Monday, February 25, 2008

Dasar-Dasar Memahami Bid’ah (2)

Dasar-Dasar Memahami Bid’ah

--------------------------------------------------
Artikel berikut ini berupa catatan dari penjelasan
Ustadz Hakim bin Amir Abdat
dalam pembahasan yang diringkas
dari transkrip rekaman kajian
“Kesempurnaan Islam”
File 2 (dari 3 file) berdurasi 1:27:46
--------------------------------------------------

VI. Tercelanya Bid’ah.

1. Bahwa akal manusia tidak bisa berdiri sendiri untuk menarik mashlahat dan menolak mudharat dalam kehidupan dunia ini. Dan akal tidak mungkin sanggup menentukan mana yang mashlahat dan mana yang mudharat, mana yang baik dan maan yang manfaat. Tetapi semuanya berpulang kepada wahyu Rabbul alamin. Ini dalam masalah dunia. Allah tabaraka wata’ala telah mengirim Adam alaihis salam ke dunia ini. Dan Allah sebelumnya telah mengajarkan kepada Adam segala sesuatu wa’allamal adaaman asbaha kullaha. Allah ajarkan kepada Adam segala sesuatu nama. Bagaimana Adam cara hidup di dunia diajarkan oleh Allah tabaraka wata’ala. Dan Adam mewariskan kepada anak-anaknya terus dari generasi ke generasi sampai kepada zaman Nuh alaihis salam.

Allah mengajarkan kepada Nuh bagaimana membuat kapal. Andaikata tidak ada wahyu yang mengajarkan manusia bagaimana mereka hidup di dunia ini untuk maslahat, manfaat bagi mereka, dan menolak mudharat bagi mereka, kerusakan-kerusakan, mereka tidak akan sanggup berjalan di permukaan bumi ini. Asalnya adalah wahyu dari Rabbul Alamin, Allah tabaraka wata’ala. Jadi akal saja tidak mampu memberikan suatu maslahat dan tidak bisa berdiri sendiri. Itu dalam masalah dunia. Jadi Allah telah mewahyukan semuanya dengan perantaraan Al-Anbiya wal Mursalin. Jadi Al-Anbiya wal Mursalin menjelaskan kepada manusia bagaimana cara hidup. Itu wahyu dari Allah tabaraka wata’ala. Bagaimana bapak Kita Adam alaihis salam bersama ibu kita Hawa pertama kali hidup di dunia, apakah dibiarkan begitu saja oleh Allah? Tidak, melainkan diajarkan misalnya bercocok tanam, tentang hewan dan seterusnya. Ini tentang kehidupan di dunia ini. Allah tidak membiarkan begitu saja. Adam tentunya mewariskan kepada anak-anaknya. Dan saling mewarisi manusia dari generasi ke generasi, sehingga ilmu itu berkembang diantara manusia, sehingga tahulah manusia bagaimana cara hidup di dunia ini. Ini bukan akal yang memutuskan, melainkan wahyu yang mengajarkan kepada manusia.

Tercelanya bid’ah dan ahlul bid’ah itu karena akal yang memutuskan, bukan wahyu. Mereka tidak berdasarkan wahyu. Karena sebab-sebab timbulnya bid’ah tadi adalah kebodohan, hawa dan akal yang semuanya di luar wahyu.

Kalau dalam masalah keduniaan saja akal tidak dapat memutuskannya, apalagi dalam masalah ukhrawiyah. Bagaimana memperinci ibadah, apa sebenarnya amal yang paling disukai Allah, mampukah akal mencerna dan memutuskannya? Akal tidak mampu. Oleh karena itu oleh bid’ah pun tercegang ketika dihadapkan kepada bid’ah yang baru, karena memang bid’ah yang mereka kerjakan telah disepakati oleh ahlul bid’ah. Jika datang bid’ah baru mereka pun tercengang.

Mereka mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah, seperti perayaan Maulid. Padahal Maulid ini sendiri adalah bid’ah mungkarah yang diharamkan oleh seluruh ulama kita karena di satu sisi merupakan penyerupaan besar-besaran terhadap keyakinan kaum nashara (nasrani) dan pemujaan terhadap Rasulullah yang tentunya beliau tidak inginkan.

