Monday, February 25, 2008

Dasar-Dasar Memahami Bid’ah (3)

Dasar-Dasar Memahami Bid’ah

----------------------------------------------------
Artikel berikut ini berupa catatan dari penjelasan
Ustadz Hakim bin Amir Abdat
dalam pembahasan yang diringkas
dari transkrip rekaman kajian
“Kesempurnaan Islam”
File 2 (dari 3 file) berdurasi 1:27:46
----------------------------------------------------


VIII. Hukum Asal Ibadah adalah Terlarang.

Al-Imam Ibnu Qayyim mengatakan dalam I’lamul Muwaqiin yang artinya: Telah maklum, sesungguhnya tidak ada yang haram kecuali apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, dan tidak ada dosa kecuali apa yang Allah dan Rasul-Nya katakan bahwa yang dikerjakan itu adalah dosa. Sebagaimana tidak ada kewajiban kecuali yang telah diwajibkan oleh Allah dan tidak ada yang haram kecuali yang diharamkan oleh Allah. Dan tidak ada agama kecuali apa yang disyariatkan. Maka asal dalam ibadah itu adalah terlarang samapai datang dalil yang menjelaskannya (maksudnya bolehnya dikerjakan ibadah tersebut –ed.). Sedangkan asal dari muamalat, urusan keduniaan sah, sampai datang dalil yang mentapkan tentang terlarangnya perbuatan itu.


Jadi sifat ibadah menunggu keterangan. Asal dalam ibadah itu terlarang sampai ada dalil yang menjelaskan(membolehkan)nya. Sebaliknya asal dari muamalat boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Sehingga dalam masalah ibadah tidak ditanyakan dalil yang melarangnya, tetapi dalil yang memerintahkannya.

Sebagai contoh, seseorang yang menanyakan dalil larangan tentang perayaan maulid, maka berarti dia tidak mengerti kaidah yang besar ini. Karena seharusnya orang yang mengadakan perayaan maulid itulah yang mendatangkan dalil (tentang bolehnya atau perintah merayakan maulid –ed).


IX. Bagaimana Mengenal Bid’ah

Kita sudah membahas bahwa syarat diterimanya amal shalih ada dua, yaitu 1) ikhlas beribadah karena Allah, dan 2) mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Lalu bagaimana cara kita mengenali bid’ah?

Adapun cara untuk mengenali sesuatu sebagai bid’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Setiap yang menentang Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau akidah, meskipun datang dari ijtihad seseorang itu masuk dalam bid’ah. Contohnya tentang firqah-firqah yang ada sekarang ini.

2. Setiap urusan atau amal yang mendekatkan diri kepada Allah – padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarangnya – seperti puasa sepanjang zaman, puasa itu sunnah, tapi sepanjang zaman telah dilarang oleh Rasulullah.

3. Setiap urusan atau amal yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan nash atau tauqid. Pdahal tidak ada nash, kecuali yang datang dari sahabat dan dilakukan berulang-ulang di hadapan sahabat yang lain dan tidak diingkari. Maka bisa terjadi ijma sahabat.

4. Adat-adat kebiasaan kuffar yang masuk ke dalam kaum Muslimin dan dijadikan ibadah. Tidak syak lagi Maulid Nabi termasuk dalam hal ini. Diantara kebiasaan kuffar adalah memperingati natal.

5. Melampaui batas dalam ibadah. Allah tabaraka wata’ala telah melarang melampaui batas. Ahli Kitab (Nashara) telah melampaui batas sehingga mereka jadikan Isa ibnu Marya Tuhan atau anak Tuhan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan. Contoh lain jamaah haji, melontar jumrah dengan batu-batu besar, bahkan dengan sendal dan payung. Padahal Nabi telah memerintahkan dengan batu kerikil sebesar biji kurma. Ini telah termasuk dalam al-ghuluw, berlebihan dalam ibadah. Melampaui batas yang telah ditentukan oleh syara’ termasuk ghuluw.

6. Apa yang dikatakan disukai oleh sebagian ulama, padahal tidak ada dalil.

7. Setiap ibadah yang tidak datang kaifiyahnya (bagaimana cara melakukannya) kecuali dari hadits-hadits dha’if atau maudhu.

