Tuesday, July 17, 2007

Tentang Penyimpangan-penyimpangan Ahli Kitab dan Perilaku Kaum Kafir yang Menimpa Sebagian Kaum Muslimin


Oleh: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


Saya di sini akan menghisyaratkan pada perilaku menyimpang Ahli Kitab dan orang-orang kafir lainnya, yang dewasa ini telah banyak menimpa umat ini. Saya maksudkan, agar kaum muslimin menghindari penuimpangan ini dan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Serta agar mereka tidak meniti jalan-jalan orang yang Allah murkai dan tidak pula jalan orang-orang sesat.


Penyimpangan Yahudi

Pertama: Mendengki orang lain yang mendapatkan ilmu dan hidayah.

Allah berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS Al Baqarah : 109)

Allah mencela kaum Yahudi karena kedengkian mereka atas ilmu dan hidayah yang terdapat pada kaum muslimin.

Sebagian orang yang memiliki ilmu, sering juga terjebak dalam kedengkian terhadap orang-orang yang telah Allah karuniai hidayah dan ilmu yang bermanfaat ataupun amal shaleh. Tak ayal, pelaku demikian adalah pelaku tercela secara mutlak. Demikian halnya, perilaku demikian adalah perilaku orang-orang yang Allah murkai (الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) .

Kedua: Kikir terhadap ilmu yang dimiliki.

Allah juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (QS An-Nisa : 37-38)

Mereka Allah sifati dengan kekikiran. Yakni kekikiran ilmu dan harta yang mereka miliki. Walaupun dalam konteks ayat di atas, kekikikran dalam ilmu adalah yang dimaksudkan. Sebagaimana Allah juga mensifati bahwa mereka adalah orang-orang yang menyembunyikanilmu di dalam ayat yang lain. Sebagaimana firman Allah:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS Al-Imran : 187)

Allah mensifati orang-orang yang dimurkai dengan sifat menyembunyikan ilmu, yang terkadang dilatarbelakangi kekikiran atas ilmu yang dimiliki, terkadang dilatari motif kepentingan materi, dimana mereka baru menampakkan ilmunya ketika ada imbalan materi, terkadang pula disebabkan kecemasan mereka bila ilmu mereka ditampilkan, akan menjadi senjata makan tuan.

Dan perilaku demikian yang acapkali menimpa orang-orang yang memiliki ilmu. Dimana mereka terkadang menyembunykan ilmu karena bakhil, atau karena enggan orang lain meraih keutamaan –sebagaimana yang mereka dapatkan- disebabkan ilmunya, atau mengharapkan ilmunya ditukar dengan jabatan maupun harta dunia. Jadilah mereka menutup-nutupi ilmunya, dikhawatirkan jabatan atau hartanya berkurang. Kadang pula ilmu itu disembunyikan, disebabkan akan menjadi boomerang bagi mereka karena ada pihak-pihak lain yang akan menjadikan itlmu itu sebagai senjata untuk mereka.

Oleh sebab itulah Abdur Rahman bin Mahdi dan yang lainnya berkata: “Ahlul ilmi (orang-orang berilmu) akan menulis apa yang menguntungkan dan mungkin merugikan mereka. Sedangkan ahlul ahwa (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu), hanya akan menuliskan apa yang menjadi kepentingan dirinya.”

Ketiga: Menolak kebenaran yang datang yang dulu diminta-minta disebabkan bukan dari pihaknya.

Allah berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Qur'an yang diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Baqarah : 92)

Setelah pada ayat sebelumnya Allah berfirman:

وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“...padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QA Al-Baqarah : 89)

Dalam ayat ini Allah mensifati kaum Yahudi bahwasanya mereka telah mengetahui kebenaran sebelum adanya orang yang mengatakan kebenaran dan mengajaknya kepada kebenaran itu. Tatkala orang yang emngatakan kebenaran itu datang, dan ternyata bukan dari kelompok mereka, mereka tidak mau mengikutinya. Mereka tidak mau menerima kebenaran, kecuali dari keompok mereka. Sebagian mereka tidak mengikuti kebenaran yang bertolak belakang dengan keyakinan merka.

Hal ini juga banyak menimpa berbagai kalangan yang meyatakan dirinya bersandar pada ilmu tertentu, atau cara beragama tertentu, baik dari kalangan fikh, atau kalangan tasawuf [1] dan yang lainnya. [2]
Atau menimpa pula orang-orang yang membesarkan seorang pemimpin agama yang ada di kalangan mereka –selain Rasulullah tentunya- dimana mereka tidak menerima agama, baik secara rasio ataupun riwayat kecuali yang datang dari kalangan mereka sendiri. Padahal agama Islam mewajibkan mengikuti kebenaran secara mutlak, baik lewat pendekatan riwayat maupun akal, tanpa menetapkan individu manapun kelompok terntentu –selain Rasulullah sallallahu alaihi wasallam-

Keempat: Mengubah Kalamullah dan hukum-Nya.

