Adalah wajar bagi seseorang yang baru mengenal manhaj Salaf lalu merasa gamang. Gamang, karena baru saja hendak memulai langkah mempelajari agama dengan benar, dengan manhaj yang benar, langsung disuguhi perselisihan antar kelompok orang yang menyatakan dirinya bermanhaj Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Kelompok yang satu mencela kelompok yang lain, kelompok yang itu merasa lebih benar daripada kelompok yang ini. “Jangan mengaji di ustadz fulan atau fulan.... mereka begini dan begitu.” Atau “Jangan bergaul dengan kelompok itu... mereka itu bla bla bla...”
Sebagai seorang yang baru saja memulai, kontan saja hal itu membuat bingung. Masa iya, manhaj yang haq ini, yang berusaha untuk selalu menegakkan hujjah secara ilmiah dalam setiap sendi ibadah, justru menyimpan saling permusuhan bagi orang-orang yang mengaku berpegang kepadanya? Bukankah seharusnya mereka bahu membahu untuk menegakkan dakwah di atas manhaj yang hak ini, karena mereka hanyalah sebagian kecil dari sejumlah besar manusia yang mengaku Muslim? Bahkan hanya kekuatan kecil dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang saling tolong-menolong dalam usaha menghancurkan Islam, baik dari dalam maupun dari luar?
Beberapa situs ataupun blog pribadi berisi celaan, cacian bahkan tuduhan sesat pada kelompok tertentu, padahal mereka sama-sama mengajak pada Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Terlebih apa yang dituduhkan itu terkadang hanyalah disebabkan oleh salah presepsi, karena informasi yang keliru atau tidak utuh, atau atas sesuatu yang bersifat ijtihadiyah, atau hal-hal yang di dalamnya memang terdapat ikhtilaf (perbedaan) bahkan di kalangan para ulama. Wallahu a’lam.
Betapa mudahnya celaan terhadap sesama kaum muslimin, bahkan sesama kelompok yang masing-masing menisbatkan diri dan berpegang kepada manhaj Salaf, dilontarkan, dipublikasikan, sehingga siapapun dapat dengan mudah mengambil informasi itu, baik dari golongan awam yang tidak tahu menahu akan perkara tersebut, sehingga menimbulkan kebencian pada kelompok tertentu, atau oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam. Ya sangat mudah... tinggal beberapa klik di google, akan muncul tulisan-tulisan yang berbau tudingan. Orang bisa memenggal, membuang bagian tertentu dan mengambil bagian lain sekehendak hatinya untuk memenuhi tujuannya. Saya khawatir, bahwa cara-cara seperti ini justru kontra produktif. Bukan tidak mungkin sikap kita lah menjauhkan manusia dari dakwah yang penuh berkah ini. Bahkan, kita lebih banyak saling menuding di dalam tubuh sendiri daripada membantah tulisan-tulisan kelompok lain yang benar-benar dan nyata-nyata hendak merusak Islam dari dalam, yang telah mencela dan merendahkan para ulama, bahkan menolak sebagian sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam demi menyebarkan aqidah mereka yang batil.
Merasakan kegalauan akibat perpecahan itu, beberapa tahun silam saya pernah bertanya kepada seorang ustadz ternama, pada sebuah acara radio, yang juga direlay langsung via YM. Menjawab pertanyaan tersebut, al-Ustadz hafizahullah berkata, yang intinya menasihatkan kepada para pemula, orang-orang yang baru mengenal manhaj yang haq ini, untuk tidak ikut terlibat di dalam isu-isu perpecahan tersebut. Beliau menekankan pentingnya untuk menuntut ilmu terlebih dahulu, mengenali kebenaran dari sumbernya, yang dengan ilmu tersebut akan menjadi modal untuk mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Jawaban senada juga sempat saya tangkap dari rekaman kajian dua ustadz yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Walhamdulillah….
Karena itu saya ingin mengajak diriku sendiri dan kepada saudara-saudariku, khususnya para penulis di media-media blog dan selainnya, agar kita memfokuskan diri kepada apa-apa yang lebih mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri dan semoga juga bagi orang lain. Tidak terburu-buru atau ikut-ikutan menyerang satu kelompok, padahal kita sendiri tidak benar-benar mengenal mereka, akan tetapi hanya informasi sepihak yang didatangkan kepada kita. Seolah-olah kebenaran hanya berasal dari kelompok kita. Bahwa kita hanya bergaul dan bermuamalah dengan kelompok kita, karena apapun yang berasal dari kelompok kita adalah yang paling benar, dan di luar itu salah atau sesat. Bukankah akan lebih baik mendalami ilmu agama yang masih begitu banyak tidak kita ketahui dan pahami, ketimbang menyibukkan diri dengan ikut-ikutan di dalam perdebatan dan isu perpecahan?