8. Setiap ibadah yang dimutlakkan oleh Pembuat Syariat – Allah Subhanahu wa Ta’ala – dan manusia telah mengikatnya dengan sebagian ikatan, seperti tempat, waktu, sifat dan bilangan. Seperti yang telah dicontohkan, kalimat laa ilaaha illallah. Syari’ (Pemubat syariat, Allah Tabaraka wa Ta’ala) telah memutlakkannya, tentang sifat, tentang bilangannya, tempatnya, tentang waktunya tidak ditentukan. Kemudian oleh manusia ditentukan bilangannya, waktunya ditentukan, tempatnya ditentukan, dan lain sebagainya. Penentuan-penentuan inilah yang bid’ah. Ulama bukan tidak mengakatan kalimat laa ilaaha illallah haram, tetapi cara mengucapkan laa ilaaha illallah pada tempat yang telah diatur oleh mereka, bilangan yang ditentukan, waktu yang telah ditentukan, sifat yang telah ditentukan, maka hal-hal itulah yang disebut bid’ah. Contoh lain, yasinan setiap malam Jumat. Bukan membaca surat yasin itu yang haram, tetapi ketentuan dan i’tiqad (keyakinan) mereka bahwa membaca surat Yasin pada malam Jumat itu ada tambahan keutamaan, lebih utama dari malam yang lainnya. Hal ini lah yang salah.

Selebihnya untuk mengetahui mana yang masuk bid’ah mana yang bukan bid’ah tidak bisa diputuskan oleh masyarakat awam bahkan para penuntut ilmu belum tentu sanggup menentukannya kecuali ada kaidah-kaidah dari para ulama dan mendapatkan penjelasan dari para ulama.

Oleh karena itu dalam bid’ah, ada dua kelompok manusia di tengah-tengah kaum Muslimin:

1) Kelompok yang terbesar yang mengerjakan bid’ah.

2) Kelompok yang mengatakan perbuatan sunnah menjadi bid’ah karena kebodohan mereka terhadap bid’ah, sehingga mereka melampaui batas, segala sesuatu pun dikatakan bid’ah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut.


X. Setiap bid’ah sesat meskipun dianggap baik oleh manusia.

Hal ini berdasarkan lafazh hadits Nabi “kullu bid’atin dhalaalah”. Lafazh kullu di sini menurut ahlul Arabiyyah (ahli bahasa Arab) termasuk lafazh umum yang berarti segala sesuatu. Berarti tidak ada bid’ah yang baik, yang ada adalah yang dianggap baik oleh manusia, sedangkan menurut syara semua bid’ah adalah sesat.

XI. Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka

Ini merupakan lanjutan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : wa kullu dhalaalatin fin naar”.

Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengerjakan bid’ah itu langsung dihukumi ahli neraka. Menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak mendudukkan seseorang ahlul kiblat (Islam) sebagai penghuni jannah atau neraka. (lihat dalam Aqidah Ath-Thahawiyah).

Jadi yang dimaksud disini adalah menerangkan nash-nash umum bahwa setiap kesesatan itu tempatnya di neraka, sedangkan setiap bid’ah itu sesat. Di satu sisi perbuatan yang dilakukan adalah bid’ah dan itu merupakan kesesatan, sedangkan pelakunya belum tentu disebut sebagai ahlul bid’ah (mubtadi). Dilihat terlebih dulu apakah ada penghalang-penghalang dia disebut sebagai mubtadi atau tidak. Maha hadits di atas menerangkan tentang perbuatan bid’ah yang terancam (masuk neraka –ed), adapun pelakunya ada pembicaraan tersendiri. (hal ini telah dijelaskan pada bagian terdahulu). Jika pelaku bid’ah itu dari kalangan orang-orang awam, maka dia dikenakan udzur, namun dia berdosa karena tidak atau kurang dalam menuntut ilmu. Jika dia seorang mujtahid, maka dia tidak dikenakan dosa, karena dia berhak berijtihad untuk mengungkap kebenaran, namun pada kenyataannya dia salah (dalam hal ini mendapatkan satu pahala). Tetapi ijtihadnya yang salah itu tidak boleh diikuti oleh kaum Muslimin. Karena para ulama berkata “Jangan kalian taklid kepadaku” (laa tuqalliduuni).