Allah berfirman saat mensifati orang-orang yang dimurkai itu dengan friman-Nya:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS An-Nisa L 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab.” (QS Al-Imran : 78)

Tahrif (perubahan) dalam ayat di atas ditafsirkan dalam dua hal. Pertama tahrif tanzil dan yang kedua tahrif ta’wil.

Tahrif tanzil adalah perubahan dalam bentuk mengubah lafazh-lafazh sabda Rasul, meriwayatkan hadits dengan riwayat-riwayat munkar. Dan hal ini banyak terjadi di kalangan umat, kendati banyak pakar yang menentangnya dan membela keabsahan sabda Rasul.

Tahrif ta’wil adalah perubahan dalam bentuk penakwilan. Hal ini sangat banyak jumlahnya, dan beberapa kelompok umat ini telah pula dilanda hal semcam itu. Lisan-lisan mereka begitu congkaknya, dengan mengemukakan hal-hal yang dianggapnya dari Allah, padahal bukan . Seperti yang dilakukan para pemalsu hadits yang merka nisbatkan pada Rasulullah. Atau itu merupakan apa yang dianggap hujjah dari agama padahal bukan.

Semua perilaku di atas adalah bagian dari perilaku kaum Yahudi. Apa yang mereka lakukan sangat dikecam oleh orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan cara yang mendalam. Kemudian mereka melihat dengan mata keimaman mereka terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka.



Penyimpangan Kaum Nasrani


Pertama: Berlebihan dalam berkeyakinan dan praktek beragama.

Allah berfirman mengenai kaum Nasrani:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam,.” (QS An-Nisa : 171)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam" (Qs Al-Maidah : 72)

Dan ayat-ayat lainnya dengan topic yang berbeda.

Kemudian tindakan berlebih-lebihan terhadap para nabi dan rasul serta orang-orang saleh menimpa orang-orang yang ahli ibadan dan golongan pengikut tasawuf [3]. Sampai- sampai membuat sebagian mereka terperosok ke dalam madzhab hulul (keyakinan yang menyatakan bahwasanya Allah merasuk pada satu orang yang berinkarnasi –penj.), dan madzhab ittihad (keyakinan bahwa makhluk bisa bersatu dengan Allah atau yang dikenal dengan pantheisme, penj.). Tentu saja ini lebih jelek dari keyakinan kaum Kristen, atau mungkin sama atau sedikit di bawah mereka.

Kedua: Menuhankan para rahib dan orang-orang saleh, yaitu dengan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Allah berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam.” (QS At-Taubah : 31).

Rasulullah menafsirkan ayat ini pada Adi bin Hatim bahwa maksud dari ayat ini adalah:

أَحَلَّوْا لَهُم الْحَرَامَ فَأَطَاعُهُمْ وَحَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ فَاتَّبَعُوْهُمْ (رواه الترمذى)

“Mereka (orang-orang alim dan rahib) menghalalkan yang haram atas mereka, lalu mereka menaati apa yang dikatakan oleh rahib-rahib itu dan mengharamkan yang halal atas mereka dan mereka mengikuti apa yang mereka katakan.” [4]

Dan tak sedikit pula para pengikut ahli-ahli ibadah yang menaati titah orang besar dan dihormati tersebut, kendati titahnya mengandung penghalalan yang haram ataupun pengharaman yang halal.

Ketiga: Praktik kependetaan

Ala Ta’ala berfirman:

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridaan Allah,” (QS Al-Hadid : 27)

Sebagian kelompok kaum muslimin juga telah ditimpa musibah ini, dari orang-orang yang melakukan perilaku kependetaan (rahbaniyyah) yang Allah ketahui siapa mereka itu.

Keempat: Membangun tempat ibadah di kuburan para nabi danorang-orang saleh.

Allah berfirman:

قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (QS Al-Kahfi : 21)

Orang-orang yang sesat dan orang-orang yang Allah murkai membangun tempat-tempat peribadatan mereka di atas kuburan para nabi dan orang-orang saleh. Rasulullah sendiri dalam banyak hadits, melarang hal yang sama. Dan ternyata memang banyak di antara umat ini yang ditimpa musibah semacam ini.