Di dunia ini tidak ada satu kelompok pun yang ma’sum, bebas dari kesalahan, kecuali jama’ah para Sahabat yang telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena itu hendaknya loyalitas dan kebencian kita juga hanya didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, dan bukannya loyalitas dan kebencian itu didasarkan kepada kelompok atau organisasi tertentu. Bukankah dakwah Salaf adalah mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh generasih awal yang shalih, dan bukannya dakwah menjagak kepada kelompok atau organisasi atau individu tertentu? Sesungguhnya Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya:
“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Sukahkah kita menjadi orang yang memakan daging saudara sendiri dengan ghibah dan namimah melalui tulisan-tulisan kita, atau yang kita tampilkan, yang bisa dibaca kapan saja oleh siapa saja yang memiliki akses internet?
Dalam Kitab Al-Adzkar bab Menjaga Lisan oleh Imam an-Nawawi, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan mengatakan sesuatu kepadanya mengenai orang lain. Maka Umar rahimahullah berkata kepadanya: “Jika kau mau, kita akan menyelidiki kasusmu. Jika engkau berbohong, maka engkau adalah salah satu dari orang-orang disebutkan dalam ayat: إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا “…jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka Periksalah dengan teliti…” (QS Al-Hujarat [49] : 6), dan jika engkau menyampaikan kebenaran, maka engkau termasuk dalam ayat: هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ “yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,” (QS Al-Qalam [68] : 11). Dan jika engkau mau, kami akan mengabaikan perkara ini.” Maka orang itu berkata: “Abaikan saja, wahai Amirul Mu’minin. Saya tidak akan menyebutkannya lagi.”
Sebuah nasihat yang penuh hikmah dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Abdillah Alu Syaikh disampaikan ketika menjawab pertanyaan dari seseorang – yang dapat kita petik pelajaran darinya – sebagai berikut:
Mengambil Ilmu dari Orang yang Di-Jarh (dinukil dari Direktori Islam)
Penanya : Ya Syaikh! Apakah kita mengambil ilmu dari seseorang yang di jarh (cela) wahai
Syaikh? Apakah bisa diambil ilmu darinya?
Pembawa acara : Orang yang bagaimana?
Penanya : Mujarrah (orang yang di cela untuk dijauhi)
Pembawa Acara : Mujarrad ?
Penanya : Mujarrah (orang yang di cela)
Pembawa Acara : Baik, apa pertanyaan anda?
Penanya : Apakah boleh mengambil ilmu dari nya Wahai Syaikh?
Pembawa acara : Baik, siapa yang menjarh orang tersebut
Penanya : Syaikh Rabi
Pembawa acara : Terimakasih.Salam.Hayyakallah.
Penuntut ilmu wahai Samahatusy Syaikh! Tatkala diberitakan kepadanya baik dari yang orang yang dapat dipercaya atau tidak ,bahwa fulan telah di cela (di jarh) atau dilarang untuk diambil ilmu darinya,bagaimana wahai Syaikh?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh hafidzahullah: Akhi! Perkara seperti ini terkadang adalah hawa nafsu, menjarh manusia,mencelanya terkadang penyebabnya adalah hawa nafsu dan kemaslahatan personal.Dan saya tidak suka memasuki perkara seperti ini.Saya katakan: Thulabul Ilmi diharapkan darinya kebaikan-kebaikan, apabila kita merasakan sesuatu dari kesalahan seseorang, maka berdialoglah jika mungkin, atau kita tanyakan kepada orang yang kita percayai dari kesalahan ini.Adapun menjarh manusia,mencela dan mendeskreditkan dan memilah manusia dengan (mengatakan) orang ini tidak pantas dan ini baik,maka kebanyakan dari perkara seperti ini adalah hawa nafsu, mencela seorang muslim adalah kefasikan ,dan menghormati martabat seorang muslim adalah wajib.
Pembawa acara : Jazaakumullah khair Samahatus Syaikh
Sumber video suara dan gambar selengkapnya :moftie (size 1,5 mB) , acara tanggal 1 januari 2010.
Wallahu ta'ala a'lam
Sebagai seorang yang baru saja memulai, kontan saja hal itu membuat bingung. Masa iya, manhaj yang haq ini, yang berusaha untuk selalu menegakkan hujjah secara ilmiah dalam setiap sendi ibadah, justru menyimpan saling permusuhan bagi orang-orang yang mengaku berpegang kepadanya? Bukankah seharusnya mereka bahu membahu untuk menegakkan dakwah di atas manhaj yang hak ini, karena mereka hanyalah sebagian kecil dari sejumlah besar manusia yang mengaku Muslim? Bahkan hanya kekuatan kecil dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang saling tolong-menolong dalam usaha menghancurkan Islam, baik dari dalam maupun dari luar?
