Wednesday, October 21, 2009

Maaf, Aku Berutang Padamu...

Utang. Seberapa sering anda mendengar kata itu? Atau mungkin lebih tepat, seberapa sering kita melaukannya dalam setahun, sebulan, bahkan sehari? Mudah-mudahan kita bukanlah termasuk orang yang terlalu mudah untuk berutang.

Di zaman sekarang ini, nyaris tidak seorang pun lolos dari transaksi yang terkait denga utang-piutang, bahkan para milyader sekalipun. Bukankah mereka juga meminjam uang kepada bank atau investor untuk menjalankan usahanya? Untang-piutang seolah sudah mendarah daging dan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan ekonomi, bahkan skala ekonomi yang paling kecil sekalipun, rumah tangga, dan individu.

Di dunia yang serba modern, serba mudah, segala sesuatu bisa hadir di depan mata dengan pembayaran tertunda alias utang. Saking mudahnya, bahkan sebagian orang, meskipun memiliki uang yang cukup, lebih senang untuk berutang, atau bahasa halusnya ‘kredit’ (padahal hakihatnya sih sama saja utang juga). Bukannya utang-piutang tidak diperbolehkan, selama tidak mengandung unsur riba sah-sah saja. Sayangnya, kemudahan berutang seringkali tidak disertai dengan kemudahan untuk membayarnya, bahkan meskipun jumlah yang diutangnya itu sangat kecil. Membayar utang yang hukumnya wajib kemudian dipandang remeh, diabaikan bahkan dihindari, atau... berpura-pura lupa dan bertingkah seolah-olah utang-piutang tidak pernah terjadi. Yang lebih mengherankan lagi, orang yang memberikan piutang justru yang akhirnya mereasa malu karena terus-menerus menagih, seolah dialah yang punya utang. Padahal dia hanya meminta haknya!

Seperti itulah wajah kita, atau sebagian (mudah-mudahan bukan sebagian besar) dari kita. Ketika butuh kita bisa menggunakan bahasa yang paling indah, paling santun, sedikit menghiba dan terkadang mendesak, membuat orang yang hendak dimintai kebaikannya kadang merasa terpojok. Tapi ketika tiba pada kewajiban untuk mengembalikan apa yang kita pinjam, kita menjadi enggan, berat, menghindar, dan merasa sayang mengeluarkannya, padahal sejak awal ia bukan milik kita!

Allah telah memperingatkan tentang utang-piutang dalam firman-Nya:

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya..” (QS Al-Baqarah : 283)


Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam shalatnya berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur. Aku mohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah Masih Dajjal. Aku mohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari dosa dan utang". Seseorang berkata kepada beliau: Betapa seringnya baginda memohon perlindungan dari beban utang ya Rasulullah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menjawab:
“Sesungguhnya, seseorang bila utang, maka ia akan berbicara lalu bohong. Berjanji lalu ingkar”. (HR Muslim)

Sungguh benar Rasulullah, karena seperti itulah yang banyak terjadi.

Dalam menjawab pertanyaan soal penundaan pembayaran hutang, Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta berfatwa:

“Tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu untuk menunda-nunda hutang. Yaitu penundaan yang dilakukan oleh orang yang mampu membayar apa yang wajib di tunaikan. Yang demikian itu sesuai dengan apa yang ditegaskan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya” [Kesahihannya telah disepakati – lihat pertanyaan no. 12 fatwa no. 8859, dalam Fatwa-fatwa Jual Beli (id) Pustaka Imam Syafi’i).


Sadarkah kita bahwa konsekuensi utang itu sangat besar? Sadarkah kita bahwa dengan menahan hak orang lain berarti kita telah mendzalimi dirinya? Sudahkan kita merenungkan hadits ini, hadits orang-orang bangkrut?

“Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, tetapi dia juga telah mencela ini dan menuduh ini dan itu, serta memakan harta ini dan itu, menumpahkan darah ini dan itu. Kemudian diberikan yang ini dari kebaikannya dan yang ini dari kebaikannya. Jika kebaikannya telah habis sebelum menutupi kewajiban-kewajibannya, maka akan diambil dari dosa-dosa mereka (orang-orang yang dizaliminya) dan dilemparkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim)


Bukankah menunda pembayaran utang dengan sengaja padahal mampu melakukannya itu adalah sama dengan memakan harta orang lain? Semoga Allah melindungi kita, sehingga kita tidak mati dalam keadaan berutang dan termasuk di antara orang-orang yang bangkrut.