XII. Sunnah fi’liyyah dan Sunnah Tarkiyyah

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:

1) Sunnah Fi’liyyah (sunnah perbuatan); yang dimaksud adalah ketetapan-ketetapan Nabi shallallahu alaihi wasallam, berupa perbuatan dan perkataan atau takrir (persetujuan) beliau, apakah itu hukumnya wajib atau sunat. Yang wajib misalnya shalat lima waktu, dan yang sunat misalnya shalat tahiyatul masjid.

2) Suunnah Tarkiyyah adalah apa-apa yang beliau tinggalkan meskipun beliau mampu mengerjakannya, namun beliau sengaja meninggalkannya karena perbuatan itu tidak termasuk bagian dari agama. Misalnya adzan di kuburan, adzan ketika orang akan menunaikan ibadah haji, dan lain-lain. Maka ketika seseorang melakukan adzan di kuburan untuk orang mati, maka berarti ia telah menyelisih beliau shallallahu alaihi wasallam. Hal ini tidak termasuk perkara-perkara yang telah Nabi shallallahu alaihi wasallam tetapkan dengan perkataannya, tetapi beliau sendiri tidak mengerjakannya. Misalnya shalat qabliyah Magrib. Beliau bersabda:

“Shalatlah sebelum maghrib (3x), Bagi Siapa yang menginginkannya.”[1]

Namun beliau sendiri tidak mengerjakannya. Ini sudah termasuk sunnah Fi’liyyah karena sudah ada ketetapan dari beliau, meskipun beliau sendiri tidak mengerjakannya. Beliau tidak mengerjakannya bukan berarti bahwa hal ini (sunnah qabliyah Maghrib) tidak disyariatkan, namun hanya agar tidak memberatkan umatnya dan memberitahukan kepada umatnya bahwa perbuatan itu sunnat saja (mustahab).

Jadi sunnah fi’liyyah mengandung salah satu, baik itu perkataan, perbuatan atau takrir (persetujuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sedangkan sunnah Tarkiyyah tidak terdapat salah satu dari ketiga hal itu, padahal saat itu beliau mampu mengerjakannya. Sehingga apabila kita meninggalkan sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam berarti kita telah mengikuti sunnah beliau, yakni Sunnah Tarkiyyah.


XIII. Kebaikan apa yang dianggap oleh Syara’ bukan yang dianggap oleh kita (Manusia)

Jadi hakekat kebaikan itu dikatakan baik oleh agama, dan bukan yang dianggap baik oleh manusia. Jika kebaikan itu diserahkan kepada masing-masing orang maka akan berselisih. Perbuatan yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu orang lain akan mengatakannya demikian.

Ada perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang sangat terkenal:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ بَاطِنُ الْقَدَمَيْنِ أَحَقَّ بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا وَقَدْ مَسَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ

“Jika sekiranya agama ini semata-mata berdasarkan ra’yu (akal) saja niscaya bawah sepatu itu lebih utama diusap daripada atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas sepatunya.” (HR Abu Dawud).

Umar bin Khaththab pernah mencium hajar aswad lalu dia berkata:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa sesungguhnya engkau ini adalah sebuah batu yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menciummu aku tidak akan menciummu.” [2]

Dua sahabat ini mewakili para sahabat, menjelaskan kepada kita bahwa keistimewaan mereka dalam menjalankan agama ini adalah:

1) Tidak berpikir lagi tentang maslahat dan mudharatnya. Apa yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam itu dikerjakan tidak menunda dulu. Sami’na wa athona (kami dengar dan kami taat).

2) Akal mereka tidak dipergunakan ketika berhadapan dengan wahyu, meskipun akal mereka setuju. Wahyu didahulukan. Sehingga ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengusap atas sepatu, tidak lagi bertanya ‘mengapa bukan bawahnya ya Rasulullah, bukankah bagian bawahnya yang kotor?’ (Hal ini) karena segala yang datang dari agama itu adalah baik, di atas kebaikan. Sehingga Ali radhiallahu anhu dikemudian hari mengatakan perkataan di atas. (jika sekiranya agama itu berdasarkan akal semata…).

