghrib tetap tiga raka’at dan dia menjama’ dengan Isya 2 raka’at (yakni shalat Isya dipendekkan –qashr – menjadi 2 raka’at –ed), dan dia tidak melakukan shalat rawatib. Namun Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa melakukan shalat Witr dan 2 raka’at sebelum shalat Fajar.

Musafir dan orang yang sakit harus mengetahui dari hadits Nabi shallallahu alihi wasallam bahwa mereka akan mendapatkan pahala dari apa yang biasa mereka kerjakan ketika mereka sedang mukim atau tidak sedang sakit. Maka bagi musafir, dicatat baginya pahala penuh untuk shalat-shalatnya, dan jika ia biasa mengerjakan shalat thathawwu atau nawafil, maka dicatat baginya sana seperti ketika dia mukim. Demikian juga bagi orang sakit, pahala dituliskan baginya seperti yang biasa ia kerjakan ketika ia dalam keadaan sehat.

Pertanyaan: Saya tahu bahwa berkelahi di bulan Ramadhan dilarang kecuali jika saya diserang dan telah mengatakan ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’ tiga kali. Saya bertanya tentang latihan perang (seperti bela diri atau jenis latihan militer lainnya). Apakah ini sama dengan perkelahian yang dilarang?

Jawaban Syaikh : tidak mengapa, insya Allah.

Pertanyaan: Saya ingin bertanya mengenai 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, jika seseorang shalat di rumah sendirian dan bukan di Masjid. Bolehkan saya membaca surat-surat pendek yang saya hafal ataukah saya harus membaca surat yang panjang dengan melihat mushaf?

Jawaban Syaikh: Shalatnya wanita adalah lebih baik dilakukan di rumah dari pada di Masjid, dan dia dapat membaca dari al-Qur’an jika dia dapat membaca al-Qur’an dan jika dia menghafal beberapa surat, maka dia pun dapat membaca surat-surat itu di dalam shalat.

Untuk melihat seluruh transkrip dan mendengarkan file audio Syaikh (Arab - dan terjemahan Bahasa Inggris) silahkan klik link di atas atau cari file "Ramadhan Part Two disini.

No comments:

Post a Comment