Oleh: Abdul Hakim bin Amir Abdat
Tidak ada satupun dalil yang melarang menentuh atau memegang Al-Qur’an bagi orang junub, perempuan haidh dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang dan mengharamkan berdalil dengan firman Allah ‘Azza wa Jallah:
Yang hak yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qut’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian tafsir Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh mneyntuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Kalau betul demikian maksudnya tentu firman Allah di atas artinya menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk fa’il (subyek/pelaku), bukan maf’ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan dengan fa’il (subyek).
Merekapun berdalil dengan hadits:
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dari jalan Utsman bin Abil ‘Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain,[1]
Yang haq yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah sallallahu alaihi wasallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda: “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci).” Maka beliau bersabda: “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.” (Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”)
Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang suci adalah suci dari hadats besar dan hadats kecil, karena kata ‘thaahir’ dalam hadits di atas ialah satu lafazh yang mempunyai beberapa arti (musytarak), yaitu suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti thaahir diatas harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa dan menentukan salah satunya. Apakah arti thaahir di atas maksudnya bersih dari hadats besar atau dari hadats kecil atau mu’min?
Untuk yang pertama dan kedua, yaitu bersih dari hadats besar dan hadats kecil tidak ada satupun qarinah yang menetapkannya.[2] Sedangkan untuk yang ketiga, yaitu orang mu’min telah datang qarinah dari hadits shahih di atas yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.” Yakni orang mu’min itu suci, karena najis lawan dari suci, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang beriman (mu’min), maka mafhum-nya orang-orang yang beriman itu suci. Istimewa bila kita melihat pada sebab-sebab Nabi shallallahu ‘alahi wasallam (sabaabul wurud hadits) bahwa orang mu’min itu tidak najis, yaitu kejadian pada diri Abu Hurairah yang sedang janabah dan tidk mau duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan anggapan bahwa dia sedang tidak suci? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalahkan anggapan tersebut dengan sabdanya: Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.
_________
[1] Irwa Al-Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah men-takhrij hadits diatas dan menyatakannya shahih.
[2] Karena tidak datang satu pun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an, bagi orang junub, perempuan haidh dan nifas.
Sumber: Disalin kembali dari “Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub” oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat, penerbit Darul Qalam.
Tidak ada satupun dalil yang melarang menentuh atau memegang Al-Qur’an bagi orang junub, perempuan haidh dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang dan mengharamkan berdalil dengan firman Allah ‘Azza wa Jallah:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waaqi’ah : 79) Yang hak yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qut’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian tafsir Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh mneyntuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Kalau betul demikian maksudnya tentu firman Allah di atas artinya menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk fa’il (subyek/pelaku), bukan maf’ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan dengan fa’il (subyek).
Merekapun berdalil dengan hadits:
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dari jalan Utsman bin Abil ‘Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain,[1]
Yang haq yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّ المُؤْمِنُونَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah sallallahu alaihi wasallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda: “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci).” Maka beliau bersabda: “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.” (Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”)
Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang suci adalah suci dari hadats besar dan hadats kecil, karena kata ‘thaahir’ dalam hadits di atas ialah satu lafazh yang mempunyai beberapa arti (musytarak), yaitu suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti thaahir diatas harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa dan menentukan salah satunya. Apakah arti thaahir di atas maksudnya bersih dari hadats besar atau dari hadats kecil atau mu’min?
Untuk yang pertama dan kedua, yaitu bersih dari hadats besar dan hadats kecil tidak ada satupun qarinah yang menetapkannya.[2] Sedangkan untuk yang ketiga, yaitu orang mu’min telah datang qarinah dari hadits shahih di atas yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.” Yakni orang mu’min itu suci, karena najis lawan dari suci, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang beriman (mu’min), maka mafhum-nya orang-orang yang beriman itu suci. Istimewa bila kita melihat pada sebab-sebab Nabi shallallahu ‘alahi wasallam (sabaabul wurud hadits) bahwa orang mu’min itu tidak najis, yaitu kejadian pada diri Abu Hurairah yang sedang janabah dan tidk mau duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan anggapan bahwa dia sedang tidak suci? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalahkan anggapan tersebut dengan sabdanya: Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.
_________
[1] Irwa Al-Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah men-takhrij hadits diatas dan menyatakannya shahih.
[2] Karena tidak datang satu pun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an, bagi orang junub, perempuan haidh dan nifas.
Sumber: Disalin kembali dari “Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub” oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat, penerbit Darul Qalam.
No comments:
Post a Comment