Oleh: Syaikh Nashiruddin Al-Albani
“Cintailah apa yang dimiliki oleh orang lain seperti mencitai milikmu sendiri”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam At-Tarikh Al-Kabir (2/4/317/3155), Abd. Bin Humaid di dalam Al-Muntakhab Minal Musnad (53/2), Ibnu Sa’d (7/428), dan Al-Qathi’I di dalam Al-Juz’ Al-Ma’ruf Bi Alfi Dinarin (2/29) dari Siyar, dari Khalid bin Abdillah Al-Qasari dari ayahnya yang mengisahkan bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda kepada kakek Yazid bin Usaid: (Kemudian ia menyebtukan sabda Nabi di atas).
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Ruh bin Atha’ bin Abu Maimunah, ia berkata: “Siyar telah memberikan hadits itu kepada saya, hanya saja ia mengatakan: “Saya mendapatkan hadits itu dari ayah saya dari kakek saya yang mengisahkan: “Rasulullah bersabda kepada saya: “Apakah engaku mencitai surga?” Beliau selanjutnya bersabda: “Cintailah… (sampai akhir hadits).”
Ibnu Asakir meriwayatkan hadits itu (5/242/2) dari Al-Qathi’I melalui jalur kedua. Sementara itu Al-Hakim (4/168) juga meriwayatkannya yang kemudian dengan tegas menyatakan: “Hadits itu shahih sanadnya.” Sedangkan Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian tersebut.
Saya berpendapat: Khalid bin Abdillah Al-Qasari adalah seorang penduduk Damaskus yang menjabat sebagai Al-Amir. Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Mizan menilainya: shaduq (sangat dipercaya), tetapi ia adalah seroang penguasa yang keras dan lalim. Ibnu Ma’in mengatakan: “Ia seorang lelaki yang kurang baik yang pernah mempunyai masalah dengan sahabat Ali . Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya di dalam kitabnya Ats-Tsiqaat (2/72).
Ayahnya, yaitu Abdullah bin Yazid, juga disebutkan haditsnya oleh Ibnu Abi Hatim (2/2/197), tetapi tidak disebutkan jarh ataupun ta’dil-nya. Sedangkan Ibnu Hibban juga menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat (1/123).
Hadits itu oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawa’id (8/168) diberi komentar: “Hadits itu diriwayatkan oleh Abdullah dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan di dalam Al-Ausath dengan redaksi yang sama. Perawi-perawinya tsiqah.”
Hadits itu juga memiliki syahid hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi:
Ðan cintailah milik orang lain seperti mencintai milikmu sendir, niscaya engkau akan menjadi seorang mukmin (yang baik).”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi (2/50) dan Imam Ahmad (2/310). Imam Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib (dalam meriwayatkannya terdapat seorang yang menyendiri). Sementara Al-Hasan tidak mendengarnya dari Abu Hurairah.”
Saya berpendapat: Yang meriwayatkannya dari Al-Hasan Al-Bashri adalah Abu Thariq. Ia majhul (tidak dikenal), seperti disebutkan di dalam At-Taqrib.
Di antara hadits lain yang menguatkannya adalah hadits berikut ini:
“Seseorang di antara kamu belum dikatakan beriman dengan sempurna kecuali jika ia telah mencintai (kebaikan) saudaranya seperti ia mencintai kebaikannya sendiri.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (1/11), Imam Muslim (1/49). Juga ditakhrij oleh Abu Awanah di dalam kitab shahihnya (1/33), Imam Nasa’I (2/27), Imam Tirmidzi (2/84), Ad-Darimi (2/307), Ibnu Majah (hadits no. 66), Ath-Thayalisi (hadits no. 2004), Imam Ahmad (3/177, 207,275, dan 278)) dari hadits Anas bin Malik secara marfu’. Selanjutnya Imam Tirmdizi memberikan komentar: “Hadits ini shahih.”
Tambahan itu (yang ada di dalam kurung) milik Abu Awanah, Nasa’I dan Ahmad di dalam hadits mereka yang sanadnya juga shahih.
Hadits itu mempunyai shahid (penguat) yang berasal dari hadits Ali dengan redaksi:
“Seorang muslim yang mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh muslim lainnya, yaitu ada empat perkara… Dan mencintainya seperti mencintai miliknya sendiri, serta menasehatinya secara samara.”
Hadits ini ditakhrij oleh Ad-Darimi (2/275-276), Ibnu Majah (1433) dan Imam Ahmad (1/89) dengan sanad yang dha’if.
Perlu diketahui bahwa tambahan (“kebaikan”) tersebut sangat tepat, sebab akan memperjelas arti yang dimaksud. Di samping itu kata tersebut merupakan kata umum (kata luas), mencakup semua ketaatan dan semua kebaikan duniawi maupun ukhrawi serta mengeluarkan semua larangan. Sebab kata “kebaikan” sudah pasti tidak mencakup amal-amal terlarang. Karena itu moral seorang muslim dikatakan mencapai kesempurnaan apabila ia telah mampu mencintai kebaikan yang dilakukannya sendiri, demikian juga mampu membenci keburukan yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun muslim lain. Pemahaman terakhir ini meskipun tidak disebutkan di dalam hadits, namun merupakan pemahaman yang tercakup di dalamnya. Karena mencintai sesuatu pasti membenci kebalikannya. Jadi tidak disebutkannya pemahaman kedua itu hanya untuk menyederhanakan kalimat, seperti disebutkan oleh Al-Karmani yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath (1/54) dan diakui kebenarannya.