Jadi akal tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ada wahyu. Karena itu para ulama mengatakan andaikata Allah tidak mengutus para nabi dan rasul, maka tidak mampu manusia untuk hidup di dunia ini dengan baik. Allah yang mengajarkan semua ini. Akal tinggal meluaskan. Apa yang diajarkan oleh wahyu adalah dasar-dasarnya. Furu’nya (cabang-cabangnya) dikembangkan oleh akal manusia. Andaikata dasar-dasarnya tidak diterapkan oleh wahyu, tidak mampu manusia, karena akal ini ada keterbatasan. Itu dalam masalah duniawiyah, apalagi dalam masalah ukhrawiyah, lebih tidak mampu lagi akal. Apa mampu akal mengetahui mana yang dicintai dan diridhai oleh Allah? Tidak mampu. Inilah tercelanya bid’ah.

Inilah tercelahnya ahlul bid’ah ketika dia mempergunakan akalnya.

2. Syariat ini datang dengan sempurna dan tidak menerima tambahan (seperti penjelasan terdahulu. Maka bid’ah dan ahlul bid’ah ini datang menyatakan/menganggap seolah-olah syariat ini belum sempurna dan masih ada yang ketinggalan berberapa perkara yang wajib diberi catatan kaki, yang perlu diberikan tambahan. Kalau sekiranya mereka menganggap bahwa syariat ini telah sempurna, tentu mereka tidak akan membuat dan mengerjakan bid’ah. Ini tercelanya bid’ah dan ahlul bid’ah.

3. Tercelanya bidah dan ahlul bid’ah karena dia menjadi penentang syariat dan menyulitkan serta menyempitkan syariat ini. Alangkah sempitnya dan susahnya syariat ini lantaran bid’ah dan ahlul bid’ah. Kita mengetahui bahwa Allah tabaraka wata’ala telah menentukan kepada hamba-Nya jalan yang khusus atas cara-cara yang khusus pula. Seperti dengan perintah, larangan, janji, ancaman, Allah sudah menerangkan. Ada amal-amal yang diperintahkan dan ada perbuatan-perbuatan yang dilarang. Ada amalan-amalan yang jika dilakukan mendapatkan janji berupa pahala, surga, dan apa perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan ancaman neraka. Itu yang dijelaskan oleh Allah tabaraka wata’ala. Dalam batas-batas tertentu, jalan-jalan yang khusus, cara-cara, waktu-waktu dan tempat-tempat yang tertentu. Semuanya dibatasi oleh syara untuk mahluk-Nya. Mengapa? Karena Allah Maha Mengetahu, sedangkan kita tidak mengetahui. Allah mengetahui apa yang baik dan mudah bagi hamba. Dan Allah mengutus sekalian rasul untuk rahmatan lil alamin. Dan kabar Allah itu haq, karena Dia Maha Mengetahui dan kita tidak mengetahui. Hukum yang dibuat manusia tidak menyelesaikan perkara manusia, bahkan bertambah ruwet. Akan tetapi Ahlul bid’ah menentang ini semua karena dia telah membuat cara-cara yang lain. Cara-cara yang telah dibatasi oleh agama diluaskan oleh dia. Misalnya agama membatasi beberapa dzikir yang tertentu bilangannya. Kemudian ahlul bid’ah membuat dzikir-dzikir yang lain sehingga meluaskannya. Sebagai contoh agama membatasi dzikir yang dihitung dalam sehari dengan bilangan seratus kali untuk memudahkan dihitung dengan jari, selebihnya tidak ditentukan, terserah kepada setiap orang untuk melakukannya. Karena yang terdapat pada hadits hitungannya tidak lebih dari seratus kali, adapun yang tidak disebutkan bilangannya itu terserah kepada kita. Datang ahlul bid’ah mereka menyempitkannya.

Apa yang dibatasi oleh syara’ yang pada hakekatnya untuk memudahkan manusia, diluaskan oleh mereka yang pada hakekanya menyempitkan atau menyusahkan manusia.

Selain itu seolah-olah mereka mengatakan bahwa Allah mengetahui, dan kami pun mengetahui apa yang baik bagi hamba. Maka jika dia mempunyai i’tiqad seperti itu (kalimat yang baru saja disampaikan –ed), maka berarti dia telah kufur, keluar dari syariat ini. Namun jika dia tidak memiliki i’tiqad seperti itu, maka dia berada dalam kesesatan yang nyata.

Siapakah yang dimaksud dengan ahlul bid’ah? Ahlul bid’ah adalah orang yang mempertahankan bid’ah setelah tegak hujjah atasnya.