Beberapa situs ataupun blog pribadi berisi celaan, cacian bahkan tuduhan sesat pada kelompok tertentu, padahal mereka sama-sama mengajak pada Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Terlebih apa yang dituduhkan itu terkadang hanyalah disebabkan oleh salah presepsi, karena informasi yang keliru atau tidak utuh, atau atas sesuatu yang bersifat ijtihadiyah, atau hal-hal yang di dalamnya memang terdapat ikhtilaf (perbedaan) bahkan di kalangan para ulama. Wallahu a’lam.
Betapa mudahnya celaan terhadap sesama kaum muslimin, bahkan sesama kelompok yang masing-masing menisbatkan diri dan berpegang kepada manhaj Salaf, dilontarkan, dipublikasikan, sehingga siapapun dapat dengan mudah mengambil informasi itu, baik dari golongan awam yang tidak tahu menahu akan perkara tersebut, sehingga menimbulkan kebencian pada kelompok tertentu, atau oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam. Ya sangat mudah... tinggal beberapa klik di google, akan muncul tulisan-tulisan yang berbau tudingan. Orang bisa memenggal, membuang bagian tertentu dan mengambil bagian lain sekehendak hatinya untuk memenuhi tujuannya. Saya khawatir, bahwa cara-cara seperti ini justru kontra produktif. Bukan tidak mungkin sikap kita lah menjauhkan manusia dari dakwah yang penuh berkah ini. Bahkan, kita lebih banyak saling menuding di dalam tubuh sendiri daripada membantah tulisan-tulisan kelompok lain yang benar-benar dan nyata-nyata hendak merusak Islam dari dalam, yang telah mencela dan merendahkan para ulama, bahkan menolak sebagian sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam demi menyebarkan aqidah mereka yang batil.
Merasakan kegalauan akibat perpecahan itu, beberapa tahun silam saya pernah bertanya kepada seorang ustadz ternama, pada sebuah acara radio, yang juga direlay langsung via YM. Menjawab pertanyaan tersebut, al-Ustadz hafizahullah berkata, yang intinya menasihatkan kepada para pemula, orang-orang yang baru mengenal manhaj yang haq ini, untuk tidak ikut terlibat di dalam isu-isu perpecahan tersebut. Beliau menekankan pentingnya untuk menuntut ilmu terlebih dahulu, mengenali kebenaran dari sumbernya, yang dengan ilmu tersebut akan menjadi modal untuk mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Jawaban senada juga sempat saya tangkap dari rekaman kajian dua ustadz yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Walhamdulillah….
Karena itu saya ingin mengajak diriku sendiri dan kepada saudara-saudariku, khususnya para penulis di media-media blog dan selainnya, agar kita memfokuskan diri kepada apa-apa yang lebih mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri dan semoga juga bagi orang lain. Tidak terburu-buru atau ikut-ikutan menyerang satu kelompok, padahal kita sendiri tidak benar-benar mengenal mereka, akan tetapi hanya informasi sepihak yang didatangkan kepada kita. Seolah-olah kebenaran hanya berasal dari kelompok kita. Bahwa kita hanya bergaul dan bermuamalah dengan kelompok kita, karena apapun yang berasal dari kelompok kita adalah yang paling benar, dan di luar itu salah atau sesat. Bukankah akan lebih baik mendalami ilmu agama yang masih begitu banyak tidak kita ketahui dan pahami, ketimbang menyibukkan diri dengan ikut-ikutan di dalam perdebatan dan isu perpecahan?
Di dunia ini tidak ada satu kelompok pun yang ma’sum, bebas dari kesalahan, kecuali jama’ah para Sahabat yang telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena itu hendaknya loyalitas dan kebencian kita juga hanya didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, dan bukannya loyalitas dan kebencian itu didasarkan kepada kelompok atau organisasi tertentu. Bukankah dakwah Salaf adalah mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh generasih awal yang shalih, dan bukannya dakwah menjagak kepada kelompok atau organisasi atau individu tertentu? Sesungguhnya Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ نَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Sukahkah kita menjadi orang yang memakan daging saudara sendiri dengan ghibah dan namimah melalui tulisan-tulisan kita, atau yang kita tampilkan, yang bisa dibaca kapan saja oleh siapa saja yang memiliki akses internet?