***Disalin kembali dari Silsilah Hadits Shahih (Buku I), penerbit Pustaka Mantiq
۷۲ - اَحِبَّ للِنَّسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسَكَ
“Cintailah apa yang dimiliki oleh orang lain seperti mencitai milikmu sendiri”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam At-Tarikh Al-Kabir (2/4/317/3155), Abd. Bin Humaid di dalam Al-Muntakhab Minal Musnad (53/2), Ibnu Sa’d (7/428), dan Al-Qathi’I di dalam Al-Juz’ Al-Ma’ruf Bi Alfi Dinarin (2/29) dari Siyar, dari Khalid bin Abdillah Al-Qasari dari ayahnya yang mengisahkan bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda kepada kakek Yazid bin Usaid: (Kemudian ia menyebtukan sabda Nabi di atas).
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Ruh bin Atha’ bin Abu Maimunah, ia berkata: “Siyar telah memberikan hadits itu kepada saya, hanya saja ia mengatakan: “Saya mendapatkan hadits itu dari ayah saya dari kakek saya yang mengisahkan: “Rasulullah bersabda kepada saya: “Apakah engaku mencitai surga?” Beliau selanjutnya bersabda: “Cintailah… (sampai akhir hadits).”
Ibnu Asakir meriwayatkan hadits itu (5/242/2) dari Al-Qathi’I melalui jalur kedua. Sementara itu Al-Hakim (4/168) juga meriwayatkannya yang kemudian dengan tegas menyatakan: “Hadits itu shahih sanadnya.” Sedangkan Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian tersebut.
Saya berpendapat: Khalid bin Abdillah Al-Qasari adalah seorang penduduk Damaskus yang menjabat sebagai Al-Amir. Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Mizan menilainya: shaduq (sangat dipercaya), tetapi ia adalah seroang penguasa yang keras dan lalim. Ibnu Ma’in mengatakan: “Ia seorang lelaki yang kurang baik yang pernah mempunyai masalah dengan sahabat Ali . Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya di dalam kitabnya Ats-Tsiqaat (2/72).
Ayahnya, yaitu Abdullah bin Yazid, juga disebutkan haditsnya oleh Ibnu Abi Hatim (2/2/197), tetapi tidak disebutkan jarh ataupun ta’dil-nya. Sedangkan Ibnu Hibban juga menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat (1/123).
Hadits itu oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawa’id (8/168) diberi komentar: “Hadits itu diriwayatkan oleh Abdullah dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan di dalam Al-Ausath dengan redaksi yang sama. Perawi-perawinya tsiqah.”
Hadits itu juga memiliki syahid hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi:
Ðan cintailah milik orang lain seperti mencintai milikmu sendir, niscaya engkau akan menjadi seorang mukmin (yang baik).”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi (2/50) dan Imam Ahmad (2/310). Imam Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib (dalam meriwayatkannya terdapat seorang yang menyendiri). Sementara Al-Hasan tidak mendengarnya dari Abu Hurairah.”
Saya berpendapat: Yang meriwayatkannya dari Al-Hasan Al-Bashri adalah Abu Thariq. Ia majhul (tidak dikenal), seperti disebutkan di dalam At-Taqrib.
Di antara hadits lain yang menguatkannya adalah hadits berikut ini:
] – لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتّٰى يُحِبَّ ِلاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ ا [ مِنَ الْخَيْرِ
“Seseorang di antara kamu belum dikatakan beriman dengan sempurna kecuali jika ia telah mencintai (kebaikan) saudaranya seperti ia mencintai kebaikannya sendiri.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (1/11), Imam Muslim (1/49). Juga ditakhrij oleh Abu Awanah di dalam kitab shahihnya (1/33), Imam Nasa’I (2/27), Imam Tirmidzi (2/84), Ad-Darimi (2/307), Ibnu Majah (hadits no. 66), Ath-Thayalisi (hadits no. 2004), Imam Ahmad (3/177, 207,275, dan 278)) dari hadits Anas bin Malik secara marfu’. Selanjutnya Imam Tirmdizi memberikan komentar: “Hadits ini shahih.”
Tambahan itu (yang ada di dalam kurung) milik Abu Awanah, Nasa’I dan Ahmad di dalam hadits mereka yang sanadnya juga shahih.
Hadits itu mempunyai shahid (penguat) yang berasal dari hadits Ali dengan redaksi:
“Seorang muslim yang mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh muslim lainnya, yaitu ada empat perkara… Dan mencintainya seperti mencintai miliknya sendiri, serta menasehatinya secara samara.”
Hadits ini ditakhrij oleh Ad-Darimi (2/275-276), Ibnu Majah (1433) dan Imam Ahmad (1/89) dengan sanad yang dha’if.
Perlu diketahui bahwa tambahan (“kebaikan”) tersebut sangat tepat, sebab akan memperjelas arti yang dimaksud. Di samping itu kata tersebut merupakan kata umum (kata luas), mencakup semua ketaatan dan semua kebaikan duniawi maupun ukhrawi serta mengeluarkan semua larangan. Sebab kata “kebaikan” sudah pasti tidak mencakup amal-amal terlarang. Karena itu moral seorang muslim dikatakan mencapai kesempurnaan apabila ia telah mampu mencintai kebaikan yang dilakukannya sendiri, demikian juga mampu membenci keburukan yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun muslim lain. Pemahaman terakhir ini meskipun tidak disebutkan di dalam hadits, namun merupakan pemahaman yang tercakup di dalamnya. Karena mencintai sesuatu pasti membenci kebalikannya. Jadi tidak disebutkannya pemahaman kedua itu hanya untuk menyederhanakan kalimat, seperti disebutkan oleh Al-Karmani yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath (1/54) dan diakui kebenarannya.
***Disalin kembali dari Silsilah Hadits Shahih (Buku I), penerbit Pustaka Mantiq
No comments:
Post a Comment