4. Bahwa mubtadi telah mendudukkan dirinya sama dengan pembuat syariat yakni Allah tabaraka wata’ala. Hal ini karena Allah menetapkan syariat ini kemudian mubtadi ini membuat syariat lagi sehingga seolah-olah dia mendudukkan dirinya serupa dengan pembuat syariat ini. Ini sangat tercela. Karena Allah telah membuat/menerangkan shalat melalui lisan nabi-Nya, dan para mubtadi ini membuat shalat-shalat yang lain. Ada shalat istighosah yang ramai dikerjakan sekarang, yang tidak ada asal usulnya (dalam syariat).

Syari’ (pembuat syariat, Allah tabaraka wata’ala) melalui lisan nabi-Nya membuat syariat tentang dzikir dan doa. Para ahlul bid’ah pun membuat pula, yang berarti menyamakan dirinya dengan pembuat syariat. Allah mensyariatkan dzikir, ahlul bid’ah pun menysariatkan dzikir. Ahlul bid’ah menempatkan dirinya sebagai pembuat syariat.

5. Bahwa ahlul bid’ah mengikuti hawa. Karena akal, jika dia tidak mengikuti syara’, maka tidak tinggal kecuali dia mengikuti akal dan hawa nafsunya. Jadi akal itu ada yang rusak ada yang tidak rusak. Ada akal yang sehat yang berjalan di atas ketentuan-ketentuan dan mengikuti syariat, karena akal itu tidak pernah bertentangan dengan syariat. Maka apabila dia tidak mengikuti syariat, dia akan sakit dan jalannya pun bergoncang. Oleh karena itu para ahlul bid’ah ini tidak mengikuti syariat maka akalnya pun tidak tunduk pada syariat, sehingga yang memainkannya adalah hawa (syahwafnya).

VII. Apa yang menjadi pegangan atau dalil bagi ahlul bdi’ah.

Ada banyak pegangan mereka disini, namun secara ringkas diterangkan bahwa yang menjadi pegangan mereka diantaranya:

1. Hadits-hadits yang tidak ada asal usulnya, hadits-hadits maudhu (palsu), batil, dan lain sebagainya. Seperti (sesuatu yang dianggap) hadits “perselisihan adalah rahmat”.

2. Menolak hadits-hadits yang shahih. Mereka menolak hadits tentang adzab kubur, hadits tentang Munkar dan Nakir, soal jawab dalam kubur, menolak hadits-hadits yang berbicara tentang takdir, mereka menolak hadits-hadits tentang turunnya Isa ibnu Maryam, mereka menolak hadits-hadits tentang Dajjal dan lain sebagainya. Alasannya karena bertentangan dengan Al-Qur’an, atau bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan kenyataan, dengan apa yang mereka saksikan, bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Atau menolak hadits shahih itu karena meragukan perawinya, seperti para sahabat yang dituduh macam-macam oleh mereka. Seperti Abu Hurairah radhiallahu anhu.

***
Berkenaan dengan pertanyaan tentang adanya dalil untuk bid’ah hasanah, maka dijelaskan sebagai berikut:

Mereka yang mengatakan ada bid’ah hasanah, ada beberapa alasan mereka walaupun salah dalam berhujjah, dan menempatkan dalil tidak pada tempatnya.

Pertama adalah perkataan Umar radhiallahu anhu tentang shalat tarawih, ini bid’ah. Yang dimaksud dengan perkataan Umar disini dalam arti lughawiyyah (bahasa). Para ulama ahli bahasa mengetahui persis. Apa bid’ahnya dari shalat tarawih ini? Yang pertama dianjurkan oleh Nabi yang mulia dalam hadits-hadits shahih. :”Barangsiapa yang shalat di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan ganjaran diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim)[1]. Yang kedua, Nabi pun melaksanakannya beberapa kali. Yang ketiga berjama’ah. Nabi pun melakukannya dengan berjama’ah bahkan menganjurkan anak isterinya dan kaum muslimin untuk berjama’ah. Yang keempat tempatnya di Masjid, Nabi pun mengerjakannya di Masjid. Oleh karena itu yang dimaksud disini adalah bid’ah secara lughawiyyah, dihidupkan kembali setelah Nabi alaihis shalatu wassalam wafat. Yang tadinya mereka shalat masing-masing, kemudian disatukan. Yang ini pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Jadi hal ini bukan bid’ah dalam istilah melainkan hanya bid’ah secara bahasa saja, sebagaimana yang biasa dipakai orang Arab.