3) Mereka tidak beristihsan (mengaggap baik perbuatan). Yang baik buat mereka adalah apa yang diterangkan oleh syara’. Sehingga mereka mempunyai keyakinan yang luar biasa bahwa yang datang dari syara’ itu adalah kebaikan di atas kebaikan.


XIV. Bid’ah Haqiqiyah dan Bid’ah Idhafiyyah


1. Bid’ah Haqiqiyah adalah bid’ah yang sama sekali tidak mempunyai dalil syar’i, tidak dari Al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ baik secara jumlah (umum) atau tafsil (terperinci). Seperti bid’ah Qadariyyah (orang yang mengingkari takdir). Ini adalah bid’ah hakikiyah. Seperti orang yang mengatakan akal bisa menentukan kebaikan dan keburukan,. Seperti orang yang mengingkari bahwa hadits ahad tidak dapat dipakai dalam aqidah, dan orang yang mengingkari ijma’, dan mengatakan bahwa ada imam yang ma’sum selain Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan lain-lain. Semua ini tidak ada sandaran dalilnya baik secara garis besar maupun terperinci, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’

2. Bid’ah Idhafiyah adalah bid’ah yang ada keterkaitan dengan syara’. Dari satu sisi kita melihat bahwa perbuatan tersebut ada dalilnya. Misalnya orang yang membaca Al-Qur’an di hadapan orang mati atau di kuburan. Dari satu sisi kita melihat ada contohnya, bahwa membaca Al-Qur’an itu ada contohnya, ada nashnya. Tetapi di sisi lain kita melihat, membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati atau di kuburan sama sekali tidak ada contohnya. Inilah yang dimaksud dengan bid’ah idhafiyah. Idhafiyah itu berarti kaitan atau hubungan. Dari satu sisi ada dalilnya secara umum dimana kita dianjurkan untuk membaca Al-Qur’anul Karim. Di sisi lain tidak ada contohnya –mengenai cara membaca Al-Qur’an tersebut (di depan orang mati atau kuburan). Contoh lain, membaca surat Al-Fatihah untuk Nabi shallallahu alaihi wassalam (ilaa hadratan Nabi al-fatihah) Di satu sisi membaca Al-Fatihah itu adalah benar, surat yang agung yang tidak pernah diturunkan kepada para nabi sebelumnya dan tidak terdapat pada kitab-kitab terdahulu. Di sisi lain hal tersebut adalah bid’ah, karena membaca Al-Fatihah ditujukan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Inilah bid’ah idhafiyah yang tersebar ribuan jumlahnya.


XV. Hubungan Bid’ah dengan beberapa hal, pertama dengan hadits yang tidak shahih, dengan takrid dan dengan qiyas.

Dengan hadits-hadits yang tidak shahih timbullah berbagai macam bid’ah. Dengan taqlidul a’ma timbullah berbagai macam bid’ah. Dengan qiyas-qiyas yang tidak benar timbullah berbagai macam bid’ah.


XVI. Antara Ikhtilaf (perselisihan) pada sebagian bid’ah.

Tidak bisa dikatakan karena para ulama berselisih tentang sebagian perkara bid’ah –apakah termasuk bid’ah atau tidak – menghalangi seseorang untuk mengatakan hal tersebut sebagai bid’ah dan membuka peluang orang untuk mengamalkannya. Hal ini sangat keliru dan tidak pernah para ulama mengatakan demikian. Karena perkataan ulama tidak menjadi hujjah bagi dalil syara’. Jadi dalil-dalil syara’ jangan diukur dengan perkataan ulama. Tetapi dalil syara’ yang mengukur perkataan ulama. Pada perselisihan diantara ulama, maka meruju’ kepada nash, Al-Kitab dan Sunnah, mana diantara pendapat itu yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.