Kemudian kita temukan bahwa kebanyakan bentuk dan cara beragama orang-orang sesat, dilakukan dengan suara-suara yang berdentuman dan gambar-gambar yang indah. Tidak banyak ajaran yang mereka urusi selain memperindah kemerduan suara mereka.

Kita juga menemukan, sebagian umat ini yang menjadikan lantunan-lantunan nyanuian dan kasidah-kasidah [5] dijadikan sebagai cara dalam rangka membenahi ruhani. Suatu perilaku yang banyak memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat (Kristen).

Kelima: Membanggakan diri dan menafikan orang lain

Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ

“Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," (QS Al-Baqarah : 113)

Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwa kedua golongan ini saling mengingkari eksistensi dan keberadaan masing-masing.

Kita melihat sebagian ahli fikih tatkala melihat pengikut tasawuf dan orang-raong yang hanya menumpukan diri pada ibadah, ahli fikih tersebut melihat para pelaku tasawud sebagai makhluk-makhluk yang tidak memiliki nilai apa-apa. Orang-orang itu mereka anggap sebagai orang yang sesat dan bodoh. Semua amalan yang mereka lakukan dianggap tidak memiliki landasan ilmu dan tidak mengambil dari petunjuk Rasulullah. Sebaliknya dengan para pelaku tasawuf dan muftariqah [6] kita lihat kebanyakan mereka menganggap ilmu dan syariat sebagai sesuatu yang sangat tidak berharga. Bahkan lebih jauh dari itu mereka melihat bahwa orang-orang yang berpegang teguh dengan syariat adalah orang-orang yang putus hubungannya dengan Allah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya tidak akan bisa mengambil manfaat apa-apa dari apa yang mereka lakukan.



__________________________
Catatan kaki:
[1] Al-Mutushawwifah adalah para pengikut tarekat sufi, baik tokoh maupun pengikut. Praktik tasawuf dalam formatnya yang sering dipraktekkan pengikut tarekat hingga kini, merupakan manhaj yang jauh dari Islam. Ia adalah cara beragama yang sama sekali tidak berasal dari Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Beguty pula tidak ada landasannya dari sahabat, tabi’in dan shalafushshaleh di masa Islam.

[2] Seperti para pengikut Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, Syiah dan lain-lain, termasuk pula penganut isme-isme dan pengikut partai modern seperti Nasionalisme, Baats, Sosialisme dan Marxisme. Demikian pula para pengikut agama baru semacam Bahaniyyah, Qadariyyah dan lain-lain.
[3] Masih saja ada kalangan pelaku tasawuf yang menetapkan sesuatu pada syaikh dan guru mereka sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dinisbatkan, kecuali untuk Allah. Mereka berlaku syirik misalnya dengan menyatakan bahwa di ala mini ada yang disebut dengan aghwats yang selalu menyetir dan mengurusi alam ni serta mengurusi hal-hal ghaib. Ada juga yang mereka sebut dengan ahda’, aqhtab, dan autad. Buku-buku yang mereka tulis penuh dengan bahasan ini. Sungguh Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Untuk masalah ini lihat misalnya buku: Jami’ Karamat Al-Auliya (1/69-79), juga lihat tentang bahasan ini dalam buku pengarang buku ini Majmu’ Al-Fatawa (11/433-445)
[4] HR At-Tirmidzi nomor (3095), (5/278). Menurutnya derajat hadits ini gharib. Lihat juga tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari (10/80-81).
[5] Mungkin yang dimaksud mendnegar nyanyian sufi seperti yang berlaku pada aliran Rumi dengan cara menari melingkar sambil dinyanyikan lagu-lagu tertentu (penj.)
[6] Al-Muftariqah adalah kelompok darwisy kalangan sufi yang menampakkan diri seakan-akan sebagai orang yang fakir dengan tindakan yang dipaksa-paksakan. Mereka melakukan satu peribadatan tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan. Kebanyakan mereka selalu mengedepankan uzlah dari keramaian dunia tau melakukan perjalanan yang tidak tentu maksud dan arahnya. Mereka menyepelekan ilmu-ilmu syariah dan mengaggapnya sebagai ilmu zahir yang tidak akan memberikan manfaat pada orang yang mengamalkannya… dan berbagai akidah dan keyakinan hati lainnya. Kita mohon pada Allah semoga kita terlindungi dari apa yang mereka lakukan. Untuk detailnya tentang pembahasan ini lihat buku Majmu’ Al-Fatawa karangan penulis buku ini pada jilid 11.

*** Disalin kembali dari ringkasan kitab Iqtidha Shiratal Mustaqim, muhaqqiq dan peringkas: Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, penerbit Pustaka Al-Kautsar

No comments:

Post a Comment