Dalam Kitab Al-Adzkar bab Menjaga Lisan oleh Imam an-Nawawi, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan mengatakan sesuatu kepadanya mengenai orang lain. Maka Umar rahimahullah berkata kepadanya: “Jika kau mau, kita akan menyelidiki kasusmu. Jika engkau berbohong, maka engkau adalah salah satu dari orang-orang disebutkan dalam ayat: إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا “…jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka Periksalah dengan teliti…” (QS Al-Hujarat [49] : 6), dan jika engkau menyampaikan kebenaran, maka engkau termasuk dalam ayat: هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ “yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,” (QS Al-Qalam [68] : 11). Dan jika engkau mau, kami akan mengabaikan perkara ini.” Maka orang itu berkata: “Abaikan saja, wahai Amirul Mu’minin. Saya tidak akan menyebutkannya lagi.”
Sebuah nasihat yang penuh hikmah dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Abdillah Alu Syaikh disampaikan ketika menjawab pertanyaan dari seseorang – yang dapat kita petik pelajaran darinya – sebagai berikut:
Mengambil Ilmu dari Orang yang Di-Jarh (dinukil dari Direktori Islam)
Penanya : Ya Syaikh! Apakah kita mengambil ilmu dari seseorang yang di jarh (cela) wahai
Syaikh? Apakah bisa diambil ilmu darinya?
Pembawa acara : Orang yang bagaimana?
Penanya : Mujarrah (orang yang di cela untuk dijauhi)
Pembawa Acara : Mujarrad ?
Penanya : Mujarrah (orang yang di cela)
Pembawa Acara : Baik, apa pertanyaan anda?
Penanya : Apakah boleh mengambil ilmu dari nya Wahai Syaikh?
Pembawa acara : Baik, siapa yang menjarh orang tersebut
Penanya : Syaikh Rabi
Pembawa acara : Terimakasih.Salam.Hayyakallah.
Penuntut ilmu wahai Samahatusy Syaikh! Tatkala diberitakan kepadanya baik dari yang orang yang dapat dipercaya atau tidak ,bahwa fulan telah di cela (di jarh) atau dilarang untuk diambil ilmu darinya,bagaimana wahai Syaikh?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh hafidzahullah: Akhi! Perkara seperti ini terkadang adalah hawa nafsu, menjarh manusia,mencelanya terkadang penyebabnya adalah hawa nafsu dan kemaslahatan personal.Dan saya tidak suka memasuki perkara seperti ini.Saya katakan: Thulabul Ilmi diharapkan darinya kebaikan-kebaikan, apabila kita merasakan sesuatu dari kesalahan seseorang, maka berdialoglah jika mungkin, atau kita tanyakan kepada orang yang kita percayai dari kesalahan ini.Adapun menjarh manusia,mencela dan mendeskreditkan dan memilah manusia dengan (mengatakan) orang ini tidak pantas dan ini baik,maka kebanyakan dari perkara seperti ini adalah hawa nafsu, mencela seorang muslim adalah kefasikan ,dan menghormati martabat seorang muslim adalah wajib.
Pembawa acara : Jazaakumullah khair Samahatus Syaikh
Sumber video suara dan gambar selengkapnya :moftie (size 1,5 mB) , acara tanggal 1 januari 2010.
Wallahu ta'ala a'lam
barokallohu fiik ukt.
ReplyDeletememang fitnah tersebut telah "menyibukkan" sebagian tholibil ilm. Ana pun pernah mengalami "fase-fase" kebimbangan, ketika banyak tahdzir ke ustadz yg mengenalkan manhaj salaf kpd ana. Alhamdulillah 'ala kulli hal, skrg ana tdk terlalu peduli, bagi ana yg penting menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu sesuai kemampuan ana.
wafikum barakallah
ReplyDeleteNa'am, semoga Allah memberikan kita hidayah agar senantiasa istiqamah di atas Islam dan Sunnah. Amin...
Ukhti...
ReplyDeleteSaya juga baru mengenal manhaj ini. Saya pribadi tidak mau disibukkan dengan hal-hal semacam ini karena dari awal niat saya adalah menuntut ilmu dienul Islam sebanyak-banyaknya. Saya masih bodoh dalam banyak hal. Saya lebih suka membicarakan ilmu daripada membicarakan perselisihan. Apalagi yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiyah (seperti yg disebutkan di atas). Manusia bisa salah dan bisa benar. Tapi, jika mempertahankan kebenaran dengan kata-kata yang tidak pantas atau berusaha mengorek berbagai keburukan kelompok yang diperselisihkan, saya rasa akhlak tersebut jauh dari apa yg dicontohkan Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam, para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabiin.... Silahkan sampaikan apa yg menurut kita benar dengan hujjah yang jelas, namun jika orang lain berbeda pendapat, CUKUP. Tidak perlu diperlebar menjadi suatu sentimen akhirnya pembicaraannya menjadi di luar konteks dan saling membuka aib. Wallahu musta'an.
Saya sependapat dengan comment yang pertama, yang terpenting kita menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu sesuai dengan kemampuan kita....tidak perlu kita habiskan waktu kita dengan kesia-siaan...
Wallahu a'lam...