Hujjah yang kedua bagi mereka: man sana sunatan hasanatan, man sanna syayyiatan…” Sehingga mereka mengatakan ada sunnah yang hasanah dan sunnah yang sayyiah. Sunnah yang sayyiah (menurut mereka) adalah bid’ah hasanah.

Ini tidak tepat, karena sebab datangnya hadits yang mulia ini ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didatangi suatu kaum yang hampir-hampir tidak berpakaian disebabkan kemiskinan mereka. Kemudian Beliau berkhotbah di hadapan para sahabat mengajurkan mereka untuk bersedekah. Sehingga datanglah seseorang dengan membawa pakaian yang begitu banyak, kemudian diikuti oleh orang lain dan diikuti oleh orang lain. Lalu diwaktu itu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: man sana sunatan hasanatan…[2]. Dari sebab datangnya hadits disini kita mengetahui, bahwa sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah yang telah diterangkan oleh syara’ kemudian dihidupkan lagi setelah matinya sunnah itu. Sunnah aqiqah misalnya, orang tidak banyak mengerjakan aqiqah lagi. Itu sunnah Nabi. Kemudian dihidupkan oleh seseorang kemudian diikuti oleh orang banyak. Itu masuk ke dalam hadits ini. Jadi sunnahnya memang sudah ada keterangan dari Nabi, tetapi ditinggalkan oleh orang banyak, tidak dilakukan lagi. Kemudian ada orang yang menghidupkannya lagi. Itu maknanya sunatan hasanatan.

Demikian juga ‘man sanna sunatan sayyiatan’, suatu sunnah yang buruk yang telah mati –misalnya perjudian yang sudah tidak ada lagi, atau sedikit sekali orang yang mengerjakannya- kemudian ada sebagian kaum menghidupkan perjudian ini kembali hingga manusia ikut berjudi lagi, ini sunatan sayyiatan. Karena perjudian itu dilarang, maka siapa yang mengadakannya, dia telah melakukan suatu sunnah yang sayyiah.

Alasan mereka yang ketiga itu pada perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud dan lain-lain para sahabat: Apa yang dianggap baik oleh orang Islam itu baik di sisi Allah. Tetapi ini maksudnya bukan kaum Muslimin secara umum, sebab jika dimaksudkan kaum Muslimin umum maka ada orang Islam yang fasik. Yang dimaksud disini adalah ijma para sahabat.

Tidak satupun hujjah mereka kecuali semuanya bisa dibantah. Dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kullu bid’atin dhalaalah’ itu sifatnya umum. Semua bid’ah itu tercela, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka. Lalu (jika ditanyakan): Apakah karena kita mengucapkan ushalli fardha dzuhri (melafazhkan niat sebelum shalat –ed) kita akan masuk neraka? Tidak. Ini merupakan kesalahpahaman. (Tetapi) ini adalah hukum bagi perbuatan bid’ah itu sendiri. Sedangkan hukum bagi orang yang melakukannya itu berbeda. Ada orang yang melakukan bid’ah karena dia tidak mengetahui, ada orang yang melakukan atau membuat bid’ah dia tidak berdosa karena dia seorang mujtahid dan salah dalam ijtihadnya.. Ada yang berbuat bid’ah dia tidak berdosa karena kebodohan, hanya saja dia akan terkena sanksi karena sedikit sekali dalam menuntut ilmu, sedangkan menuntut ilmu itu wajib. Adakalanya orang yang berbuat itu dia telah beristigfar, bertaubat dan Allah telah mengampuni dosanya atau dikenakan bala di dunia, dan lain-lain. Ada penahan-penahannya, tidak semudah itu memahami bahwa setiap orang (akan masuk neraka karena kebid’ahannya -ed). Bid’ah itu sesat, sesat tempatnya di neraka. Ini hukum mengenai perbuatan bid’ah. Orangnya bisa terkena bisa juga tidak. Tergantung apakah telah hilang penghalang-penghalang dari terkena ancaman itu atau tidak. Sama dengan orang yang mengerjakan maksiat. Maksiat itu haram, tapi orang yang mengerjakannya belum tentu terkena dosa. Dilihat dulu, dia telah mengetahuinya atau tidak. Misalnya seseorang yang minum khamr, perbuatan minum khamr adalah dosa, sedangkan orang yang melakukannya belum tentu berdosa. Dilihat dulu, apakah dia tahu (tentang keharaman khamr) atau tidak.

Itu di satu sisi.