XVII. Diantara Ibtida (mengadakan suatu bid’ah) dan Ijtihad
(penjelasan terkait dengan nomor berikutnya)


XVIII. Diantara Bid’ah dan Mubtadi

Harus dibedakan antara orang yang mengerjakan bid’ah dan mubtadi. Tidak setiap orang yang mengerjakan bid’ah adalah mubtadi. Mubtadi adalah orang yang memperjuangkan bid’ah dan terus menerus di dalam bid’ah tersebut setelah tegak hujjah atasnya. Dia tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah (sebagaimana yang dilakukan seorang yang berijtihad -ed). Mubtadi adalah orang yang berbicara dengan kejahilannya dan mengikuti hawa (nafsu), diluar rombongan para ulama. Sebagaimana Ibnu Qayyim mengeluarkan dari rombongan para ulama orang-orang yang muqallidun dan taasub.


XIX. Diantara Adat dan Ibadat

Hal ini sering dicampur-adukkan antara yang satu dengan yang lain.


XX. Diantara Bid’ah dan Maksiat

Setiap bid’ah adalah maksiat namun tidak setiap maksiat adalah bid’ah. Contohnya zina adalah maksiat, namun bukan merupakan bid’ah.

***

Menyangkut pertanyaan tentang adab-adab ziarah kubur dan orang yang boleh menziarahinya, maka dijawab: orang yang boleh ziarah kubur adalah umum, baik laki-laki dan perempuan. Sebagaimana hadits Nabi yang mengatakan bahwa berziarah kubur untuk mengingatkan mati[3]. Namun bagi perempuan ada larangan untuk sering-sering menziarahi kubur.

Ada dua manfaat ziarah kubur bagi yang menziarahi dan diziarahi:
Bagi yang mengziarahi kubur manfaatnya untuk mengingatkan mati. Manfaat ini sangat besar faedahnya bagi mereka yang memahami. Bahwa dia suatu saat pasti akan mati. Apabila seseorang mengingat mati maka akan menambah semangat hidupnya karena hilang ketamakan, karena dia mengetahui karena dunia ini adalah sementara dan bukan selamanya. Dan dia tidak akan merasa sedih terhadap apa yang hilang dari harta benda dunia, dan dia tidak akan sombong karena memperoleh dunia, dan dia akan mengingat kesalahan-kesalahannya, menghilangkan sifat sombong, bahwa dia adalah orang yang berdosa, dia tidak akan aman dari azab Allah, dia akan memperbanyak amal kebaikannya (sebagai bekal di alam kubur –ed), dan seterusnya.

Bagi yang diziarahi adalah doa, baik doa secara umum atau secara khusus.

Adabnya tidak boleh mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan syara’, termasuk perbuatannya, seperti membawa kembang dan air, mengusap-ngusap kuburan, dan lain-lain. Berdoa menghadap ke kiblat. Selain itu tidak boleh menginjak-injak kubur, tidak boleh duduk di atas kubur, bahkan tidak boleh mengenakan sepatu atau sandal ketika berjalan di antara kuburan karena Nabi telah memerintahkan yang demikian.

***

Menyangkut pertanyaan mengenai orang yang terlambat memasuki jama’ah, bagaimana caranya, maka dijawab:

Cara yang dilakukan adalah mengikuti Imam, jika mendapati imam sedang ruku’ maka orang yang terlambat tersebut melakukan takbiratul ihram dan langsung ruku, dan jika imam tengah sujud, maka dia bertakbir (dengan takbiratul ihram) kemudian langsung sujud, dan tidak didahului oleh bersidekap terlebih dahulu karena hal itu menyalahi keadaan imam, sedangkan imam itu untuk diikuti.

***


________________________
Catatan Kaki:

[1] HR Bukhari, Ahmad, Abu Daud dari Abdullah bin Mughofal Al-Muzanniy radihallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ } كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

"Sholatlah sebelum Maghrib, sholatlah sebelum Maghrib." Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga: "Bagi siapa yang mau," Karena beliau takut orang-orang akan menjadikannya sunnat.

[2] HR Bukhari 6/15 no. 1494 Muslim: 6/358 no. 2228, Maktabah Syamilah v1.0

[3] Dari Buraidah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya telah pernah melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah ke kubur itu!" (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: "Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab ziarah kubur itu dapat mengingatkan - orang yang berziarah itu - kepada akhirat." (Riyadus Shalihin, Bab 66 no. 579.

1 comment:

  1. Silahkan baca kitab mafahim yajibu an tuskahaha.
    Karangan sayyid muhammad alwi almaliki alhasani

    ReplyDelete