Dan semoga Allah senantiasa mengingatkan kita untuk tidak lalai terhadap hak orang lain yang berada di tangan kita, dan membalas kebaikan orang kepada kita dengan mendoakannya:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِيْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ، إِنَّمَا جَزَاءُ السَّلَفِ الْحَمْدُ وَاْلأَدَاءِ.

“Semoga Allah memberikan berkah kepadamu dalam keluarga dan hartamu. Sesungguhnya balasan meminjami adalah pujian dan pembayaran.” [HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, hal. 300, Ibnu Majah 2/809, dan lihat Shahih Ibnu Majah 2/55.]


Bagi anda yang hendak berbuat kebaikan namun hak-haknya kemudian tertahan – terlepas dari apapun alasannya, cukuplah perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berikut ini sebagai kabar gembira dan menjadikan sebab kesabaran dengan mengharap ridha Allah:

مَنْ اَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ اَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ فَاِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَاَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ .

“Orang yang menangguhkan pembayaran hutang orang yang belum mampu membayarnya, maka sebelum masa pembayaran itu tiba, setiap hari merupakan sedekah baginya. Dan jika masa pembayaran telah tiba, lalu ia memberi tangguh, maka setiap harinya merupakan sedekahnya dua kali lipat.” (HR Ahmad [5/360], dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah [1/86]).


اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah! Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.” [HR At-Tirmidzi (5/560)]

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [HR Bukhari (7/158)]

2 comments:

  1. nah kalau kita lupa ,siapa yang pernah kita pinjam bagaimana caranya untuk membayarnya

    ReplyDelete
  2. sepertinya agak kurang lazim ya.. seseorang berhunang dan tidak ingat kepada siapa dia berutang. Yang biasa terjadi ketika dia ingin membayar utangnya, orang tersebut tidak dapat ditemukan karena satu dan lain hal. Mudah-mudahan cuplikan artikel berikut bisa menjawab pertanyaan anda:

    Pertanyaan
    Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada orang yang mempunyai hutang dan dia bermaksud untuk melunasinya, tetapi dia tidak bisa menjumpai orang-orang yang menghutanginya, ada diantaranya yang sudah meninggal, ada yang pindah ke luar negeri dan tidak pernah kembali lagi ke negaranya, dan ada juga diantaranya yang lupa sehingga tidak menyadarinya lagi. Bagaimana hukumnya?

    Jawaban
    Hak-hak hamba itu harus ditunaikan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai hutang, siapapun juga, hendaklah dia berusaha keras untuk bisa menjumpainya atau menemui ahli warisnya, jika sudah meninggal dunia. Dan dalam keadaan dia tidak lagi sanggup menjumpainya atau ahli warisnya atau sahabatnya, karena orang yang dicarinya sudah pindah ke negeri yang tidak diketahuinya atau tidak dia ketahui alamatnya, atau lupa namanya secara keseluruhan, maka hendaklah dia membayarkan hutangnya itu kepada kaum fakir miskin dengan niat untuk pemiliknya.

    Dan jika pemberi hutang itu datang, maka hendaklah dia memberitahukan kejadian yang sebenarnya, dan jika dia ridha maka selesai sudah masalahnya, tetapi jika tidak ridha maka dia harus membayarkan hutang itu kepadanya. Dan orang yang bersedekah itu akan mendapatkan pahalanya, insya Allah. Dan tanggung jawabnya tidak lepas tanpa itu.

    Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

    Pertanyaan
    Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang Yamani yang memiliki sebuah toko di dekat rumah saya. Dan saya biasa mengambil barang darinya dengan cara berhutang yang selalu saya lunasi kemudian. Tetapi, saya masih punya hutang padanya 40 riyal. Dan orang itu kemudian pindah dan saya tidak mengetahui sama sekali alamatnya sekarang, dan tidak juga mengenal kerabatnya, lalu apa yang harus saya perbuat dengan 40 riyal ini?

    Jawaban
    Uang sejumlah 40 riyal itu masih menjadi hutang bagi anda. Sebenarnya, orang-orang Yaman sering bepergian ke Kerajaan Saudi Arabia dan kembali lagi ke negeri mereka. Sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk dapat menjumpai pemiliki toko tersebut. Dan jika anda sudah berputus asa dari upaya menemuinya atau mengetahui tempat tinggalnya, maka anda boleh menyedekahkan uang tersebut atas nama dirinya. Kemudian jika tiba-tiba orang itu datang, maka beritahukan perihal yang sebenarnya kepadanya. Jika dia ridha dengan apa yang anda lakukan maka tidak ada masalah, dan jika dia tidak ridha maka anda harus membayarkan uang tersebut. Dan pahala sedekah itu akan menjdai milik anda.

    Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

    Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]


    Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1852&bagian=0

    ReplyDelete