Di sisi lain, bid’ah itu bertingkat-tingkat. Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (syirik), ada bid’ah yang hanya sesat saja tetapi tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Ada bid’ah aqidah, seperti tawassul; ada bid’ah amaliah, seperti mengucapkan niat; Ada bid’ah i’tiqad (keyakinan) dan ada bid’ah amaliah (amalan atau perbuatan –ed).

***

Mengenai pertanyaan bagaimana membedakan wasilah itu sunnah atau bid’ah. Misalkan sekarang ini ada pesantren yang bertingkat-tingkat. Dan di TPA misalnya ada sistem baca iqra’ atau daurah seperti yang kita lakukan ini, maka dijawab sebagai berikut:

Wasilah, ini sama seperti menyusun Al-qur’an (dalam bentuk kitab –ed) atau membukukan kitab-kitab, semua ini tidak ada di zaman Rasulullah, demikian juga Madrasah yang bertingkat-tingkat. Tetapi masuk ke dalam tujuan-tujuan syara’. Kita wajib beriman kepada Al-Qur’an, mempelajari Al-Qur’anul Karim, Al-Qur’an menjadi dasar hukmini memerlukan dibukukannya Al-Qur’an menjadi satu mushaf, selain telah ijma’ sahabat, selain itu ada isyarah dari Al-Qur’an: “dzaalikal kitaabu laa royba fiihi hudal lil muttaqin”. Arti kitab di sini adalah mengumpulkan. Demikian itu sebagai wasilah saja, untuk menunaikan maksud-maksud syara’ dan itu tidak dijadikan sebagai suatu cara keagamaan.

Berbeda dengan jama’ah tabligh yang menjadikan ‘khuruj’ mereka itu – satu hari, dua hari, tiga hari, (sebagaimana khurujnya para perserta daurah ini selama satu minggu) – (diyakini) berpahala, (dianggap) sebagai ibadah, sedangkan antum yang melakukan daurah ini selama seminggu berbeda, bukan ‘khuruj’-nya yang berpahala tetapi ta’lim-nya (menuntut ilmu –ed) lah yang berpahala.

Allah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu, bertanya kepada ahli ilmu –ini adalah maksud syara – agar kita berilmu, agar kita mengetahui. Maka wasilahnya adalah mendirikan madrasah-madrasah, atau membuat rekaman seperti ini (kajian ini –ed), dan lain-lain. Semuanya untuk menyampaikan maksud-maksud syara’, tujuan dari agama yang memang dalil secara umum telah ada.

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS Az-Zumar [39] : 9)

Demikian pula dalil tentang menuntut ilmu. Dan untuk menyampaikan maksud syara’ sempurna maka dibuatlah kemudahan-kemudahan, dengan membuat sekolah, dengan membuat tingkatan-tingkatan.

Demikian pula dengan pendirian Madrasah-madrasah, di dalamnya terkandung maksud syara’, yakni merupakan wasilah untuk menuntut ilmu, sedangkan menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim (Al-Hadits) dan terdapat banyak dalil yang secara umum menunjukkan keutamaan ilmu.

***

Menjawab pertanyaan tentang shalat taubat, shalat tasbih dan shalat menguatkan hafalan, al-ustadz menjawabnya sebagai berikut:

Yang pertama mengenai shalat taubat itu sah datangnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, diriwayatkan dalam Ashabus-Sunan (Abu Dawud, dll). Yang kedua shalat tasbih berselisih para ulama.
Cara shalat taubat, seseorang melakukan shalat dua rakaat untuk kesempurnaan taubatnya. Kemudian setelah shalat dia berdoa memohon ampun kepada Allah. Lafazh doanya tergantung kepada diri kita sendiri.

Shalat tasbih berselisih para ulama. Dalilnya adalah hadits dari Abu Dawud, dan sepanjang penelitian al-ustadz dan berdasarkan keterangan dari para ulama, pendapat yang paling kuat adalah bahwa hadits itu adalah sah, bahkan masuk ke dalam derajat shahih.

Yang ketiga shalat menguatkan hafalan yang dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi. Derajatnya sepanjang pemeriksaan Wallahu a’lam, sampai kepada derajat maudhu. Karena ditinjau dari sanad dan matannya susunannya tidak sesuai dengan susunan nubuwwah.

***

________________________
Catatan Kaki:

[1] HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah dengan matan:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
[2] HR Muslim dalam Shahih-nya, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dari Mundzir bin Jabir, dari ayahnya:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik di dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang setelahnya yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka. Dan barangsiapa yang membuat sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosanya dan dosa orang setelahnya yang melaksanakannya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.”

[

No comments:

Post a Comment